Liputan6.com, Medan - Cinta tak mengenal status sosial. Ungkapan itu mungkin menjadi faktor bagi 14 perempuan di Medan, Sumatera Utara, bersedia dipersunting pengungsi Rohingya.
Seperti ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Minggu (10/9/2017), ketidakjelasan status kewarganegaraan sebagai pencari suaka, bukan penghalang bagi mereka menjalin hubungan hingga jenjang pernikahan.
Rina Siregar misalnya, ibu satu anak ini dinikahi Muhammad Abdullah, pengungsi Rohingya sejak 2016. Keduanya berkenalan melalui media sosial, kemudian menikah siri.
Advertisement
Namun, status pernikahannya hanya tertulis dalam selembar kertas. Dari 14 pernikahan, hanya sembilan yang dilaporkan ke lembaga penanganan pengungsi.
Perkawinan yang tidak tercantum di lembaga penanganan pengungsi, sang istri yang merupakan warga lokal berpotensi dirugikan.
Sesuai peraturan, pasangan warga Indonesia yang menikah dengan pengungsi harus hidup terpisah. Para pengungsi yang ditampung di rumah detensi imigrasi, dilarang menempati rumah di luar penampungan.
Selain di Medan, potret kehidupan pengungsi Rhingya juga tampak di Makassar, Sulawesi Selatan. Sebanyak 214 etnis Rohingya mendiami 28 tempat pengungsian tanpa kejelasan status kewarganegaraan.
Selama mengungsi antara lima hingga tujuh tahun, mereka dilarang bekerja dan menghabiskan waktu luang di tempat pengungsian.
Sedangkan pihak imigrasi hanya bersifat mengawasi. Pasalnya, kewenangan sepenuhnya mengatur para pengungsi Rohingya di tangan komisioner Badan Pengungsi Internasional (UNHCR).