Sukses

Vespa Gembel, Alternatif Jati Diri di Tengah Kemapanan

Komunitas ‘gembel’ ini diyakini merupakan simbol perlawanan kelas pekerja terhadap kelas borjuis pada ranah ruang publik.

Liputan6.com, Jakarta - Tiga hari sebelum acara Jambore Nasional Jawa Rongsok Extreme digelar di Bantargebang, Bekasi, banyak kerabat Deni Darmawan (40) yang berkumpul di rumahnya.

Mereka datang dari Magelang, Bandung, dan Sidoarjo. Rencananya ada lima vespa yang berangkat bersama dari Cisayong, Tasikmalaya. Jawa Rongsok Extreme merupakan acara pertemuan pemilik Vespa dari berbagai jenis modifikasi. Namun, sebagian besar merupakan vespa gembel.

Deni, atau kerap disapa Aki, sengaja memilih waktu keberangkatan pada tengah malam. Hal itu lantaran dua dari lima vespa yang berangkat dari rumahnya merupakan vespa sampah atau gembel. Ukurannya besar dan jalannya lambat. Mereka menghindari keramaian.

"Kalau perjalanan kayak gini harus malam. Kalau siang, tidak enak, banyak mobil," tutur Aki kepada Liputan6.com, Tasikmalaya, awal Agustus 2017 lalu.

Laki-laki gondrong itu menambahkan, perjalanan pada malam hari juga merupakan salah satu upaya menghindari polisi. Sebagian besar vespa sampah tidak memiliki STNK atau BPKB. Kalau pun ada biasanya pajak mati atau kondisi kendaraan sudah tidak sesuai dengan yang tertera di surat.

Secara fisik,  vespa sampah mereka jauh dari kategori "normal".  Puluhan botol plastik bekas menggantung di motor Aki. Selain itu, ia juga melapisi kuda besinya dengan kain-kain kotor. Sedangkan di bagian depan, bapak tiga orang anak itu menghiasi vespanya dengan tengkorak kerbau.

Meski demikian, Aki mengaku tetap percaya diri dengan skuter yang dikendarainya. Mogok, kecelakaan, ditilang polisi, sudah menjadi risiko. Ia tidak melihat itu sebagai alasan untuk beralih.

“Vespa ini sebagian dari jiwa saya, bangga banget punya ini. Pakai yang lain malah saya kurang percaya diri," tutur Kang Aki sembari tersenyum.

Kecintaan Aki pada skuter pabrikan Italia itu sudah mengalir di darahnya sejak kecil. Kala itu ia diperkenalkan vespa oleh orang tua. Mulanya laki-laki berbadan tambun itu tidak tertarik sama sekali. Namun setelah banyak temannya menggunakan vespa, Aki berubah pikiran.

Aki semakin susah move on dari vespa ketika mengenal vespa sampah. Aki merasa senang lantaran solidaritas yang erat di antara pengguna vespa. Bahkan, menurut Aki, tak ada solidaritas yang lebih kuat dari kelompok vespa sampah dibanding kelompok motor lain.

Kisahnya dimulai sejak perjalanan menuju acara Java Scooters Rendezvous 4 di Malang. Selama perjalanan, Aki memungut sampah-sampah di jalan yang dianggap menarik. Ia lantas menggantungkan sampah itu di vespanya. Hingga tak terasa, sampai lokasi acara, vespanya sudah berubah menjadi tumpukan sampah.

“Vespa sampah itu terbentuknya ya di jalan, memungut sampah dari jalan. Jadi tidak mengeluarkan uang untuk membuat vespa sampah,” tutur Aki.

Kuatnya solidaritas yang diceritakan Aki itu pun tergambar saat perjalanan menuju acara Jawa Rongsok Extreme. Saat itu vespa yang ditungganginya mogok. Kejadiannya pukul 03.00 di Wado, Sumedang, Jawa Barat.

Laju motor Aki terhenti lantaran kampas koplingnya habis. Sementara di jam-jam itu tidak ada bengkel yang buka. Aki harus menunggu siang untuk memperbaiki motornya.

Saat itu rombongan vespa lain tidak lantas meninggalkan Aki sendiri. Mereka memutuskan untuk juga bertahan di tempat itu, membunuh waktu menjelang pagi dengan canda-tawa. Baru saat matahari menyingsing, teman-teman Aki mulai berpencar, mencari suku cadang yang dibutuhkan.

Siang harinya mereka melanjutkan perjalanan ke Barat. Rute yang dilalui di antaranya, Subang, Purwakarta, Karawang, kemudian Bekasi. Mereka mempunyai dua hari untuk datang ke acara tepat waktu.

2 dari 3 halaman

Salam Mesin Kanan

Sejak pagi alunan musik reggae menggema di Lapangan Bola RCS, Bantargebang, Bekasi. Sabtu, 5 Agustus 2017 itu menjadi hari yang bersejarah bagi Tediana (29), Usman Dhura (38), dan banyak rekan rekan lainnya. Mereka mengukir sejarah dengan menyelenggarakan Jawa Rongsok Extreme yang pertama.

Satu per satu penunggang kuda besi besutan Piaggio memadati lapangan. Bahkan ada yang sudah datang di lokasi sebelum acara dimulai. Mereka datang dari berbagai daerah, salah satunya Aki dan rekan-rekannya dari Tasikmalaya yang sudah memulai perjalanan sejak tiga hari sebelum acara dimulai.

Aki dan rekan-rekan hanya segelintir orang yang datang dari pelosok daerah. Banyak peserta Jawa Rongsok Extreme lain datang dari daerah yang lebih jauh.

“Menurut info, yang masuk kurang lebih 1.500 dari seluruh Indonesia. Ada dari Kalimantan, Sidoarjo, Bali,” tutur Usman Dhura selaku panitia.

Hingga petang para peserta terus berdatangan. Tanah lapang itu seolah berubah menjadi lautan vespa sampah. Tak henti-hentinya mereka saling bergurau, melepas rindu, antara satu dengan lain begitu akrab meski baru saja berjumpa.

Memang sudah menjadi impian Tediana selaku ketua panitia untuk membuat acara yang dapat menguatkan kembali persaudaraan antar anggota komunitas Vespa. Semangat itu setidaknya dapat terealisasi dengan diselenggarakannya acara Jawa Rongsok Extreme.

“Meski sebagian besar vespa sampah dan ekstreman, tapi kami tidak membeda-bedakan. Sampahan, ekstreman, klasik, standaran, tetap sama satu mesin, mesin kanan,” tegas Tediana.



Selain itu, dengan diselenggarakan Jawa Rongsok Extreme, Tediana, Dhura, dan rekan-rekannya juga ingin menunjukkan bahwa pengendara vespa sampah juga tetap berjiwa sosial. Hal itu ditunjukkannya dengan acara bakti sosial yang dilakukan keesokan harinya, Minggu, 6 Agustus 2017.

Uang, pakaian, dan buku yang terkumpul dari para peserta disumbangkan kepada anak-anak kurang mampu yang tinggal di RW 02 Desa Ciketing Udik, Bekasi. Sebagai simbol, perwakilan panitia menyerahkan santunan kepada ketua RW setempat. Acara itu disambut hangat warga sekitar.

Tediana mengatakan, “Meski tatoan, rambut gondrong, antingan, kami juga punya titik positif.”

“Walaupun penampilan urakan, tapi masih punya jiwa sosial,” ujar Dhura

Pada sore harinya, Jambore Nasional Jawa Rongsok Extreme usai. Selama dua hari acara berjalan lancar. Beberapa peserta langsung meninggalkan lokasi. Namun, ada juga sebagian yang belum beranjak pergi.

Aki dan rekan-rekannya dari Tasikmalaya tidak memilih untuk langsung pulang. Rencananya, setelah acara usai mereka berkunjung ke rumah teman-temannya yang letaknya dekat dari lokasi acara. Hal itu sudah menjadi tradisi, sehingga biasanya perjalanan pulang akan menyita waktu lebih lama dibanding keberangkatan.

3 dari 3 halaman

Mencari Eksistensi

Aki, Dhura, dan Tediana mempunyai kisah sendiri yang membuat mereka memilih untuk mencintai vespa sampah. Kesamaannya, mereka mengaku merasa percaya diri ketika duduk di skuter yang bisa dibilang jauh dari kata layak itu.

Penampilan vespa mereka yang kumal pun kerap mendapat perhatian dari orang di sekelilingnya. Bahkan, tak jarang Aki, Dhura, dan Tediana mendapat cemooh, dinilai urakan, gembel, arogan, bahkan dicurigai. Mereka sudah kebal.

Aki salah satunya. "Naik sampahan ini asyik. Mau dibilang gembel ya biarin. Kalau orang lain pamer punya mobil, saya dengan vespa ini juga bisa pamer,” celetuk Aki sembari melempar tawa.

Menurut laki-laki yang sudah 12 tahun menggunakan vespa gembel, orang lain mempunyai kebebasan untuk menilai dirinya seperti apa. Namun, yang lebih tahu mana yang benar adalah diri sendiri.

Ia menampik pandangan masyarakat jika pengguna vespa sampah merupakan pengangguran dan gembel. Nyatanya tidak, banyak teman Aki berasal dari keluarga berada. Begitu pun Aki yang mempunyai pekerjaan dengan penghasilan memadai.

“Vespa gembel, saya gembel, tapi ada pekerjaan di rumah. Saya punya kedai, ada warung nasi juga,” ucap laki-laki kelahiran Tasikmalaya itu.

Aki juga menambahkan selama ini kehidupannya dengan keluarga baik-baik saja. Istri dan tiga orang anaknya tidak merasa keberatan. Bahkan, terkadang sang istri ikut datang ke acara vespa. Di acara-acara itu biasanya istri Aki membuka warung nasi untuk menambah penghasilan.

Kondisi serupa juga dialami Tediana. Ia memilih menggunakan vespa sampah bukan kerena tidak mampu membeli vespa yang layak atau kendaraan lain. Namun baginya, menggunakan vespa sampah membuat lebih percaya diri. Bahkan, laki-laki dengan tato di tubuhnya itu merasa bangga.

“Ada kebanggaan sendiri saat memakai motor itu. Orang-orang jadi memperhatikan saya,” ujar Tediana.

Vespa sampah sendiri sebenarnya sudah menjadi tren di Indonesia sejak 2003. Fenomena ini pertama kali muncul di Jawa Timur. Namun, perlahan merambah ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia dan membentuk komunitas-komunitas. Uniknya, fenomena vespa sampah ini hanya ada di Indonesia hingga sempat mendapat sorotan dari media asing.

Pemilik vespa gembel memilih sampah tertentu yang dianggapnya menarik. Sampah itu ia peroleh saat touring. Biasanya setiap sampah yang mereka pilih untuk ditempelkan di vespanya memiliki kenangan dengan tempat atau peristiwa tertentu.

Dalam penelitian untuk skripsinya di UIN Sunan Kalijaga pada 2010, Badruzzaman Pranata Agung menulis, "Komunitas tersebut, ternyata menjadikan gaya alternatif yang menjadi budaya tanding (counter culture) terhadap budaya mainstream yang begitu hedonis dan materialistis".

Sekaligus, ucap Badruzzaman, komunitas Vespa Gembel tersebut menjadikan diri mereka sebagai subkultur pada dunia bikers. Komunitas "gembel" ini merupakan simbol perlawanan kelas pekerja terhadap kelas borjuis pada ranah ruang publik.        

Antropolog Universitas Indonesia, Hillarius S. Taryanto, melihat fenomena vespa sampah sama halnya dengan fenomena kelompok punk dan tato. Mereka membawa nilai-nilai pemberontakan terhadap kemapanan. Dalam fenomena vespa sampah, simbol-simbol pemberontakan lebih pada perilaku melanggar aturan lalu lintas dan gaya berpakaian serta penampilan fisik.

Selaras dengan pernyatan Aki dan Tediana, Hillarius juga membenarkan jika sebagian dari pengendara vespa sampah merupakan orang-orang dari latar belakang keluarga berada.

Mereka mempunyai kecenderungan jenuh dengan rutinitas sehari-hari dalam keluarga. Kemudian, mereka berupaya keluar dari belenggu itu dan mencari hal baru.