Liputan6.com, Jakarta - Terbongkarnya sindikat Saracen, membuka tabir bagaimana penyebaran ujaran kebencian (hate speech) dan SARA di media sosial. Banyak fakta yang membuat publik melongo.
Bagaimana tidak, hoax atau berita bohong berisi ujaran kebencian dan SARA, yang selama ini beredar di media sosial, hampir sebagian besar ternyata diproduksi oleh sekelompok orang yang tergabung dalam sindikat Saracen.
Fakta lainnya, anggota Saracen itu ternyata simpatisan calon presiden yang gagal pada pilpres 2014. Tidak habis di situ, sindikat ini juga memasang tarif untuk pembuatan ujaran kebencian dan SARA di media sosial.
Advertisement
Saat "bernyanyi" di depan media pekan lalu, Ketua Umum Saracen Jasriadi mengaku mantan simpatisan calon yang gagal pada pemilihan presiden (Pilpres) 2014. Dari sinilah, guru privat ini kemudian bertemu dan menjalin pertemanan dengan orang-orang yang disebut seide dengannya.
"Perkenalan kita di medsos, waktu itu kan ada pilpres 2014, kebetulan kita simpatisan salah satu calon yang gagal, ya," ujar Jasriadi kepada Liputan6.com, Kamis 24 Agustus 2017.
"Nah, di situ kita kenal dengan yang seide, dan dari situ setiap yang seide ya kita kenal," dia melanjutkan. Tapi, Jasriadi mengklaim pertemanan tersebut tidak terjalin kuat, hanya sebatas perkawanan di media sosial.
Meski hanya pertemanan di media sosial, Jasriadi mengaku pernah kopi darat alias bertemu pada 2016.
"Waktu itu 2016 ada teman saya ngajak kopdar namanya AS, pas momen silaturahmi akbar di situ juga kebetulan kita kopdar bareng. Sebatas itu, setelah itu lupa lagi," kata dia.
Menurut Jasriadi, pertemuan besar-besaran itu terjadi saat Pilkada DKI Jakarta. Namun, dia mengaku lupa siapa saja yang hadir pada kesempatan itu.
"Itu pertemuannya saya enggak tahu persis yang silaturahmi akbar, di situ ada ceramah cara memilih pemimpin. Tapi saya lebih detailnya lupa, karena lama ya, dan itu keluar di media ya, itu sekitar bulan enam atau tujuh gitu. Itu juga tak ada sangkut pautnya dengan Saracen," ujar Jasriadi.
Saksikan video menarik di bawah ini:
Tarif Jasa Saracen
Terkait adanya tarif pembuatan dan penyebaran ujaran kebencian dan SARA di media sosial, Jasriadi membantahnya. Namun, di mengakui ada biaya yang harus dibayar oleh orang yang menggunakan jasa dia dan kelompoknya. Biaya tersebut tercantum dalam proposal yang dibuat Saracen untuk kliennya.
"Saya tidak menawarkan, orang minta buatkan anggarannya berapa sih yang seperti itu," ujar Jasriadi dalam wawancara khusus dengan Liputan6.com.
Kendati demikian, Jasriadi mengaku membuat anggaran itu hanya saat pilkada Pekanbaru beberapa waktu lalu.
"Yang dulu waktu minta anggaran itu di Pekanbaru, tidak ada sangkut pautnya dengan di Jakarta. Karena waktu itu ada pemilihan wali kota kalau enggak salah. Hanya sebatas itu, selebihnya enggak ada," ujar dia.
Soal pemesanan ujaran kebencian untuk pilkada, pentolan Saracen itu tidak menanggapi dengan gamblang.
"Nah, kebetulan momennya waktu pas penangkapan saya, dokumen-dokumen berkas saya ada di situ. Jadi itulah akhirnya dibuka juga di sini, sampai ijazah saya itu diapakan itu," ujar Jasriadi.
Saat mengembangkan kasus Saracen, polisi menemukan proposal saat olah tempat kejadian perkara di kediaman Jasriadi alias JAS.
"Si JAS ini menyediakan proposal bagi siapapun kelompok maupun perorangan yang membutuhkan jasa yang bersangkutan, proposal dana kampanye dalam medsos," ujar Kasubdit 1 Dit Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Kombes Irwan Anwar kepada Liputan6.com.
Dalam proposal itu, kata Irwan, disebutkan bahwa jika ingin menggunakan jasa Jasriadi, bisa melalui CV Jadi Jaya dengan dikenakan tarif Rp 72 juta per bulan atau per paket.
Irwan pun merinci harga paket yang ditawarkan Saracen tersebut:
1. Pembuatan website atau blog Rp 15 juta per bulan.
2. Jasa untuk buzzer dengan jumlah 15 orang masing-masing dihargai Rp 3 juta. Sehingga totalnya Rp 45 juta.
3. Jasa untuk koordinator Rp 5 juta.
4. Jasa untuk media Rp 7 juta.
Namun Irwan belum dapat memastikan apakah jasa itu digunakan untuk pilkada atau bukan.
"Ini kami hanya menemukan bahwa yang bersangkutan memang dugaannya adalah sindikat yang menyiapkan jasa untuk melakukan hoax atau ujaran kebencian," tandas Irwan.
Advertisement
Aktor Intelektual
Kendati kasus sindikat penjual ujaran kebencian dan SARA, Saracen, ini belum terungkap tuntas, namun Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari meminta keberadaan mereka harus dianggap sebagai salah satu ancaman siber serius.
Pasalnya, kelompok Saracen ditengarai tidak hanya menyerang satu agama saja, tetapi menyerang berbagai pihak termasuk pemerintah dengan teknik adu domba yang sistematis.
"Merujuk data di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), untuk pengaduan konten negatif terkait SARA dan kebencian, pornografi, dan hoax, menempati urutan tertinggi pengaduan konten negatif," kata Abdul Kharis Almasyhari, dalam keterangan persnya kepada Parlementaria, Jumat 25 Agustus 2017.
Diketahui, Kemenkominfo selama periode 1 Januari hingga akhir Juli 2017 telah menerima email pengaduan konten negatif. Kategori SARA atau Kebencian, pornografi, dan hoax menempati tiga urutan tertinggi pengaduan konten negatif.
Konten SARA mencapai puncak tertinggi pada Januari 2017 dengan 5.142 aduan. Sementara itu, media sosial yang berbau pornografi berjumlah 9.000 lebih dan konten hoax sekitar 6.632.
Kharis melihat, fenomena yang terjadi harus dipahami seperti gunung es. Artinya angka-angka tersebut adalah yang muncul di permukaan. Yang tak terlihat justru lebih mengerikan lagi. Bahkan ia yakin masih banyak kelompok-kelompok seperti Saracen yang belum tersentuh, apalagi menjelang pilkada 2018 dan pemilu 2019.
"Tindakan kelompok Saracen berpotensi mengancam keutuhan NKRI dan tatanan kehidupan masyarakat yang mengusung Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu, mereka harus diberantas dengan tegas sampai ke aktor intelektual yang ada di belakangnya," tegas Kharis.
Sementara Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid berharap, terbongkarnya sindikat Saracen bisa menjadi pintu masuk membongkar jaringan kejahatan lainnya di media sosial. Menurut Hidayat, saat ini masih banyak akun atau situs di dunia maya serupa dengan Saracen, yakni menyebarkan ujaran kebencian.
"Saracen jadi pintu untuk mengungkap keseluruhan, baik pornografi dan narkoba," ujar Hidayat dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR dan Kominfo di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Senin 28 Agustus 2017. Tak hanya itu, Hidayat juga mengungkapkan akun-akun tersebut termasuk ujaran kebencian dan bullying kepada pemerintah.
Aksi sindikat Saracen yang sangat meresahkan dan bahkan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa mendapat perhatian dari Majelis Ulama Indonesia. MUI mengatakan, sindikat Saracen telah melanggar Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial.
"Fatwa MUI menyebut bahwa setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial, diharamkan melakukan gibah (membicarakan keburukan atau aib orang lain), fitnah, namimah (adu domba), dan penyebaran permusuhan," tulis Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid lewat keterangan persnya, Senin 28 Agustus 2017.
Menurut MUI, aksi Saracen yang tujuannya juga meraup keuntungan finansial dari menebar kebencian, tidak dibenarkan.
"Berprofesi menyediakan informasi berisi hoax, gibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya juga haram. Demikian orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa, dan orang yang memfasilitasinya," tegas Zainut.