Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia Nahdlatul Ulama (LESBUMI NU) menggelar acara diskusi kebudayaan dengan tema "Meneguhkan Kebudayaan Bangsa, Memperkuat Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia". Acara tersebut digelar untuk menyambut Hari Santri yang jatuh pada 22 Oktober 2017.
Sejumlah tokoh lintas agama pun hadir. Mereka adalah Wasekjen PBNU Suwadi P Pranoto, Sekjen Indonesian Conference in Region and Peace (ICRP) Romo Johannes Haryanto, Ketua Umum Matakin Kong Hu Cu Uung Sendana, tokoh Hindu I Made Suparta, Wasekjen Lesbumi NU Abdullah Wong, dan Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Ali Maskur Musa.
Baca Juga
Dalam pemaparannya, I Made Suparta berharap masyarakat sadar betul dengan pentingnya menjaga kerukunan dan memelihara alam.
Advertisement
"Tirakat atau Tapabrata penting. Tugas kita dilahirkan menjadi manusia itu menjaga alam yang sudah indah menjadi indah. Menjaga masyarakat yang rukun terus menjadi rukun. Menyucikan seluruh semesta ini," tutur I Made Suparta di bilangan Condet, Jakarta Timur, Sabtu (21/10/2017).
Bangsa Indonesia kaya dengan perbedaan seperti isu terkini, yakni suku dan agama. Jika mau dipikir matang, Tanah Air memegang teguh demokrasi lantaran persatuan para pendahulu dan tokoh masa lalu.
"Kenapa memilih demokrasi padahal Islam terbesar di bangsa ini? Bukan karena Islam tidak bisa menopang, tapi dari sejarah kita. Inilah beruntungnya kita memiliki Sukarno yang mengerti bangsa ini. Ada gejala penyangkalan sejarah di masyarakat modern," jelas I Made Suparta.
Romo Johannes Haryanto menambahkan, terlalu banyak masyarakat yang termakan oleh isu agama sehingga mencoba memberikan pembeda antara satu dan lainnya. Contoh kecilnya adalah dengan salam.
"Di Indonesia ini kita punya problem mabok agama. Karena apa-apa harus dikembalikan ke istilah-istilah agama. Label itu begitu penting. Kalau muslim muslimah saling menyapa assalamualaikum, lalu orang Kristen merasa 'oh kita harus punya juga'. Maka menyatut punya orang Yahudi, Syalom. Ini nyatut," terang Romo Johannes Haryanto.
Menurut dia, itu merupakan salah kaprah yang akut. Dia mengistilahkan seperti seseorang yang sibuk dengan cashing-nya, tapi tidak mengetahui apa prosesornya.
"Kita lebih harus belajar peka dengan kehidupan orang lain," kata dia.
Sementara, Ali Maskur Musa mengatakan, dalam hidup tentu penting mengendalikan diri. Segala sesuatu yang berlebihan bukanlah hal yang baik. "Kalau manusia itu rakus artinya melebihi takarannya, maka yang terjadi hilangnya ekosistem. Kehidupan sekarang yang paling penting mengendalikan rasa, nafsu, dan akal. Manusia modern terkadang tidak menyeimbangkan rasa, nafsu, dan akal," ujar Ali.
Melihat masa kini, sudah terlalu banyak sekat yang dimainkan pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga menimbulkan perpecahan.
"Kalau pola Indonesia yang betul-betul diciptakan oleh toleransi dan Bhinneka Tunggal Ika itu diubah, semua berpolitik menjual agama, berekonomi mengendalikan pelaku politik, maka akan terjadi asimetris dalam bermasyarakat. Semua rezim, semua empire itu bukan karena politik, tapi karena peradaban, karena ilmu pengetahuan yang tinggi," Ali menandaskan.
Saksikan video pilihan di bawah ini: