Sukses

Menangkal Penyebaran Obat PCC dari Kendari

Polisi menetapkan sembilan tersangka kasus dugaan pengedaran dan penjualan obat PCC tanpa izin.

Liputan6.com, Jakarta - Puluhan orang di Kendari, Sulawesi Tenggara menjadi korban penyalahgunaan obat PCC atau Paracetamol, Cafeine, Carisoprodol. Di antara mereka bahkan dibawa ke rumah sakit jiwa akibat efek yang ditimbulkan.

Di bawah pengaruh PCC yang berlebihan itu, mereka bertingkah seperti orang tidak waras dan disorientasi. Mereka ada tidak sadar, berontak, kejang-kejang hingga mulut mengeluarkan busa. Bahkan dua orang meninggal dunia akibat penyalahgunaan PCC.

Peredaran obat daftar G (obat keras yang harus dengan resep dokter) yang termasuk di dalamnya Somadril, Tramadol, dan PCC, ternyata tak hanya di seputaran Kota Kendari saja.

Di Sulawesi Tenggara peredaran obat daftar G juga telah menyasar Kabupaten lain seperti Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Konawe. Obat tersebut juga dijual dengan harga miring, yakni Rp 25 ribu per 20 butir.

Polisi kini menetapkan sembilan tersangka kasus dugaan pengedaran dan penjualan PCC. Tak hanya itu, polisi juga telah menyita barang bukti lainnya yakni obat PCC sebanyak 5.227 butir.

"Telah ditetapkan sembilan tersangka. Ini dua (tersangka) di Polda, empat (tersangka) di Polresta Kendari, dua (tersangka) di Polres Kolaka dan satu (tersangka) di Polres Konawe," ujar Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol Martinus Sitompul, di Divisi Humas Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Kesembilan tersangka, ujar Martinus, ditangkap karena tidak memiliki izin mengedarkan obat keras tersebut ke masyarakat yang seharusnya juga harus melalui resep dari dokter.

"Sembilan orang tersangka ini melakukan praktik mengedarkan di masyarakat tetapi tidak memiliki izin mengedarkan dan ini kan harus melalui resep dokter. Tapi dalam praktiknya dijual bebas," papar Martinus.

Kesembilan tersangka pun dikenakan Pasal 197 juncto Pasal 106 ayat 1 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan hukuman pidana maksimal 15 tahun dan denda maksimal 1,5 miliar.

Antisipasi Penyebaran

Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengaku baru mengetahui adanya obat PCC. Untuk mencegah pil ini beredar di Ibu Kota, Djarot berharap Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) diperkuat.

"Makanya perkuat BNNP, kemarin sudah kita sampaikan BNNP ini kan, kita ini kan mau perang nih, perang pada narkoba. Tapi sarananya minim, sistemnya minim, gedung tidak representatif," ujar Djarot di Balai Kota Jakarta, Jumat (15/9/2017).

Akibat masih minimnya sarana BNNP DKI Jakarta, Djarot mengaku saat ini sedang membangun gedung yang besar di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat, untuk nantinya dipakai BNNP.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy meminta kepala daerah menyikapi penemuan PCC di Kendari, Sulawesi Tenggara. Dia berharap, kepala daerah mengawasi jalan tikus yang biasa digunakan pengedar untuk memasukkan narkoba.

"Saya sudah diskusi panjang dengan gubernur di wilayah-wilayah perbatasan. Memang drug traficking memang sangat-sangat intensif. Karena itu, saya mohon ada perhatian," kata Muhadjir di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Kamis 14 September 2017.

Muhadjir menjelaskan, berdasarkan diskusi dengan berbagai pihak, penyelundupan obat-obatan terlarang ini biasanya menggunakan jalur tikus yang tidak terkawal. Wilayah Indonesia yang luas membuat jalur tikus pun membentang ratusan kilometer di perbatasan.

Muhadjir berpendapat, anak-anak Indonesia sangat rentan menjadi korban peredaran obat terlarang.

"Ada daerah-daerah terdepan yang memang berbahaya, terutama Kalimantan, kemudian sebagian Sulawesi, Maluku Utara, itu yang harus diwaspadai," pungkas Muhadjir.

2 dari 4 halaman

Korban PCC Mulai dari Anak-Anak

Bocah berusia 9 tahun menjadi korban ganasnya obat PCC di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Bocah berinisial AD itu masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) di salah satu sekolah di Kecamatan Kendari Barat. Saat ini, AD masih menjalani perawatan intensif di UGD RSJ Kota Kendari.

Cici (28), ibu AD, mengatakan bahwa anak laki-lakinya itu mengalami gejala awal pada Rabu, 13 September 2017. Melihat keanehan buah hatinya itu, Cici kemudian melarikan anaknya ke RSJ Kota Kendari keesokan harinya.

"Saya tidak tahu apa yang sudah dia makan atau minum, yang jelas waktu hari Rabu malam anak saya tiba-tiba demam, panasnya tinggi, dan seperti lumpuh. Besoknya baru saya bawa ke rumah sakit," kata Cici, Jumat 15 September 2017.

Selain demam tinggi, kata Cici, anaknya, AD, juga kadang berbicara sendiri dan bergerak lebih aktif dari biasanya. Namun, yang membuatnya semakin khawatir adalah anaknya tidak mau makan sama sekali.

"Lain-lain, karena dia bicara sendiri dan lincah sekali. Parahnya, dia tidak mau makan dari hari Rabu, hari ini baru bisa makan," ucapnya.

Cici menambahkan pihak rumah sakit telah memberikan suntikan penenang karena AD sempat meronta saat tiba di rumah sakit. "Sudah membaik sekarang, karena diberi suntik penenang," ujar Cici.

Berdasarkan data yang dihimpun Liputan6.com, sebagian besar korban mengaku bukan pertama kali mengonsumsi obat daftar G itu yang oleh warga setempat disebut mumbul.

Pengakuan Warga

Farid Eka Putra, salah seorang warga Kota Kendari mengatakan, kebanyakan para pekerja dan pelajar di daerahnya terbiasa mengonsumsi mumbul sebelum beraktivitas.

"Bagaimana kalau tidak pakai itu, pasti tidak kuat kerja. Bukan cuma para pekerja seperti aheng (pencari penumpang angkot di terminal) atau sopir mobil angkot, bahkan itu anak-anak SMP dan SMA juga pakai begitu," kata Farid kepada Liputan6.com, Jumat (15/9/2017).

Pengakuan serupa disampaikan Rini (22). Menurut warga Kelurahan Kemaraya, Kota Kendari itu, obat PCC yang menyebabkan ia tak sadarkan diri kali ini dosisnya berbeda.

"Sudah sering pakai yang begini, tapi tidak tahu kalau yang ini lebih ganas. Beda dosisnya," kata Rini.

Efek kuat, sambung dia, mulai terasa 10 sampai 15 menit setelah menelan obat PCC. Awalnya, ia merasa tubuhnya lemas dan melayang. Tak lama kemudian, tubuhnya kejang-kejang dan panas menjalar perlahan ke seluruh tubuh.

"Makanya, yang konsumsi PCC selalu mau cari air. Tidak peduli itu air bersih atau air kotor, yang penting masuk air saja dulu, biar dingin," ujar dia.

Amus, korban lainnya, mengaku efek pil PCC yang kali ini dikonsumsinya bekerja lebih cepat. Tak lama setelah dikonsumsi, Amus mengaku tubuhnya terasa selalu ingin bergerak sendiri karena berhalusinasi.

"Untung saya berhasil lawan. Saya ingat betul rasanya seperti mau jalan terus tanpa tujuan, badan terasa seperti terbakar, pokoknya seperti orang gila," tuturnya.

 

3 dari 4 halaman

Jumlah Korban Terus Bertambah

Jumlah korban akibat obat PCC di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, terus bertambah. Pihak Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Sulawesi Tenggara mencatat saat ini jumlah korban sudah 68 orang.

Petugas Kehumasan BNNP Sulawesi Tenggara Adisak Ray mengungkapkan, sejumlah korban obat PCC saat ini telah dipulangkan ke rumah masing-masing karena berbagai alasan. Di antaranya karena kondisi korban yang sudah membaik dan ada pula yang karena pihak keluarga meminta agar anggota keluarganya dipulangkan.

Meski demikian, ucap Adisak, jika dibandingkan dengan korban yang sudah dipulangkan, saat ini masih lebih banyak korban yang dirawat di sejumlah rumah sakit yang ada di Kota Kendari.

"Masih lebih banyak yang dirawat intensif karena kondisinya belum membaik, bahkan masih ada yang belum sadarkan diri," ujar dia.

Saat ini, pihak BNNP Sulawesi Tenggara, BNNK Kendari, pihak Kepolisian dan Badan POM telah membuat posko yang dipusatkan di Polresta Kendari. "Hari ini kita sudah buat posko yang dipusatkan di Polresta Kendari," tuturnya.

Korban Meninggal

Korban meninggal dunia setelah menenggak obat PCC menjadi dua orang. Salah satunya seorang siswa sekolah dasar (SD) berinisial R (13 tahun). Kapolresta Kendari AKBP Jemy Junaidi mengatakan, setelah meninggalnya R pihaknya mendapatkan informasi bahwa ada seorang korban lagi yang diduga meninggal di Teluk Kendari.

"Iya ada satu lagi, dugaannya karena kepanasan setelah menkonsumsi obat PCC, makanya nekat lompat di laut. Dia ditemukan pagi tadi dalam keadaan tidak bernyawa," kata Jemy Junaidi kepada Liputan6.com, Kamis, 14 September 2017 malam.

Namun, kata Jemy, itu baru sebatas dugaan karena obat PCC. Untuk memastikannya, pihak kepolisian perlu melakukan autopsi terhadap korban. "Tapi pihak keluarga tidak mau jika korban diautopsi," ujarnya.

 

4 dari 4 halaman

Apa Kandungan PCC?

Kepala Bidang Pemberantasan BNN Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) Bagus Hari Cahyono mengatakan, obat PCC (paracetamol, caffeine, dan carisoprodol) yang dikonsumsi puluhan warga Kendari sehingga mereka dilarikan di UGD dosisnya berbeda dari yang umumnya.

"Ini kemasannya saja yang PCC, tapi obatnya bukan. Sehingga efeknya seperti yang terjadi pada puluhan warga yang dilarikan ke rumah sakit tersebut," kata Bagus Hari di Kendari, Rabu, 13 September 2017, dilansir Antara.

Ia mengatakan, pihaknya bersama kepolisian sudah menduga obat Tramadol dan Somadril menjadi penyebab beberapa warga yang dilarikan ke UGD selama dua hari ini. Bahkan, ada korban yang sampai menceburkan diri ke laut hingga meninggal.

"Hanya saja, efek yang ditimbulkan itu masih menjadi pertanyaan. Mengonsumsi tiga sampai lima butir obat ini, efeknya korban kehilangan kesadaran hingga berhari-hari," kata dia.

Ia mengatakan, obat Somadril dan Tramadol masuk dalam daftar G atau obat keras. Artinya, penggunaan obat itu harus menggunakan resep dari dokter.

"Bila obat ini dikonsumsi dengan dosis tinggi atau dosis yang tidak sesuai anjuran dokter, maka bisa berakibat fatal bagi penggunanya sehingga harus diawasi peredarannya," katanya.

Namun keterangan berbeda disampaikan BPOM. Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Kendari, Sulawesi Tenggara, Adillah Pababbari mengatakan, obat PCC ini adalah obat ilegal tanpa izin edar dari BPOM karena berisi zat Carisoprodol yang dijual perorangan.

Menurut dia, pihaknya sudah mendapatkan sampel yang dikonsumsi puluhan warga Kendari tersebut. Berdasarkan sampel itu, ia menyatakan obat PCC tersebut bukanlah Somadril, tetapi tablet PCC yang dijual tanpa kemasan serta ilegal.

"Ada pula sejumlah cairan, kita masih periksa kandungannya. Sekali lagi yang dikonsumsi itu bukan Somadril yang mengandung zat Carisoprodol, karena Comadril sudah ditarik peredarannya sejak tiga tahun lalu," kata kata Adillah dalam keterangan pers di Kendari, Kamis, 14 September 2017, dilansir Antara.

Ia menerangkan, Carisoprodol adalah jenis obat keras berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 6171/A/SK/73/ tanggal 27 Juni tahun 1973 tentang Tambahan Obat Keras Nomor Satu dan Nomor Dua.

"Obat yang mengandung Carisoprodol memiliki efek farmakoligis sebagai relaksasi otot. Namun, relaksasi itu berlangsung singkat, karena di dalam tubuh akan segera dimetabolisme akan menjadi meprobamat yang menimbulkan efek sedatif. Neprobamat sendiri termasuk jenis psikotropika," katanya.

Di Indonesia, kata Adillah, Carisoprodol pertama kali mendapatkan izin edar Badan POM sebagai obat Somadril. Namun pada 2014, BPOM menarik dan membatalkan izin edarnya karena banyak kasus penyalahgunaannya yang berlangsung sejak 2000.

"Obat ini banyak digunakan oleh pemuda untuk melakukan kesenangan, kemudian pengamen untuk menambah percaya diri, pekerja tambang dan nelayan sebagai obat penambah stamina, bahkan PSK digunakan sebagai obat kuat," katanya.

Meningkatnya penyalahgunaan Somadril, kata Adillah, membuat badan POM mengeluarkan SK Kepala Badan POM HK/04.1.35.07.13.3856. Tahun 2013 tanggal 24 Juli sebagai perubahan atas keputusan HK/04.1.35.06.13.3535 2013 tentang Pembatalan Izin Edar Obat yang mengandung Carisoprodol, termasuk Somadril.

"Untuk menghindari penggunaan obat ini, maka diperlukan keterlibatan seluruh komponen bangsa, baik pemerintah, badan usaha, dan masyarakat umum," kata dia.