Sukses

Polri Sebut Tak Bisa Sita Restoran Bos First Travel di London

Polri mengungkapkan, bos First Travel telah menggelontorkan uang senilai Rp 14 miliar untuk membeli saham restoran di London.

Liputan6.com, Jakarta - Polri mengungkapkan, bos First Travel telah menggelontorkan uang senilai Rp 14 miliar untuk membeli saham restoran di London Inggris. Rumah makan tersebut menjadi perhatian polisi setelah sang bos terlibat kasus dugaan penipuan dan penggelapan dana jemaah umrah.

Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Rikwanto, kepimilikan restoran itu bersifat konsorsium. Artinya bukan 100 persen milik bos First Travel, Andika Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan. Ada pengusaha lain yang ikut dalam usaha tersebut.

"Untuk masalah restoran di London, penelusuran sementara restoran itu adalah konsorsium, dimiliki oleh beberapa orang," ucap Rikwanto di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (25/8/2017).

Karena itu, lanjut dia, polisi tidak langsung menyita restoran tersebut. Ada langkah-langkah yang harus dilalui dalam proses tersebut.

"Jadi tersangka membeli saham senilai belasan miliar sebagai salah satu pemilik. Itu memang tidak bisa dilakukan penyitaan karena ada mekanisme tersendiri," ujar Rikwanto.

Saat ini, polisi telah menyita enam mobil milik bos First Travel. Namun, kepolisian masih menelusuri belasan mobil dan aset lainnya.

"Aset-aset dari First Travel ini sedang dilacak. Ada enam mobil yang sudah disita. "Belasan lagi masih ditelusuri, untuk properti ada rumah mewah, ada beberapa kantor, kos-kosan. Ini juga sedang diteliti," kata Rikwanto.

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

30 Tabungan

Sementara ini, kata Rikwanto, sebanyak 30 buku tabungan masih didalami. Dana yang tersimpan dalam buku tabungan tersebut berjumlah Rp 1,3 juta. "Jadi sudah minimalis sekali," ujar dia.

Untuk menelusuri aliran dana First Travel, Polri menggandeng sejumlah lembaga untuk menangani kasus penipuan ini. Hal ini agar dapat diketahui kemana dana itu tersebut digunakan.

"Kita masih kerja sama dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), dan sejumlah perbankan untuk meneliti apakah ada aset atau aliran dana yang belum diketahui, yang memang terlacak di situ nantinya," kata Rikwanto.