Liputan6.com, Jakarta - Kepemimpinan di Jakarta hari ini berganti dari Gubernur Djarot Saiful Hidayat ke Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Beralihnya kepemimpinan juga bisa diartikan beralihnya tanggung jawab untuk mengelola Ibu Kota.
Yang jelas, pasangan Anies-Sandi tak hanya akan disibukkan oleh pelaksanaan program kerja yang sudah disusun, melainkan juga menuntaskan kerja yang belum diselesaikan Gubernur Djarot. Banyak pekerjaan rumah yang menanti Anies-Sandi, di luar program kerja unggulan mereka.
Baca Juga
Bahkan, Djarot sepekan sebelum masa jabatannya berakhir sudah memberikan sinyal tentang pekerjaan besar yang belum terselesaikan dan harus dituntaskan oleh pemimpin Jakarta yang baru.
Advertisement
"Terus terang saja ada tiga persoalan pokok. Satu masalah kemacetan. Kemudian, masalah permukiman karena masih banyak itu yang tinggal di bantaran sungai. Demikian pula masalah persampahan karena kami selama ini bergantung kepada Bantar Gebang," kata Djarot di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin 9 Oktober 2017.
Selain itu, masalah lainnya adalah seputar banjir dan ketersediaan transportasi massal yang murah. Semua itu menjadi tugas tambahan bagi Anies-Sandi yang mau tak mau juga harus menjadi prioritas karena menyangkut hajat hidup warga Jakarta. Mari kita bedah satu per satu.
1. Permukiman
Djarot menjelaskan masalah permukiman masih menjadi pekerjaan yang belum terselesaikan pada era kepemimpinannya. Pembangunan rumah susun masih perlu digalakkan untuk menampung warga Jakarta, terutama yang berada di bantaran sungai.
"Masih banyak itu yang tinggal di bantaran sungai. Kami berusaha membangun rusun. Karena konsep kami untuk permukiman di Jakarta, dengan kondisi seperti ini diharapkan pembangunannya dilakukan secara vertikal," papar Djarot.
Soal permukiman atau hunian di Ibu Kota memang masalah klasik. Tingginya harga tanah dan lahan yang makin sempit membuat warga membangun di kawasan yang dilarang. Di bantaran sungai, misalnya, meski sudah dilarang tetap saja warga membangun permukiman.
Padahal, aturan tentang kawasan bantaran sungai tegas diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. UU ini lalu digantikan dengan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang diikuti dengan PP Nomor 25 Tahun 1991 tentang Sungai, dan kemudian digantikan lagi dengan PP Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai.
Aturan lama dan baru ini menegaskan, 10-20 meter dari bibir sungai atau sempadan dilarang untuk dibangun. Selain itu, secara tegas disebutkan kalau sungai, termasuk sempadan, adalah milik negara.
Di lapangan, banyak lahan di sekitar bantaran sungai yang sudah dikuasai sekian lama oleh penghuninya tanpa bukti kepemilikan. Namun, para penghuni tetap membayar iuran yang diwajibkan pemerintah, seperti listrik dan telepon yang anehnya bisa masuk ke sana.
Namun, Anies-Sandi sepertinya sudah siap dengan masalah ini. Jauh sebelum terpilih sebagai pemimpin Ibu Kota, keduanya sudah mencanangkan program di sektor perumahan berupa uang muka atau down payment (DP) 0 Rupiah yang sangat dinanti-nanti.
Hanya saja, program ini bukan tanpa masalah. Sebab, setidaknya Anies-Sandi harus mencari lahan yang kosong untuk membangun rumah bagi sekitar 300Â ribu kepala keluarga di Jakarta yang ditengarai belum memiliki rumah. Ini kalau kita bicara di luar soal pembiayaan atau uang muka yang 0 persen tersebut.
Masalah ketersediaan lahan tersebut ditambah lagi oleh tekad Anies-Sandi sejak awal untuk tidak menggusur, atau dengan kata lain tidak akan merelokasi warga yang tinggal di bantaran kali. Mungkin ini yang akan menjadi PR sebenarnya Anies dan Sandi.
2. Sampah
Persoalan sampah juga menjadi catatan khusus dari Djarot. Sejak lama, pemimpin Jakarta sudah berancang-ancang agar tidak lagi bergantung pada Bantar Gebang untuk urusan pengelolaan sampah. Karena itulah Djarot berharap agar pembangunan intermediate treatment facility (ITF) atau fasilitas pengelolaan sampah dapat segera selesai.
"Masalah persampahan juga karena kami selama ini bergantung kepada Bantar Gebang. Makanya kami kebut betul dengan membangun ITF. Baik dikerjakan oleh BUMD kami, Jakpro dalam hal ini, maupun dikerjasamakan dengan KPBU (Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha),"Â kata Djarot.
Konon, sampah di Jakarta dua hari saja jika ditumpuk sama luas dan besarnya dengan candi terbesar di dunia, Candi Borobudur. Setiap hari warga DKI menghasilkan sampah sekitar 7.000 ton. Jumlah sampah sebesar itu kira-kira hampir setara dengan 4Â persen dari total timbunan sampah secara nasional (sekitar 178.082,19 ton per hari). Sampai saat ini sampah itu ditumpuk di TPA Bantar Gebang.
Yang tak kalah mencengangkan, biaya kompensasi terkait sampah itu untuk tahun 2017 saja sebesar Rp 316 miliar. Uang sebesar itu harus dibayarkan Pemprov DKI Jakarta ke Pemkot Bekasi sebagai pemilik Bantar Gebang. Belum lagi ongkos angkut, upah tenaga kerja, biaya investasi peralatan, biaya tambah lahan timbun sampah, dan biaya lainnya. Total anggaran Dinas Kebersihan DKI Jakarta Rp 2,5 triliun per tahun.
Angka ini terbilang wajar jika melihat beban kerja mengurus sampah ini. Dinas Kebersihan Pemprov DKI Jakarta tiap hari mesti menyiapkan sekitar 1.400 truk, 53 alat berat, 31 kendaraan penyapu jalan, selain juga mempekerjakan sekitar 10 ribuan petugas harian lepas kebersihan dengan upah minimal Rp 3,1 juta per orang.
Pertanyaannya, kenapa Pemprov DKI tidak membuat pengolahan sampah sendiri ketimbang membayarkan uang demikian besar ke pihak lain? Jawabannya, langkah itu sudah pernah dilakukan, bahkan sejak posisi Gubernur DKI Jakarta masih dijabat Jokowi.
Awalnya, PT Jakarta Propertindo (Jakpro) yang ditunjuk membangun intermediate treatment facility (ITF). Pembiayaannya dari uang Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) sebesar Rp 1,2 triliun untuk tiga tahun. Namun, anggaran untuk membangun ITF itu hilang dari APBD DKI sejak 2013.
Setelah tertunda selama empat tahun, pembangunan ITF di kawasan Sunter, Jakarta Utara, akhirnya dimulai pada Agustus 2017. Menurut Djarot, pembangunan ITF Sunter tidak akan menggunakan dana APBD, melainkan oleh PT Jakarta Propertindo. Pemerintah DKI Jakarta hanya memasok sampah dan tipping fee per hari. Ditargetkan, ITF Sunter dapat mengolah hingga 2.500 ton sampah per hari.
Setelah di Sunter, juga akan dibangun ITF di empat wilayah Jakarta. Langkah itu diyakini Djarot dapat mengurangi volume sampah yang dikirim ke TPST Bantargebang, Kota Bekasi.
"Produk sampah kita per hari itu 7.000 ton. Jadi, kalau kita olah di Jakarta sampai 6.000 ton, maka tinggal 1.000 ton yang kita kirim ke Bantargebang," kata Djarot.
Kini menjadi tugas Anies-Sandi untuk memastikan pembangunan ITF tersebut berjalan lancar dan uang pajak warga DKI bisa dihemat dari penanganan sampah ini.
Advertisement
3. Transportasi
Sudah banyak yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta sebelumnya dalam membenahi sistem transportasi Ibu Kota sekaligus meminimalkan kemacetan yang sudah sangat parah. Perubahan pun mulai terlihat, meski masih jauh dari harapan.
"Kami sudah berusaha maksimal untuk menata dan meletakkan dasar-dasar sistem transportasi publik berbasis rail maupun berbasis bus. Ini belum selesai," kata Djarot.
Pekerjaan yang belum selesai itu adalah pembangunan Koridor 14 dan 15 Transjakarta. Pembangunan koridor ini sebenarnya masuk dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah 2012-2017 pada saat Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok masih menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI.
Namun, Djarot mengaku pembangunan tersebut tidak akan bisa dikerjakan pada era kepemimpinannya, karena di akhir masa jabatannya Djarot baru sampai menuntaskan pembangunan Loridor 13 Transjakarta rute Tendean-Ciledug yang sebelumnya dicanangkan di era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Adapun koridor 14 rencananya akan melayani rute Manggarai-Pasar Minggu, sedangkan koridor 15 melayani rute Kalimalang-Blok M.
Menurut Djarot, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum mendapatkan kajian trasenya.
Selain itu, kajian pembangunan koridor tersebut juga belum lengkap. Djarot berharap proyek tersebut bisa dilanjutkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Dia juga berharap pembangunan sarana transportasi massal akan terus dilanjutkan. Pada 2017, Djarot menargetkan pembangunan flyover dan underpass sudah selesai, demikian pula tahun 2018 pembangunan MRT sudah selesai. Masyarakat nantinya akan memiliki banyak pilihan transportasi umum seperti Transjakarta, Mass Rapid Transit (MRT), dan Light Rail Transit (LRT).
"Ketika MRT sudah selesai, LRT sudah selesai dan ERP (Electronic Road Pricing) sudah diterapkan, tidak ada lagi pembatasan. Silakan saja, karena orang sudah punya pilihan," kata Djarot.
Dia menambahkan, ketika transportasi tersebut sudah semuanya berjalan, tarif parkir akan dinaikkan untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi. Tarif parkir akan terus naik setiap jam dan zona di tengah kota akan dikenakan tarif yang lebih mahal dibanding pinggir kota.
"Kalau dilepas begitu saja seperti hutan belantara, maka lalu lintas di Jakarta akan stuck," kata Djarot.
Kengerian akan kemacetan yang membayangi Ibu Kota di masa depan digambarkan Djarot melalui pertumbuhan kendaraan bermotor. Menurut dia, di Jakarta saat ini setiap hari muncul 1.500 kendaraan bermotor baru dengan rincian 1.200 sepeda motor dan 300 mobil. Sementara pemerintah tidak dapat membatasi produksi.
"Kami hanya bisa mengatur keluar masuk kendaraan pribadi di Jakarta. Maka selalu kita fokus untuk memperbaiki transportasi publik," kata Djarot.
4. Banjir
Masalah banjir menjadi warisan Djarot untuk diselesaikan pada masa pemerintahan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI.
"Termasuk yang belum bisa kami tuntaskan ialah normalisasi sungai," tutur Djarot.
Dia mencontohkan, banjir akibat pendangkalan di Kali Krukut merupakan pekerjaan rumah terbesar Anies-Sandi. "Kalau menurut saya, ini masih benar-benar perlu dilakukan," tegas Djarot.
Banjir dan Jakarta bukanlah dua kata yang tiba-tiba jadi nyambung. Secara geografis kota ini dilintasi 13 sungai dan dua kanal. Kemudian, 40 persen wilayah Jakarta, utamanya di wilayah Utara Jakarta, berada di bawah permukaan laut akibat penurunan permukaan tanah.
Data BPS menyebutkan, Jakarta dilalui beberapa sungai besar di mana 73 persen kelurahan yang ada di Ibu Kota dilalui sungai. Situasi ini membuat Jakarta sangat rentan terhadap bencana banjir. Karena itu, siapa pun pemimpin DKI Jakarta, maka pasti akan berhadapan dengan persoalan banjir.
Saat Jokowi menjadi Gubernur DKI, untuk mengatasi banjir dia memiliki program untuk mengendalikan banjir. Hal itu dilakukan dengan mengembangkan situ, waduk dan embung, normalisasi sungai dan saluran, pengembangan sistem polder, penguatan tanggul, pembuatan sumur resapan dan lubang biopori, serta pembangunan deep tunnel.
Sebagian dari program tersebut sudah berjalan, tapi sampai saat ini belum juga rampung dan karena itu bisa menjadi pekerjaan rumah yang harus dijalankan oleh pemimpin DKI Jakarta yang baru.
Salah satu program untuk mengatasi banjir yang sampai saat ini mangkrak adalah sodetan Kali Ciliwung menuju Kanal Banjir Timur (KBT) melalui Kali Cipinang. Sodetan tersebut didesain untuk mampu memotong puncak debit air Ciliwung menuju KBT sebesar 60 meter kubik air per detik. Sebanyak empat pipa berdiameter masing-masing 2,5 meter akan digunakan sebagai sodetan.
Kementerian PU mulai mengerjakan sodetan tersebut pada akhir 2013 dan ditargetkan rampung dalam waktu dua tahun. Pembangunan sodetan sepanjang 1,59 kilometer dari Kali Ciliwung hingga Kali Cipinang itu merupakan proyek senilai Rp 654 miliar.
Dalam pengerjaan sodetan tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI kebagian membebaskan lahan yang akan dilintasi sodetan. Nyatanya, hingga kini sodetan tersebut seolah terhenti di tengah jalan lantaran bermasalah terkait pembebasan lahan.
Pemprov DKI kalah menghadapi gugatan yang diajukan warga dalam sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. PTUN mengabulkan gugatan warga Bidara Cina atas Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Nomor 2779/2015 tentang Perubahan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 81/2014 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan sodetan tersebut.
Di samping sodetan, Pemprov DKI harus bekerja keras melakukan berbagai upaya terkait penataan air. Hal yang dilakukan antara lain pengerukan saluran air yang berdampak langsung untuk mengurangi genangan di Jakarta. Selain itu juga pemantauan terhadap waduk yang ada di Jakarta dan pompa serta pengawasan terhadap tanggul laut.
Jika mengikuti apa yang sudah dilakukan Jokowi, Ahok, dan Djarot, setidaknya Anies-Sandi harus memfokuskan sejumlah program untuk mencegah banjir yang harus terus berkesinambungan. Program itu adalah perbaikan saluran air atau drainase, revitalisasi waduk dan situ, penambahan resapan air, dan penataan sungai.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement