Sukses

Ketua KPI: Jangan Sampai RUU Penyiaran Salah Langkah

Bila sistem Singel Mux diterapkan maka ada kekhawatiran monopoli praktik penyiaran. Dampaknya ada perlambatan pertumbuhan industri televisi.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berharap Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang saat ini masih dalam tahap pembahasan di Badan Legislatif dapat berpihak tidak hanya pada satu lembaga penyiaran milik pemerintah, tetapi juga seluruh lembaga penyiaran, termasuk swasta.

Pembahasan di tahap inisiasi ini sempat tarik ulur dengan rencana DPR menggunakan sistem Single Mux Operator, Multi Mux Operator, dan Hybrid Mux.

Sistem pertama, Single Mux, menerapkan pola bahwa penyiaran dipegang oleh satu lembaga penyiaran publik, baik dari regulasi dan juga operasional. Berbeda dengan sistem kedua dan ketiga yang melibatkan lembaga penyiaran swasta atau industri televisi sebagai operator.

Ketua KPI Yuliandre Darwis mengatakan, bila sistem Singel Mux diterapkan, ada kekhawatiran monopoli praktik penyiaran. Dampaknya ada perlambatan pertumbuhan industri televisi.

"Jangan sampai industri kolaps karena salah kebijakan," kata Andre, sapaan akrab Yuliandre, saat berbincang dengan Liputan6.com, Selasa (17/10/2017).

Selain itu, bila sistem Single Mux diterapkan, sejauh mana infrastruktur dan sumber daya manusianya mampu mendukung penerapan sistem tersebut.

"Apa pun pilihan dalam kebijakan nanti, industri harus bertumbuh dengan konten bagus. Ini yang harus dipertimbangkan pemerintah," kata Andre.

Jalan tengah yang bisa dicapai agar tidak ada kebijakan yang berat sebelah dalam pembahasan RUU Penyiaran, kata Andre, adalah penyiaran melibatkan industri televisi dan lembaga penyiaran publik.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

2 dari 2 halaman

Cooling Down

Pembahasan harmonisasi RUU Penyiaran kemarin ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan. Wakil Ketua Baleg DPR Firman Soebagyo mengatakan, pembahasan penggunaan sistem penyiaran hingga kemarin masih alot dalam pembahasan.

Kita cooling down dulu-lah. Kita kembalikan ke fraksi-fraksi terlebih dahulu," ujar Firman kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin, 16 Oktober 2017.

Alasannya, kata Firman, sebuah undang-undang seharusnya memberikan rasa aman bagi semua pihak, bukan menguntungkan salah satu pihak.

"Undang-undang ini kan harusnya beri keamanan pada semua pihak, kan enggak bisa sepihak. Kalau kita dicurigai, lah wong kita yang buat (UU)," ucap dia.

Sementara itu, terkait polemik Single Mux dan Multi Mux operator, Firman menjelaskan saat ini hal itu masih dibahas.

"Itulah persoalan. Single Mux dimonopoli oleh lembaga pemerintah. Kalau dimonopoli swasta dikendalikan oleh swasta yang baru dibentuk, belum tahu lembaganya kayak apa. Kemudian risikonya investasi di sebuah perusahaan, kan, enggak main-main," kata dia.

Sehingga, menurut Firman, muncul-lah sistem hybrid. Hybrid ini dijelaskannya sebagai campuran dari Single Mux dan Multi Mux.

"Inginnya kombinasi antara Single Mux dan Multi Mux, sudah lazim disebut hybrid," tutur dia.

Firman menambahkan, DPR tidak mungkin membuat regulasi undang-undang yang justru mundur seperti konsep Single Mux. Konsep Single Mux dinilainya bisa memunculkan monopoli baru dalam dunia penyiaran.

"Tidak boleh undang-undang membentuk monopoli baru. Penguasaan frekuensi sekarang swasta dan sekarang harus dikembalikan ke negara. Misalnya yang punya empat frekuensi, tiga dikembalikan ke negara. Sehingga dengan begini, maka pemerintah akan memiliki lebih banyak dan menguasai," ucap dia.

 

Â