Liputan6.com, Jakarta - Beberapa pekan terakhir ini masyarakat dihebohkan kasus agen perjalanan umrah PT First Anugerah Karya Wisata atau First Travel.
Pasangan suami istri Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan yang merupakan pemilik agen perjalanan ini, menjadi tersangka kasus dugaan penipuan dan penggelapan dana jemaah.
Baca Juga
Selain Andika dan Anniesa yang menjabat direktur utama dan direktur, adik Anniesa, Kiki Hasibuan, juga berstatus tersangka dalam kasus ini.
Advertisement
Penyidik Bareskrim Polri mencatat, jumlah calon jemaah umrah promo First Travel yang terdaftar sejak Desember 2016 hingga Mei 2017 mencapai 72.682 orang.
Dari jumlah tersebut yang sudah diberangkatkan ke Tanah Suci 14 ribu orang, sementara yang belum diberangkatkan mencapai 58.682 orang.
Dana jemaah yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp 800 miliar itu disebut-sebut digunakan untuk membeli aset pribadi, seperti mobil dan rumah mewah. Termasuk butik serta restoran di London, Inggris, yang bernama Nusadua.
Awalnya, banyak orang tertarik menjadi jemaah umrah First Travel, karena biro perjalanan ini menyediakan paket umrah paling murah.
Harga paket promo First Travel lebih murah Rp 4 juta dari harga normal. Jika harga normal paket umrah berkisar Rp 19 juta-20 juta, harga paket promo agen perjalanan ini hanya Rp 14,3 juta hingga Rp 15 juta.
Namun, awal Agustus lalu, kedok First Travel terbongkar. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Agama (Kemenag) mencabut izin operasional First Travel.
Puncaknya, Bareskrim Polri menetapkan bos First Travel, Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan, menjadi tersangka, terkait kasus dugaan penipuan dan penggelapan.
Andika dan Anniesa dijerat Pasal 55 jo Pasal 378 dan Pasal 372 KUHP tentang Penipuan dan Penggelapan serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Keduanya terancam hukuman penjara selama empat tahun.
"Pelaku diduga menjanjikan paket umrah dengan cara menawarkan biaya murah," kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto, Jakarta, Kamis, 10 Agustus 2017.
Pencabutan izin karena First Travel dinilai terbukti melanggar Pasal 65 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008, tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Pelanggaran First Travel berupa tindakan penelantaran jemaah umrah yang mengakibatkan gagal berangkat ke Arab Saudi, dan timbulnya kerugian materi dan imateriil bagi jemaah umrah.
Saksikan video menarik berikut ini:
Vaksin Palsu
Setahun yang lalu, kasus yang melibatkan pasangan suami istri juga tak kalah menghebohkan publik. Masyarakat bahkan geram dengan pemalsuan yang dilakukan Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina.
Penemuan vaksin palsu mulai mengemuka pada akhir Juni 2016 di beberapa wilayah Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Peredaran vaksin palsu untuk balita ini, pertama kali diungkap Bareskrim Polri.
"Ada selisih harga yang jauh, dari situ kami bergerak dan menyelidiki temuan tersebut," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus, Brigadir Jenderal Polisi Agung Setya, saat berbincang di Redaksi Liputan6.com, SCTV Tower, Jakarta, Rabu 29 Juni 2016.
Polisi akhirnya membongkar sindikat pemalsu vaksin palsu. Sembilan orang yang terdiri dari lima produsen, dua kurir, satu pencetak label, dan satu penjual, diringkus di Jakarta, Tangerang Selatan, dan Bekasi.
Hidayat dan Rita merupakan produsen dan otak sindikat pembuatan vaksin palsu. Pasutri ini ditangkap di rumah mewahnya di Perumahan Kemang Regency, Jalan Kumala 2, Bekasi Timur, Kota Bekasi.
Bareskrim menggandeng beberapa unsur dalam menangani kasus ini, seperti Kementerian Kesehatan, asosiasi rumah sakit, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Sindikat pemalsuan vaksin tersebut memproduksi vaksin tetanus, BCG, campak, dan polio. Vaksin tersebut dijual bebas ke sejumlah rumah sakit dan klinik di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi.
Dalam fakta persidangan, terungkap pasutri ini terbukti memproduksi vaksin palsu jenis Pediacel, Tripacel, dan Engerix B menggunakan bahan-bahan yang tidak higienis.
Pembuatan vaksin palsu tersebut dilakukan di rumahnya, Perumahan Kemang Regency, Jalan Kumala 2, Bekasi Timur, Kota Bekasi, yang dilakukan sejak 2010-2016.
Bahan baku yang digunakan adalah klem, palu, dan jarum suntik. Caranya, botol bekas dicuci menggunakan alkohol dan dikeringkan.
Setelah itu, cairan akuades dicampur vaksin DT/TT yang dimasukkan ke dalam botol kaca. Kemudian botol ditutup dengan karet dan di-klem.
Hidayat dan Rita dapat memproduksi sedikitnya 200 botol vaksin dalam sehari. Pasutri ini biasanya memproduksi vaksin palsu setiap pagi.
Siang harinya, Rita keluar rumah mengendarai mobil mewahnya, untuk mengantarkan vaksin kepada seorang distributor.
Keduanya menjual vaksin palsu dengan harga Rp 30 ribu per botol. Lalu dijual kepada distributor lainnya seharga Rp 70 hingga Rp 100 ribu per botol.
Para distributor menjual ke klinik dan rumah sakit ternama di Jabodetabek, hingga akhirnya harga vaksin palsu di tangan konsumen Rp 300-400 ribu. Tak heran jika pasutri ini meraup untung Rp 25 juta setiap pekannya.
Kehidupan Hidayat yang merupakan mantan tenaga medis pabrik otomotif dan Rita, bidan rumah sakit di Bekasi, itu pun dikelilingi kemewahan. Di media sosial, keduanya terlihat memajang foto di atas kendaraan Mitusbishi Pajero Sport dan tinggal di rumah dua lantai kawasan elite.
Hidayat dan Rita akhirnya diganjar masing-masing sembilan dan delapan tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Bekasi.
"Keduanya terbukti bersalah memproduksi alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar," ujar Ketua Majelis Hakim Marper Pandiangan, dalam pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Bekasi, Senin, 20 Maret 2017.
Advertisement