Sukses

AR Baswedan, Kakek Anies yang Satukan Keturunan Arab di Indonesia

AR Baswedan terinspirasi oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI) dalam usaha mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI).

Liputan6.com, Jakarta - Pidato Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan Senin 16 Oktober 2017 masih menjadi perbincangan hangat. Penyebutan "pribumi" dalam pidatonya menuai kontroversi.

Perdebatan perihal bermasalah atau tidaknya pidato itu bermunculan di berbagai media. Sebagian menyayangkan pernyataan Anies karena dikhawatirkan memicu perpecahan antar etnis atau ras.

Istilah ‘pribumi’ berasal dari kata ‘inlander’ yang berarti penduduk asli kepulauan Hindia Belanda. Sedangkan terdapat istilah golongan ‘Eropa’ untuk orang Belanda, Eropa non-Belanda, Jepang, Amerika dan Australia. Kemudian istilah golongan ‘Timur Asing’ digunakan untuk China, Arab, India, dan Pakistan.

Anies Baswedan merupakan cucu dari Abdurrahman Baswedan atau AR Baswedan yang merupakan pejuang kemerdekaan, diplomat, dan sastrawan Indonesia.

AR Baswedan lahir di Surabaya, 9 September 1908, dan merupakan peranakan Arab  yang kala itu masuk dan golongan Timur Asing.

Ia merupakan anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pernah menjabat Wakil Menteri Muda Penerangan RI Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), anggota Parlemen, serta anggota Dewan Konstituante.

Dalam AR Baswedan: Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan karya Suratmin dan Didi Kwartanada, pada masa Hindia Belanda, etnis Arab terbagi menjadi dua golongan, yaitu sayid dan non-sayid. Kedua golongan ini kemudian mengorganisasikan diri menjadi Ar Rabitah (sayid) dan Al Irsyad (non-sayid). Awalnya, hanya ada satu organisasi yaitu Jamiat Khair yang didirikan pada 7 Juli 1905.

Namun, karena perbedaan paham, Jamiat Khair terpecah. Al Irsyad didirikan pada 1915 yang memperjuangkan bahwa non-sayid sama derajatnya dengan sayid. Sedangkan Ar Rabitah Al Alawiyah didirikan pada 28 Desember 1928 yang bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan sayid.

Selain terbagi menjadi sayid dan non-sayid, orang arab di Hindia Belanda juga terbagi menjadi golongan Arab asli (Wulaiti atau totok) dan kaum keturunan Arab (Muwalad atau peranakan). Kaum Arab totok lahir dan besar di negeri Arab biasanya dari Hadramaut. Sedangkan kaum Arab peranakan biasanya berdarah campuran serta lahir dan dibesarkan di Indonesia.

Kaum Arab totok membawa kemurnian Arab seperti sifat kearaban serta budaya aslinya. Lain hal dengan Arab peranakan yang banyak mengadopsi budaya Indonesia.

Perselisihan kemudian muncul perihal tanah air. Kaum Arab totok beranggapan bahwa mereka hanya merantau di Indonesia, sedangkan tanah air mereka tetaplah Hadramaut. Sementara Kaum Arab peranakan berpendapat bahwa tanah air mereka adalah Indonesia.

Hal inilah yang mendorong AR Baswedan untuk mendirikan persatuan yang dapat menjadi pemersatu, Persatuan Arab Indonesia atau kemudian disebut Partai Arab Indonesia (PAI).

Awal ide didirikannya Persatuan Arab Indonesia (PAI) oleh AR Baswedan berangkat dari prinsip pengakuan Indonesia sebagai tanah air bagi kaum Arab peranakan. Karena, menurut AR Baswedan, sebenarnya kaum Arab peranakan sendiri belum yakin perihal Indonesia sebagai tanah air.

2 dari 2 halaman

Menyatukan Kaum Arab

Selain itu, permasalahan di Hadramaut yang dibawa oleh Arab totok juga mengganggu pikiran AR Baswedan. Kaum totok membawa pengaruh kearaban kepada kaum peranakan yang mengganggu persatuan.

Ia kemudian mencetuskan tentang pengakuan Indonesia sebagai tanah air, yang menjadi asas Partai Arab Indonesia (PAI). Ia menulis dalam surat kabar Mata Hari berjudul “Peranakan Arab dan Totoknya”.

Kemudian, berawal dari persatuan peranakan Arab, AR mulai merintis perdamaian antara Al Irsyad dan Ar Rabitah. Perjuangan AR Baswedan tidak mudah. Perselisihan dan pertentangan kembali muncul. Hampir tidak mungkin menyatukan Arab peranakan, Al Irysad dan Ar Rabitah.

Namun, setelah melalui banyak pertemuan dan kompromi, berbagai masalah mulai teratasi salah satunya adalah dihilangkannya gelar sayid.

Perselisihan lain kemudian juga dapat diselesaikan hingga terbentuklah Partai Arab Indonesia (PAI). Hal menarik adalah bahwa AR Baswedan terinspirasi oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI) dalam usaha mendirikan PAI.

Pada 1932, di Surabaya, AR Baswedan bertemu Liem Koen Hian, pemimpin redaksi harian Melayu-Tionghoa bernama Sin Tit Po. Kemudian ia bekerja sebagai jurnalis di surat kabar yang pro-pergerakan nasional itu.

Liem Koen Hian adalah wartawan dan penulis kelahiran Banjarmasin. Bersama sekelompok pemuda peranakan Tionghoa, ia mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 1932. PTI mengakui Indonesia sebagai tanah air dan aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Ketika memberi tawaran AR Baswedan untuk bergabung dengan Sin Tit Po, Liem mengatakan, “Sin Tit Po bukan lagi koran Tionghoa, melainkan koran bagi bangsa kulit berwarna."

”Liem kemudian juga memberi kesempatan AR Baswedan untuk masuk sebagai anggota redaksi. Selama setahun di Sin Tit Po, AR Baswedan mengisi "Pojok Abunawas" tempat ia menuliskan kritik-kritiknya. Di surat kabar ini, ia juga bertemu Tjoa Tjie Liang, teman seperjuangannya di kemudian hari.

“(Liem) Koen Han adalah mentor AR Baswedan dalam dunia jurnalistik tahun 1930-an. Keduanya pernah tampil di antara bapak-bapak bangsa. ‘Lupakan itu Daratan China, lupakan itu Hadramaut. Tanah airmu bukan di sana, tetapi di sini,  Indonesia’.  Itulah filosofi keduanya,” tulis Buya Syafii Maarif dalam Kompas, 16 April 2011, yang dikutip Suratmin dan Didi Kwartanada dalam AR Baswedan: Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan.

Pada 1934, AR Baswedan pindah ke Semarang dan menjabat sebagai staf redaksi harian Mata Hari. Koran Tionghoa-Melayu ini dipimpin Kwee Hing Tjiat yang mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Kwee Hing Tjiat juga merupakan pencetus ide pembaruan total etnik Tionghoa ke dalam masyarakat Indonesia.

Ide-ide AR Baswedan untuk membentuk persatuan peranakan Arab memang datang dari banyak kejadian. Usaha awal untuk mencapai kerukunan peranakan Arab berlanjut ke persatuan melawan penjajah bersama kaum pergerakan nasional lain.

Sebagai kaum yang disebut sebagai “Timur Asing”, AR Baswedan membuktikan penggolongan etnis yang dibuat pemerintah Hindia Belanda dapat dipatahkan. (Andri Setiawan)