Liputan6.com, Karangasem - Suami istri berusia 100 tahun yang pada 1963 menyaksikan Gunung Agung meletus, kini kembali menjadi bagian dari ratusan ribu pengungsi.
Seperti ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Sabtu (30/9/2017), boleh jadi Nyoman Rupa dan Wayan Rupa adalah pengungsi tertua di antara ratusan ribu pengungsi dari zona rawan bencana Gunung Agung di Karangasem, Bali.
Sebelumnya, pasangan usia lanjut asal Desa Selat Duda, Karangasem ini enggan meninggalkan tempat tinggal mereka. Setelah dibujuk kerabat, relawan akhirnya menjemput keduanya untuk mengungsi di Kabupaten Klungkung.
Advertisement
Nyoman Rupa yang menjadi saksi hidup letusan Gunung Agung pada 1963 mengaku pasrah. Dia bahkan siap jika meninggal dunia di pengungsian.
"Sudah, waktu gunung (Gunung Agung) meletus sudah ada waktu itu, saya dan anak di sana selama dua hari tinggal di dapur, saya tidak mengungsi. Waktu itu saya punya anak baru satu dan kini ia sudah meninggal setelah dewasa," pungkas Nyoman Rupa.
Di sela aktivitas Gunung Agung yang tak menentu, bayi pun harus hidup di tengah ribuan pengungsi di GOR Swecapura, Klungkung.
Kadek Metha, bayi usia 2 bulan ini adalah putri kedua pasangan Wayan dan Ani. Keluarga ini mengungsi karena rumah mereka berada di lereng Gunung Agung. Kini rumah mereka sudah rusak karena efek gempa.
Hingga kini jumlah pengungsi yang meninggalkan kawasan rawan bencana terus bertambah. Tercatat ada 100.000 lebih pengungsi di 430 titik yang tersebar di 9 kabupaten kota di Bali.