Liputan6.com, Jakarta Proses persidangan terhadap Dudung Purwadi, mantan Direktur Utama Duta Graha Indah Tbk (DGIK) telah memasuki tahap akhir. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan membacakan tuntutannya Senin, 30 Oktober 2017.
Dalam dakwaan Jaksa KPK sebelumnya, Dudung disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Jo Pasal 18 ayat 1 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pencantuman pasal 18 ayat 1 UU tipikor dalam dakwaan Dudung ini menjadi hal baru. Dikarenakan selama proses penyidikan Dudung hanya disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU Tipikor.
Advertisement
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Eddy Hiariej menilai, masuknya pasal 18 ayat 1 UU Tipikor dalam dakwaan Dudung karena Jaksa ingin menyatukan kasus ini dan kasus korporasi yang menimpa DGI dalam satu berkas penuntutan.
Menurut dia, dalam praktiknya, tuntutan terhadap PT DGI yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi korporasi oleh KPK bisa dilakukan bersamaan dengan tuntutan kepada Dudung.
"Hal ini dilakukan agar pemberantasan korupsi bisa dilakukan secara efisien dan efektif, tidak membuang banyak waktu. Tidak ada salahnya jika dalam tuntutan nanti selain menuntut dirutnya, juga dituntut PT DGI sebagai korporasi,” ujar Eddy, Rabu (26/10/2017).
Eddy mengatakan, Pasal 18 ayat 1 UU Tipikor berkaitan dengan ketentuan uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi.
DGI sendiri telah memberikan uang titipan kepada KPK sebesar Rp 39 miliar. Dana ini diberikan sebagai sikap proaktif perusahaan bila nantinya pengadilan tipikor memustuskan adanya penggantian uang negara akibat tindak pidana yang dilakukan.
"Korporasi tidak mungkin dijatuhi hukuman pidana badan, hukumannya adalah denda atau uang pengganti. Karena ini dirutnya sudah dituntut, korporasinya sebaiknya sekalian di proses, biar kepastian hukumnya juga jelas bagi DGI," kata dia.
Eddy menegaskan, sasaran utama penegakan hukum perkara tipikor mestinya memulihkan kerugian negara dan menghukum pelakunya sesuai dengan kesalahannya. Karena itu, jika akibat kesalahan manajemen kemudian tuntutan kepada korporasi dilakukan terpisah akan memakan waktu lama dan memciptakan ketidakpastian.
"DGI sebagai korporasi punya karyawan, punya investor dan patner kerja. Ini yang mesti dipertimbangkan oleh aparat penegak hukum. Jangan sampai perusahaan ini bubar sementara proses hukumnya tidak pernah jelas," tegas dia.
PT DGI Jadi Tersangka
KPK menetapkan PT DGI sebagai tersangka dalam kasus proyek pembangunan Rumah Sakit Khusus Infeksi dan Pariwisata RS Universitas Udayana sejak 5 Juli 2017.
Proyek tersebut diduga memakan kerugian negara hingga Rp 25 miliar.
Perusahaan yang kini berganti nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring ini diketahui bermitra dengan Permai Grup milik terdakwa korupsi Wisma Atlet Muhammad Nazaruddin.
Advertisement