Sukses

KPK Perpanjang Penahanan Gubernur Sultra Nur Alam

KPK telah menahan Nur Alam pada 5 Juli 2017, setelah ditetapkan sebagai tersangka sejak Agustus 2016.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperpanjang masa penahanan Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam, selama 30 hari.

Nur Alam adalah tersangka tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan, dalam persetujuan dan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) di Provinsi Sultra 2008-2014.

"Dilakukan perpanjangan penahanan tahap Pengadilan Negeri (PN) yang kedua, selama 30 hari mulai 3 Oktober sampai dengan 1 November 2017," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Jumat 29 September malam.

KPK telah menahan Nur Alam pada 5 Juli 2017, setelah ditetapkan sebagai tersangka sejak Agustus 2016.

Nur Alam pernah mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, Hakim Tunggal I Wayan Karya menolak seluruh permohonan praperadilannya, yang dibacakan pada 12 September lalu.

Sasksikan video pilihan berikut ini:

 

 

2 dari 2 halaman

Izin Pertambangan

Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK berdasarkan surat perintah penyidikan KPK pada 15 Agustus 2016.

Nur Alam diduga melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang, untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dengan mengeluarkan Surat Keputusan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan Eksplorasi, kepada PT Anugerah Harisma Barakah.

Pada perusahaan yang sama, Nur Alam juga diduga mengeluarkan SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Ekslorasi, menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi.

PT Anugerah Harisma Barakah adalah perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana Sulawesi Tenggara.

Nur Alam dalam perkara ini disangkakan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp 1 miliar.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2013, Nur Alam diduga menerima aliran dana USD 4,5 juta atau setara Rp 50 miliar, dari Richcorp Internasional yang dikirim ke bank di Hong Kong, dan sebagian di antaranya ditempatkan pada tiga polis AXA Mandiri.

Richcorp, melalui PT Realluck International Ltd--saham Richcop 50 persen, merupakan pembeli tambang dari PT Billy Indonesia.