Sukses

YLBHI: Jadi Pejabat Harus Berani Dikritik

Tagar #KAMIBERSAMADHANDY disebarkan untuk memberitahu masyarakat bahwa merawat demokrasi itu melalui kritik.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus pelaporan aktivis Dhandy Dwi Laksono mendapat kecaman dari sejumlah ormas dan aktivis yang tergabung dalam Masyarakat Sipil Indonesia (MSI). Tagar #KAMIBERSAMADHANDY disebarkan untuk memberitahu masyarakat bahwa merawat demokrasi itu melalui kritik.

MSI terdiri dari Aliansi urnalis Independen (AJI), lmparsial, Kontras, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Muhammadiyah, SAFENET, WALHI, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Pers, KUR, Amnesty Internasional, Panguyuban Korban UU ITE, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Indonesia speleologrcal Society, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK).

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, tulisan Dhandy berisi kritik terhadap Ketua Umum PDI-Perjuangan Megawati Soekarno, dan bukan berisi ujaran kebencian.

"Itu sebuah kritik, bukan sebuah serangan terhadap pribadi orang tersebut, karena dia pejabat publik. Ketika seorang berani menjadi pejabat publik maka tiap tindakannya harus berani dikritik," ujar Asfina di Kantor YLBHI, Jakarta, Jumat (8/9/2017).

Asfina menyebut, kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah wujud nyata partisipasi warga negara yang mesti dihormati dan dirawat oleh pemerintah.

"Tapi Kritik warga terhadap penguasa ditanggapi dengan pelaporan pidana ke polisi. Ekspresi politik dimaknai ancaman bagi pemerintah, opini warga dilawan dengan upaya pidana," kata dia.

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:

 

2 dari 2 halaman

Tuntutan MSI

Terkait dengan permasalahan Dandhy, MSI menyampaikan sikap. Pertama, menyerukan dan menyatakan dukungan kepada seluruh warga negara khususnya kepada Dandhy Laksono untuk tidak ragu terus merawat demokrasi dengan tetap bersuara kritis, menggunakan hak konstitusional warga negara untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat.

Kedua, mendesak Presiden Jokowi dan DPR untuk segera mencabut pasal-pasal karet UU ITE dan Undang-undang Hukum Pidana yang digunakan membungkam demokrasi dan kebebasan berpendapat. Pasal-pasal yang dimaksud adalah Pasal 27 ayat 3, pasal 28 ayat 2 dan pasal 29 UU ITE, maupun Pasal 310 dan Pasal 311.

Ketiga, mendesak Kepolisian dan Kejaksaan Republik Indonesia untuk menghentikan kasus terkait aktivis-aktivis yang dijerat dengan pasal-pasal karet UU ITE dan mendorong penyelesaian melalui mediasi atau dialog.

Keempat, menyerukan pihak-pihak yang melaporkan warga negara menggunakan UU ITE untuk berhenti menyalahgunakan hukum demi kepentingan pribadi, kelompok atau politik kekuasaan yang jauh darinilai-nilai kebenaran dan keadilan. Tindakan membungkam kebebasan berbicara orang lain dengan menggunakan Undang-undang sesungguhnya adalah tindakan menggali kubur untuk kebebasan berbicara semua orang di negeri ini.