Sukses

TPF PBB Harap Myanmar Beri Akses ke Rakhine

Myanmar masih sangat selektif memberi akses kepada siapa saja untuk menembus ke negara bagian tersebut.

Liputan6.com, Jakarta Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman yang ditunjuk Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai Tim Pencari Fakta (TPF) PBB di Rakhine menegaskan, persoalan muslim Rohingya bukan lagi masalah internal Myanmar. Karenanya, dia meminta dukungan dari seluruh elemen untuk mengungkap dugaan kejahatan kemanusiaan yang terjadi selama bertahun-tahun ini.

"Ini tidak bisa dipandang lagi sebagai masalah domestik tapi internasional yang sekarang ini memerlukan kerja sama dari semua pihak," kata Marzuki di Kantor PP Muhamadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat 8 September 2017.

Saat ini, menurut Marzuki, akses masuk ke Rakhine masih terkendala. Myanmar masih sangat selektif memberi akses kepada siapa saja untuk menembus ke negara bagian tersebut.

"Kita harap Myanmar memberikan akses karena TPF akan masuk dan melakukan penelitian dengan pikiran terbuka tanpa praduga dan prasangka. Dan hanya diarahkan oleh fakta yang ditemukan," ujar Marzuki.

Soal sanksi, bila mana benar ditemukan kejahatan kemanusiaan di Rakhine, Marzuki belum bisa memastikan apa hukumannya. Menurutnya, sanksi harus dibicarakan oleh anggota PBB lain.

"Itu wewenang dari Dewan HAM PBB yang beranggota 50 lebih negara. Dan itu tentunya merujuk pada rekomendasi yang diberikan TPF sejauh mana dugaan pelanggaran HAM itu ada atau tidak, sebagai tindak lanjut selanjutnya," kata Marzuki.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Kesepakatan Indonesia dengan Myanmar

Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Ito Sumardi menyebut tuntutan memutus hubungan diplomatik dengan Myanmar tak masuk akal. Pemerintah Indonesia justru tak bisa terlibat dalam penyelesaian konflik dan penyaluran bantuan kemanusiaan ke pengungsi Rohingya jika tak memiliki hubungan diplomatik.

"Gampang kalau bilang putuskan hubungan, tapi kaitannya apa. Kita tak perang dengan Myanmar, tak ada masyarakat kita yang diperangi oleh mereka," kata Ito di Malang, Jawa Timur, Jumat 8 September 2017.

Pemerintah Indonesia, kata Ito, sudah menjalin kesepakatan dengan pemerintah Myanmar dan Bangladesh terkait penyaluran bantuan kemanusiaan ke pengungsi Rohingya.

Kesepakatan itu malah bisa batal jika ada negara yang merasa tak nyaman lantaran menganggap ditekan. Atau ada sesuatu yang bisa menyinggung harga diri negara tersebut.

"Sebagai negara berdaulat, kalau merasa tersinggung harga dirinya dan malah menutup diri kita bisa apa. Tentu akan semakin menyulitkan kita untuk menyampaikan pesan dan bantuan kemanusiaan," papar Ito.

Ito menambahkan, ada dua menteri Myanmar yang menghubunginya dan menanyakan adanya aksi lempar bom molotov sampai pembakaran bendera mereka di depan kantor Kedutaan Myanmar di Jakarta. Hal itu dikhawatirkan mengganggu proses diplomasi yang sedang dibangun pemerintah Indonesia.

"Mereka protes. Coba misalnya ada pembakaran bendera di depan kedutaan kita, pasti rakyat Indonesia marah. Saya beri pemahaman ke mereka bahwa itu tak merepresentasikan warga yang berdemo, itu hanya sebagian kecil saja," ungkap Ito.

Menurutnya, pemerintah Indonesia bersimpati dengan etnis Rohingnya, maka pesan yang disampaikan harus dengan cara simpatik. Fakta bahwa tak ada sentimen agama dalam konflik antara etnis Rohingya dengan pemerintah Myanmar disebut sering sulit diterima oleh beberapa elemen kelompok masyarakat.

"Kecuali ada perlakuan yang serius ke KBRI di Myanmar atau masyarakat kita diperangi maka bisa kita putuskan hubungan," ucap Ito.