Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menawarkan Dirjen Hubungan Laut (Hubla) Kementerian Perhubungan, Antonius Tonny Budiono, sebagai justice collaborator (JC). Tawaran sebagai JC akan dikabulkan KPK jika Tonny bersedia membongkar pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini.
Penawaran menjadi justice collaborator tidak hanya untuk Tonny saja. Namun, juga berlaku terhadap tersangka lain yang bersedia membongkar pihak lain yang terlibat dalam kasusnya.
"Untuk tersangka kalau memang ingin menjadi JC ada beberapa syarat. Mulai dari pengakuan terdakwa sendiri, kemudian menjelaskan seluas-luasnya informasi yang benar terkait keterlibatan aktor yang lebih besar. Tentu akan kita pelajari," kata juru bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Kuningan Jakarta Selatan, Jumat (25/8/2017).
Advertisement
Namun, hingga kini, Febri mengungkapkan belum ada pengajuan untuk menjadi JC dari Tonny Budiono. KPK berharap Tonny dapat membongkar aktor besar dalam kasus tersebut.
"Belum ada permintaan itu (menjadi justice collaborator). Kalau memang ada pengajuan, nanti kami pelajari," ucap dia.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan Dirjen Perhubungan Laut (Hubla) Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono dan Komisaris PT Adhi Guna Keruktama (PT AKG) sebagai tersangka dalam kasus perizinan dan pengadaan proyek-proyek di lingkungan Ditjen Hubla tahun 2016-2017.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Amankan ATM Berisi Miliaran
Terkait ini, tim KPK mengamankan 33 tas ransel berisi uang pecahan rupiah dan mata uang asing yang totalnya mencapai Rp 18,9 miliar. Selain itu, diamankan pula empat ATM, yang salah satunya berisi saldo sebesar Rp 1,174 miliar.
Tonny Budiono diduga menerima sejumlah uang suap dari pelaksanaan proyek di lingkungan Ditjen Hubla sejak 2016 lalu. Dia menggunakan modus baru dengan dibukakan rekening di sejumlah bank, yang telah diisi sebelumnya oleh si pemberi.
Sebagai pihak penerima, Tonny Budiono diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sebagai pihak yang diduga pemberi, Adiputra disangka KPK melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.
Advertisement