Sukses

Miryam S Haryani Dituntut 8 Tahun Penjara

Miryam dianggap tidak mendukung pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi.

Liputan6.com, Jakarta Terdakwa kasus pemberian keterangan tidak benar atau palsu Miryam S Haryani dituntut 8 tahun penjara oleh jaksa pada KPK.

Selain 8 tahun penjara, jaksa juga menuntut politisi Hanura itu membayar denda 300 juta rupiah subsider 6 bulan kurungan.

"Kami menuntut agar majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan," kata jaksa Kresno di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (23/10/2017) malam.

Jaksa melanjutkan, perbuatan Miryam Haryani dianggap tidak mendukung pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi.

Jaksa juga menilai Miryam tidak menghormati lembaga peradilan. Dan perbuatan Miryam sangat menghambat proses penegakan hukum khususnya dalam kasus korupsi proyek e-KTP.

Kemudian, sebagai anggota DPR, Miryam dianggap tidak memberikan contoh yang baik kepada masyarakat lantaran dinilai tidak jujur. Miryam selalu mengaku mendapat tekanan dari penyidik.

Namun, dalam rekaman video yang diputar dan kesaksian penyidik bertolak belakang dengan pernyataan Miryam.

Hal itu diperkuat oleh saksi ahli forensik yang dihadirkan jaksa dan menyebut tidak ada tekanan dari penyidik.

Menurut jaksa, Miryam telah sengaja mencabut keterangan yang sebelumnya telah diperlihatkan kepada dirinya dan ditandatangani. Dimana sebelumnya Miryam juga diminta mengoreksi bila ada kekeliruan.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

 

2 dari 2 halaman

Soroti Pencabutan BAP

 

Jaksa juga menyoroti pencabutan BAP Miryam terkait penerimaan uang dari mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Sugiharto.

"Ada arahan dari pihak lain kepada terdakwa Miryam S Haryani agar mencabut keterangan pada BAP penyidikan. Terdakwa mengikuti arahan itu saat menjadi saksi di persidangan perkara e-KTP atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto itu merupakan perwujudan kehendak dari terdakwa sebagai satu kesengajaan," imbuh jaksa.

"Keterangan terdakwa yang menyebut ada tekanan adalah keterangan yang tidak benar. Pencabutan keterangan tidak punya alasan yang sah," timpal jaksa lagi.

Miryam dinilai terbukti melanggar Pasal 22 jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.