Sukses

Menanti Isyarat Dewa, Akankah Erupsi Gunung Agung Sedahsyat 1963?

Sejarah mencatat, gunung ini pernah tujuh kali meletus: 1808, 1821, 1843, 1908, 1915, 1917, dan 1963. Letusan yang terakhir yang terdahsyat.

Liputan6.com, Jakarta - Suasana lengang tampak di jalanan Dusun Muntig, Desa Tulamben, Kecamatan Kubu, Karangasem, Rabu, 27 September 2017 siang. Terik matahari terasa menyengat. Di dusun itu, tak banyak warga beraktivitas. Hanya ada dua ekor ajag atau anjing hutan yang lalu lalang.

Sepanjang jalan dusun, rumah-rumah warga tampak sepi. Hanya empat rumah yang tampak ada aktivitas pemiliknya. Suasana sepi juga terasa di sebuah pura di desa itu. Pura yang biasa dikunjungi warga untuk sembahyang tampak tak terurus. Bahkan, tak ada sisa banten di pura itu.

“Warga di sini mengungsi,” kata Mangku Sumerta (48), salah seorang warga Dusun Muntig, kepada Liputan6.com.

Suasana seperti ini sudah terjadi sejak Jumat, 22 September 2017. Pada hari itu, Gunung Agung yang berjarak enam kilometer dari Dusun Muntig ini mengalami peningkatan aktivitas vulkanik. Status gunung berapi di Pulau Bali itu berganti dari siaga menjadi awas.

Peningkatan status membuat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menerapkan radius aman 9 kilometer dari puncak gunung dan juga mengimbau warga segera mengungsi. Warga dusun kemudian ramai-ramai mencari tempat aman.

Meski sudah ada yang mengungsi, tak sedikit warga yang kembali datang ke dusun. Ini seperti yang Liputan6.com temukan di dusun itu. Kadek Sri salah satunya. Perempuan 27 tahun ini terbiasa pulang ke rumah, buat sekadar memasak. “Ini untuk dibawa ke tempat pengungsi,” kata Sri.

Sudah hampir sepekan Sri pergi pulang ke rumah dan pengungsian. Setiap pagi, ia bersama anak, suami dan ibunya pulang ke rumah. Sore hari, dia baru kembali ke pengungsian dan menginap di sana.

Sri seolah tak khawatir kudu bolak-balik ke rumah. Meski mengaku takut saat gempa mengguncang, ia dan suaminya tak kerasan tinggal di pengungsian. Apalagi, mereka memiliki hewan ternak yang harus diurus lantaran tak bisa ikut dibawa mengungsi.

“Jadi bagaimana pun, enak di rumah,” kata Sri.

Kenyamanan di dalam rumah ini juga yang dirasakan Sumerta. Keluarga besarnya, kata Sumerta, tinggal di pengungsian. Hanya dirinya yang tetap di rumah. Sumerta bahkan yakin Gunung Agung tak akan meletus dengan dahsyat. Ini membuat dirinya tak takut tetap berada di kampung halaman.

“Saya yakin tidak akan keras,” kata Sumerta.

Warga memantau aktifitas Gunung Agung di Pos Pemantauan Desa Rendang, Karangasem, Bali, Jumat (29/9). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mencatat aktifitas Gunung Agung masih tetap tinggi. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Selama mengunjungi dusun tersebut, Liputan6.com sempat merasakan dua kali gempa berkekuatan kecil mengguncang dalam kurun satu jam. Meski begitu, guncangan tersebut sempat membikin rasa khawatir.

Rasa khawatir itu dilatari jarak dusun tersebut dengan puncak Gunung Agung yang hanya 6 kilometer. Jika merujuk ke PVMBG, dusun tersebut dikualifikasikan sebagai zona merah atau kawasan rawan bencana. Ini menjadi penyebab gempa dirasakan berulang kali di dusun tersebut.

Saat ditemui Liputan6.com, Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api dari PVMBG, Gede Suantika, mengatakan jarak 6 kilometer dari puncak gunung memang tak aman buat siapa pun. Status awas, kata Suantika, mengakibatkan gempa yang terjadi di zona merah, ratusan kali lebih banyak di banding sebelumnya.

Alat seismograf di Pusat Pantauan Gunung Agung di Kecamatan Rendang, Karangasem, mencatat, terjadi 586 kali gempa dalam dan 120 gempa dangkal per hari selama berstatus awas. “Padahal, normalnya, satu bulan itu satu kali atau enggak sama sekali,” kata Suantika.

2 dari 3 halaman

Nostalgia Pengungsi

Gempa akibat aktivitas vulkanik Gunung Agung tak hanya dirasakan di zona merah di Kabupaten Karangasem. Lindu juga terasa di sejumlah tempat di Pulau Dewata. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Bali mendirikan 357 lokasi pengungsian di sembilan Kabupaten. Pos pengungsian ini bakal menampung warga jika Gunung Agung meletus.

Hiruk-pikuk warga mengungsi mengusik ingatan Nyoman Kami (66), warga Desa Muncan, Kabupaten Karangasem. Nyoman Kami merupakan saksi hidup saat Gunung Agung meletus pada 1963. Kala itu, Nyoman Kami masih berusia 12 tahun. Saat ini, ia mengungsi di GOR Swecapura, Kabupaten Klungkung.

Kepada Liputan6.com, Nyoman Kami menuturkan pengalamannya bertahan saat bencana dahsyat itu terjadi pada dekade 60-an. Saat itu, kata Nyoman Kami, gempa yang terjadi sangat dahsyat. “Semua mengungsi,” kata Nyoman Kami.

Seingat Nyoman Kami, peristiwa itu berlangsung satu bulan, dari Februari hingga Maret. Suara letusan dahsyat menjadi pembuka erupsi, kemudian awan hitam menyelimuti langit. Seturut kemudian, hujan kerikil terjadi.

Bali dirundung gelap nan mencekam. Situasi berlangsung cukup lama. Selang beberapa hari, kata Nyoman Kami, lahar panas meluncur dari puncak dan menerabas sejumlah wilayah di selatan, tenggara, dan barat daya Gunung Agung.

Jalur lahar letusan Gunung Agung pada 1963. (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Dua pekan berselang dari insiden lahar turun, Nyoman Kami melanjutkan, dia dan keluarga masih mengungsi. Saat itu, letusan gunung kembali muncul, tepatnya 17 Maret 1963. Letusan tersebut merupakan yang terdahsyat dan tercatat sebagai puncak erupsi Gunung Agung.

Momen itu yang paling diingat Nyoman Kami. Ribuan orang berdesakan dan berhamburan mencari tempat yang lebih aman. Padahal, warga sudah mengungsi di tempat aman. “Laharnya sudah ada di sungai,” kenang Nyoman Kami.

Situasi mencekam itu berangsur pulih. Namun, kata Nyoman Kami, warga tetap mengungsi selama berbulan-bulan. Setiap dua pekan, kata dia, warga berpindah tempat pengungsian. Selain itu, ada juga warga yang akhirnya pindah dan menetap di tempat yang baru. Ini seperti yang dilakukan keluarga besarnya.

Meski kejadian ini sudah 54 tahun silam, Nyoman Kami masih merasakan trauma. Ingatan gempa dahsyat itu masih membekas hingga kini. Terkadang rasa takut menghinggapi kembali jika ada gempa.

“Mudah-mudahan sekarang enggak ada letusan kayak dulu,” kata Nyoman Kami.

Kekhawatiran Nyoman Kami juga menghinggapi benak Gede Suantika. Piek van Bali, nama lain Gunung Agung, merupakan gunung api yang aktif. Sejarah mencatat, gunung ini pernah tujuh kali meletus: 1808, 1821, 1843, 1908, 1915, 1917, dan 1963. Letusan yang terakhir merupakan yang terdahsyat.

Suantika mengatakan, PVMBG terus mengawasi. Saat ini, kata dia, gunung tertinggi di Pulau Dewata itu memang sedang bergejolak. Ini berdasarkan alat seismograf yang merekam aktivitas vulkanik di gunung tersebut.

“Sejak Juli hingga September, muncul banyak sekali gempa,” kata Suantika.

 Infografis Gunung Agung (Liputan6.com/Triyasni)

Tak hanya gempa, kata Suantika, pantau PVMBG di pos pemantau mendapati adanya kepulan asap putih setinggi 50 hingga 200 meter setiap harinya. Asap putih tersebut merupakan uap air hasil  pemanasan di bawah dengan magma semakin meningkat. Ini berarti, magma sudah semakin ke atas untuk mendobrak penutup kepundan.

Kondisi ini, kata Suantika, jelas tak menguntungkan buat warga yang berada di zona merah seperti di Dusun Muntig. Ia berharap, warga menjauh dan tetap berada di pos pengungsian. Supaya tidak terjadi bahaya yang tak diinginkan seperti saat Gunung Agung meletus pada 1963.

“Karena saat itu ada material dari puncak yang meluncur vertikal dan jangkauannya sampai 12 kilometer ke  tenggara, timur laut, dan utara,” kata Suantika.

3 dari 3 halaman

Kearifan Lokal

Sejak PVMBG menetapkan status awas, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan BPBD Bali lekas bertindak mensterilkan area zona merah. Kejadian letusan dahsyat Gunung Agung di tahun 1963, menjadi acuan penanganan peningkatan aktivitas Gunung Agung.

Nyatanya, sikap gesit BNPB, BNPD, dan PVMBG, tak direspons cepat warga. Gejolak vulkanik yang tengah terjadi di Gunung Agung, dianggap bukan perkara berbahaya. Sebaliknya, warga punya cara memahami berbeda berdasarkan garis kepercayaan adat dan agama.

Warga Bali, yang mayoritas beragama Hindu, punya cara pandang tersendiri dalam melihat fenomena erupsi. "Erupsi bukan sesuatu yang negatif,” kata Tjokorda Raka Putra, budayawan sekaligus pemangku adat Bali.

Pemangku adat yang menetap di Denpasar ini menjelaskan, ajaran Hindu meyakini istana Tuhan berada di tempat atau puncak paling tinggi. Dalam konteks Bali, kata Raka, umat Hindu mempercayai Istana Dewa berada di Gunung Agung.

Seorang Umat Hindu berdoa dalam prosesi ritual tahunan Purnama Kapat di tengah aktivitas Gunung Agung pada level awas di Pura Besakih, Karangasem, Bali, Kamis (5/10). Ritual setahun sekali ini digelar setiap bulan purnama. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Raka menyinggung peristiwa letusan Gunung Agung pada 1963. Saat erupsi, masyarakat Hindu Bali sedang menggelar Upacara Purnama Kapat di Puri Besakih, sekitar 7 kilometer dari puncak gunung, dan masuk kawasan zona merah.

Warga tak lantas menghentikan upacara. Sebaliknya, tetap melangsungkan upacara tersebut. “Karena Beliau (Dewa) sedang menampakkan diri,” kata Raka.

Kepercayaan ini menjadi alasan sejumlah warga untuk kembali ke zona merah. Mereka, kata Raka, amat mempercayai bahwa Tuhan sedang menunjukkan kekuasaan-Nya.

“Karena itu, kami tidak takut,” ucap Raka.