Liputan6.com, Jakarta: Sumiati binti Salan Mustapa baru berusia 23 tahun ketika melanglang ke negeri seberang untuk berniat mewujudkan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Berbekal janji upah 800 riyal Saudi per bulan, gadis kelahiran Dompu, Nusa Tenggara Barat, yang disebutkan tak fasih berbahasa Inggris atau Arab itu entah diberangkatkan sebagai seorang pembantu rumah tangga.
Sumiati menginjakkan kakinya di Madinah, Arab Saudi, pada 18 Juli 2010. Empat bulan kemudian, ia tergolek di salah satu sudut Rumah Sakit Raja Fahd, Madinah, dengan luka fisik yang sangat serius. Kondisi kesehatananya sangat memprihatinkan: luka dari ujung kepala hingga kaki, kedua kaki yang nyaris lumpuh, kulit tubuh dan kepala yang terkelupas, jari tengah retak, alis matanya rusak, dan bibir bagian atas yang hilang!
Penderitaannya itu membuat publik Indonesia sekali lagi terhenyak. Tidak sedikit yang merinding dan setengah tidak percaya saat membayangkan kebengisan majikan perempuan Sumiati --orang yang diduga melakukan penganiayaan secara terus menerus kepada Sumiat.
Bagi masyarakat beradab di belahan dunia mana pun, tindakan sadisme berkelanjutan yang dapat menimbulkan luka fisik separah itu tentu tidak terbayangkan. Tapi pada kenyataannya, apa yang dialami oleh Sumiati bukan untuk pertama kalinya didengar publik Indonesia. Sebutlah dua kasus terakhir yang sama-sama memperoleh perhatian khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu kasus penganiayaan yang dialami tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Garut, Jawa Barat, Siti Hajar, yang bekerja di Malaysia dan TKI asal NTT Nirmala Bonat yang juga bekerja di Malaysia.
Kasus Siti Hajar terungkap pada pertengahan 2009, setelah wanita berusia 33 tahun itu berhasil melarikan diri dari rumah majikannya dan melapor ke KBRI. Saat itu, tubuh Siti penuh luka akibat disiram air panas dan pukulan benda tumpul. Ia juga tidak menerima gaji selama 3 tahun bekerja. Sedangkan Nirmala masih berusia belasan tahun ketika menerima perlakuan serupa pada 2004.
Menurut catatan resmi pemerintah, jumlah TKI yang berada di luar negeri sebanyak 3.271.584 orang;Â jumlah TKI yang mengalami masalah mulai dari pelanggaran kontrak, gaji tidak dibayar, jam kerja dan beban kerja yang tidak sesuai, tindakan kekerasan, serta pelecehan seksual adalah 4.385 kasus. Atau, jumlah TKI bermasalah adalah 0,01 persen.
Sepintas angka terlihat, 0,01 persen, relatif sangat kecil. "Angka ini tetap bagi kita. Satu orang pun warga negara harus kita pastikan mendapatkan perlindungan, perlakuan, hak-haknya sesuai kontrak yang telah ditetapkan," ujar Presiden Yudhoyono.
Kasus Sumiati jelas bukan yang pertama. Pertanyaannya apakah pemerintah Indonesia cukup sigap untuk memastikan bahwa Sumiati akan menjadi yang terakhir? Karena, bagaimanapun juga apa yang telah dilakukan oleh para majikan gadis itu menghina martabat dan melecehkan nilai-nilai kemanusiaan.
Pada 9 November alalu, KJRI Jeddah mengunjungi Sumiati di Rumah Sakit Raja Fahd untuk memberikan pendampingan. Kementerian Luar Negeri mengeluarkan sebuah pernyataan yang intinya mengecam keras tindakan tidak berperikemanusiaan terhadap Sumiati dan akan memastikan bahwa pihak yang bertanggung jawab ditindak sesuai hukum yang berlaku.
Selain melalui nota protes, pernyataan itu juga ditegaskan oleh Presiden Yudhoyono dalam dua rapat terbatas pekan ini, Selasa (16/11) dan Jumat (19/11). Presiden meminta agar kasus Sumiati ditangani secara serius dengan mengerahkan diplomasi serta meminta dibentuk tim khusus yang diberangkatkan ke Arab Saudi, guna memastikan TKI asal Dompu itu mendapatkan perawatan dan pengobatan yang terbaik.
Kepala Negara juga menginginkan penegakan hukum dalam kasus tersebut dan agar segera diajukan langkah-langkah terbaik demi perlindungan TKI di luar negeri. Meski pejabat terkait telah bekerja dan Pemerintah Arab Saudi telah berkomitmen menyelesaikan kasus Sumiati, Presiden tetap meminta agar kasus Sumiati dituntaskan secara adil dan pelakunya mendapatkan hukuman yang setimpal.
"Apa yang telah dan sedang kita lakukan terus dilanjutkan sampai betul-betul kasus itu bisa diselesaikan secara adil. Pelakunya tentunya harapan kita mendapat sanksi hukum yang setimpal," tegas Presiden Yudhoyono.
Sebelumnya, melalui Duta Besar arab Saudi untuk Indonesia Abdurahman Al Khayyath, pemerintah kerajaan Arab Saudi telah memberikan jaminan bahwa pelaku akan memperoleh hukuman setimpal. "Penyelidikan atas kasus ini masih berlangsung. Hasil penyelidikan akan segera dilaporkan ke KJRI Indonesia di Jeddah. Saya menjamin bahwa tidak seorang pun dapat lolos dari hukum di Arab Saudi. Kami melindungi hak-hak pekerja asing di negara kami," katanya.
Al Khayyath juga menekankan bahwa kasus penganiayaan yang dialami oleh Sumiati adalah kasus individual dan tidak mencerminkan keseluruhan kondisi pekerja Indonesia di Arab Saudi. Pernyataan Al Khayyath diberikan pada Kamis (18/1) sebelum mencuat kasus tewasnya Kikim Komalasari binti Uko Marta, seorang TKI asal Cianjur, Jawa Barat.
Al Khayyath juga mengatakan bahwa pemerintah Arab Saudi memberikan perlindungan hukum menyeluruh bagi pekerja asing, termasuk dari Indonesia. Ia juga menggarisbawahi aliran uang dari Arab Saudi yang dibawa oleh para pekerja Indonesia ke tanah kelahirannya.
Terlepas dari kasus Sumiati dan Kikim, secara menyeluruh pemerintah berkomitmen untuk mengevaluasi keberadaan TKI di negara-negara tertentu yang tidak memiliki tradisi pembentukan nota kesepahaman pada tingkat bilateral untuk perlindungan para TKI. Pemerintah Indonesia, menurut Presiden Yudhoyono, menginginkan suatu keterbukaan serta kerja sama yang baik antara negara penerima TKI serta kontrak yang transparan antara pekerja dan penerima TKI di negara tersebut.
Apabila terdapat negara yang tidak memberikan transparansi dan tidak mau membuat nota kepahamanan, lanjut Presiden, maka pemerintah Indonesia akan melakukan langkah diplomasi maksimal dan apabila upaya tersebut gagal maka pemerintah akan berbicara dengan TKI yang berada di negara tesebut.
Menurut Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, pada umumnya negara-negara di Timur Tengah memang tidak mengenal nota kesepahaman untuk tenaga kerja di sektor informal. Pemerintah Arab Saudi biasanya juga dikenal enggan berkomentar untuk kasus-kasus seperti yang terjadi pada Sumiati atau Kikim.
Di dalam negeri, kasus Sumiati memicu permintaan untuk diberlakukannya penundaan (moratorium) pengiriman TKI ke Arab Saudi. Sebelumnya Indonesia telah memberlakukan moratorium ke tiga negara, yakni Malaysia, Yordania, dan Kuwait, lantaran banyaknya permasalahan di negara-negara tersebut.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan, pemerintah mungkin melakukan penundaan pengiriman TKI ke Arab Saudi jika belum ada kesepahaman saling menguntungkan di antara kedua negara. Usulan tersebut masih menjadi pertimbangan karena ada kekhawatiran apabila penundaan diputuskan dengan tidak seksama, maka hal itu hanya akan meningkatkan jumlah TKI ilegal ke Arab Saudi.
Selain itu, Menakertrans juga akan meminta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) memperketat pengawasan dalam pengiriman TKI ke luar negeri untuk menghindari kejadian semacam itu di masa yang akan datang. "BNP2TKI akan diminta mengecek apakah TKI kita memiliki kesiapan sebelum diberangkatkan," kata Muhaimin.
Bukan rahasia jika sejumlah kemalangan yang dialami oleh sejumlah TKI di luar negeri dipicu dari carut marutnya sistem di dalam negeri, misal tidak memadainya pendidikan TKI yang diberangkatkan .
Dalam pengantarnya, saat memimpin rapat terbatas Jumat (19/11), Presiden Yudhoyono sempat melontarkan usul untuk membekali setiap TKI di luar negeri dengan telepon genggam agar dapat cepat melapor apabila sesuatu tidak dikehendaki terjadi pada diri mereka. "Sedang dirumuskan memberi HP pada orang per orang tenaga kerja kita. harus disampaikan kepada siapa konsulat jenderal kita, juga di dalam negeri, setiap saat, real time, nomor telepon yang bisa dihubungi untuk dia komunikasi secara instan (langsung, red) kemudian sistem bekerja. Ini sedang kita rumuskan, dilaksanakan di waktu yang akan datang," ujarnya.
Pemberian telepon genggam tentu akan mempermudah komunikasi, selama setiap TKI betul-betul berwenang penuh atas telepon genggamnya dan tidak terjadi penyitaan dari pihak majikan, seperti kasus penahanan paspor oleh sejumlah majikan. Namun, satu hal yang lebih dinantikan adalah suatu sistem hukum yang memberikan perlindungan menyeluruh pada setiap TKI yang mengais rezeki di negeri asing. Suatu sistem hukum yang dihormati oleh negara pengirim dan penerima dan dipahami sepenuhnya oleh setiap majikan dan pekerja serta otoritas terkait.(ANT/SHA)
Sumiati menginjakkan kakinya di Madinah, Arab Saudi, pada 18 Juli 2010. Empat bulan kemudian, ia tergolek di salah satu sudut Rumah Sakit Raja Fahd, Madinah, dengan luka fisik yang sangat serius. Kondisi kesehatananya sangat memprihatinkan: luka dari ujung kepala hingga kaki, kedua kaki yang nyaris lumpuh, kulit tubuh dan kepala yang terkelupas, jari tengah retak, alis matanya rusak, dan bibir bagian atas yang hilang!
Penderitaannya itu membuat publik Indonesia sekali lagi terhenyak. Tidak sedikit yang merinding dan setengah tidak percaya saat membayangkan kebengisan majikan perempuan Sumiati --orang yang diduga melakukan penganiayaan secara terus menerus kepada Sumiat.
Bagi masyarakat beradab di belahan dunia mana pun, tindakan sadisme berkelanjutan yang dapat menimbulkan luka fisik separah itu tentu tidak terbayangkan. Tapi pada kenyataannya, apa yang dialami oleh Sumiati bukan untuk pertama kalinya didengar publik Indonesia. Sebutlah dua kasus terakhir yang sama-sama memperoleh perhatian khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu kasus penganiayaan yang dialami tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Garut, Jawa Barat, Siti Hajar, yang bekerja di Malaysia dan TKI asal NTT Nirmala Bonat yang juga bekerja di Malaysia.
Kasus Siti Hajar terungkap pada pertengahan 2009, setelah wanita berusia 33 tahun itu berhasil melarikan diri dari rumah majikannya dan melapor ke KBRI. Saat itu, tubuh Siti penuh luka akibat disiram air panas dan pukulan benda tumpul. Ia juga tidak menerima gaji selama 3 tahun bekerja. Sedangkan Nirmala masih berusia belasan tahun ketika menerima perlakuan serupa pada 2004.
Menurut catatan resmi pemerintah, jumlah TKI yang berada di luar negeri sebanyak 3.271.584 orang;Â jumlah TKI yang mengalami masalah mulai dari pelanggaran kontrak, gaji tidak dibayar, jam kerja dan beban kerja yang tidak sesuai, tindakan kekerasan, serta pelecehan seksual adalah 4.385 kasus. Atau, jumlah TKI bermasalah adalah 0,01 persen.
Sepintas angka terlihat, 0,01 persen, relatif sangat kecil. "Angka ini tetap bagi kita. Satu orang pun warga negara harus kita pastikan mendapatkan perlindungan, perlakuan, hak-haknya sesuai kontrak yang telah ditetapkan," ujar Presiden Yudhoyono.
Kasus Sumiati jelas bukan yang pertama. Pertanyaannya apakah pemerintah Indonesia cukup sigap untuk memastikan bahwa Sumiati akan menjadi yang terakhir? Karena, bagaimanapun juga apa yang telah dilakukan oleh para majikan gadis itu menghina martabat dan melecehkan nilai-nilai kemanusiaan.
Pada 9 November alalu, KJRI Jeddah mengunjungi Sumiati di Rumah Sakit Raja Fahd untuk memberikan pendampingan. Kementerian Luar Negeri mengeluarkan sebuah pernyataan yang intinya mengecam keras tindakan tidak berperikemanusiaan terhadap Sumiati dan akan memastikan bahwa pihak yang bertanggung jawab ditindak sesuai hukum yang berlaku.
Selain melalui nota protes, pernyataan itu juga ditegaskan oleh Presiden Yudhoyono dalam dua rapat terbatas pekan ini, Selasa (16/11) dan Jumat (19/11). Presiden meminta agar kasus Sumiati ditangani secara serius dengan mengerahkan diplomasi serta meminta dibentuk tim khusus yang diberangkatkan ke Arab Saudi, guna memastikan TKI asal Dompu itu mendapatkan perawatan dan pengobatan yang terbaik.
Kepala Negara juga menginginkan penegakan hukum dalam kasus tersebut dan agar segera diajukan langkah-langkah terbaik demi perlindungan TKI di luar negeri. Meski pejabat terkait telah bekerja dan Pemerintah Arab Saudi telah berkomitmen menyelesaikan kasus Sumiati, Presiden tetap meminta agar kasus Sumiati dituntaskan secara adil dan pelakunya mendapatkan hukuman yang setimpal.
"Apa yang telah dan sedang kita lakukan terus dilanjutkan sampai betul-betul kasus itu bisa diselesaikan secara adil. Pelakunya tentunya harapan kita mendapat sanksi hukum yang setimpal," tegas Presiden Yudhoyono.
Sebelumnya, melalui Duta Besar arab Saudi untuk Indonesia Abdurahman Al Khayyath, pemerintah kerajaan Arab Saudi telah memberikan jaminan bahwa pelaku akan memperoleh hukuman setimpal. "Penyelidikan atas kasus ini masih berlangsung. Hasil penyelidikan akan segera dilaporkan ke KJRI Indonesia di Jeddah. Saya menjamin bahwa tidak seorang pun dapat lolos dari hukum di Arab Saudi. Kami melindungi hak-hak pekerja asing di negara kami," katanya.
Al Khayyath juga menekankan bahwa kasus penganiayaan yang dialami oleh Sumiati adalah kasus individual dan tidak mencerminkan keseluruhan kondisi pekerja Indonesia di Arab Saudi. Pernyataan Al Khayyath diberikan pada Kamis (18/1) sebelum mencuat kasus tewasnya Kikim Komalasari binti Uko Marta, seorang TKI asal Cianjur, Jawa Barat.
Al Khayyath juga mengatakan bahwa pemerintah Arab Saudi memberikan perlindungan hukum menyeluruh bagi pekerja asing, termasuk dari Indonesia. Ia juga menggarisbawahi aliran uang dari Arab Saudi yang dibawa oleh para pekerja Indonesia ke tanah kelahirannya.
Terlepas dari kasus Sumiati dan Kikim, secara menyeluruh pemerintah berkomitmen untuk mengevaluasi keberadaan TKI di negara-negara tertentu yang tidak memiliki tradisi pembentukan nota kesepahaman pada tingkat bilateral untuk perlindungan para TKI. Pemerintah Indonesia, menurut Presiden Yudhoyono, menginginkan suatu keterbukaan serta kerja sama yang baik antara negara penerima TKI serta kontrak yang transparan antara pekerja dan penerima TKI di negara tersebut.
Apabila terdapat negara yang tidak memberikan transparansi dan tidak mau membuat nota kepahamanan, lanjut Presiden, maka pemerintah Indonesia akan melakukan langkah diplomasi maksimal dan apabila upaya tersebut gagal maka pemerintah akan berbicara dengan TKI yang berada di negara tesebut.
Menurut Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, pada umumnya negara-negara di Timur Tengah memang tidak mengenal nota kesepahaman untuk tenaga kerja di sektor informal. Pemerintah Arab Saudi biasanya juga dikenal enggan berkomentar untuk kasus-kasus seperti yang terjadi pada Sumiati atau Kikim.
Di dalam negeri, kasus Sumiati memicu permintaan untuk diberlakukannya penundaan (moratorium) pengiriman TKI ke Arab Saudi. Sebelumnya Indonesia telah memberlakukan moratorium ke tiga negara, yakni Malaysia, Yordania, dan Kuwait, lantaran banyaknya permasalahan di negara-negara tersebut.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan, pemerintah mungkin melakukan penundaan pengiriman TKI ke Arab Saudi jika belum ada kesepahaman saling menguntungkan di antara kedua negara. Usulan tersebut masih menjadi pertimbangan karena ada kekhawatiran apabila penundaan diputuskan dengan tidak seksama, maka hal itu hanya akan meningkatkan jumlah TKI ilegal ke Arab Saudi.
Selain itu, Menakertrans juga akan meminta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) memperketat pengawasan dalam pengiriman TKI ke luar negeri untuk menghindari kejadian semacam itu di masa yang akan datang. "BNP2TKI akan diminta mengecek apakah TKI kita memiliki kesiapan sebelum diberangkatkan," kata Muhaimin.
Bukan rahasia jika sejumlah kemalangan yang dialami oleh sejumlah TKI di luar negeri dipicu dari carut marutnya sistem di dalam negeri, misal tidak memadainya pendidikan TKI yang diberangkatkan .
Dalam pengantarnya, saat memimpin rapat terbatas Jumat (19/11), Presiden Yudhoyono sempat melontarkan usul untuk membekali setiap TKI di luar negeri dengan telepon genggam agar dapat cepat melapor apabila sesuatu tidak dikehendaki terjadi pada diri mereka. "Sedang dirumuskan memberi HP pada orang per orang tenaga kerja kita. harus disampaikan kepada siapa konsulat jenderal kita, juga di dalam negeri, setiap saat, real time, nomor telepon yang bisa dihubungi untuk dia komunikasi secara instan (langsung, red) kemudian sistem bekerja. Ini sedang kita rumuskan, dilaksanakan di waktu yang akan datang," ujarnya.
Pemberian telepon genggam tentu akan mempermudah komunikasi, selama setiap TKI betul-betul berwenang penuh atas telepon genggamnya dan tidak terjadi penyitaan dari pihak majikan, seperti kasus penahanan paspor oleh sejumlah majikan. Namun, satu hal yang lebih dinantikan adalah suatu sistem hukum yang memberikan perlindungan menyeluruh pada setiap TKI yang mengais rezeki di negeri asing. Suatu sistem hukum yang dihormati oleh negara pengirim dan penerima dan dipahami sepenuhnya oleh setiap majikan dan pekerja serta otoritas terkait.(ANT/SHA)