Sukses

Baleg DPR Tawarkan Sistem Hybrid Multiplexing dalam RUU Penyiaran

Baleg menyatakan, dengan sistem hybrid multiplexing, satu frekuensi bisa menjadikan 12 kanal maksimal kalau menggunakan resolusi rendah.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Legislasi (Baleg) DPR menawarkan opsi baru dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yaitu sistem hybrid multiplexing. Hal ini karena masih ada polemik antara memilih sistem single mux atau multi mux.

Wakil Ketua Baleg DPR Firman Subagyo menjelaskan, sistem hybrid multiplexing adalah campuran antara single mux dan multi mux.

"Ini yang sekarang ini kita lakukan. Dan ini cukup bagus, karena ini memenuhi rasa keadilan. Swasta yang mempunyai frekuensi lebih daripada dua dikembalikan kepada negara 1, yang punya empat dikembalikan kepada negara tiga, jadi (sisa) 1," kata Firman seperti dalam tayangan Liputan6 Pagi SCTV, Jumat (3/11/2017)

Firman mengatakan, dengan sistem hybrid multiplexing, satu frekuensi bisa menjadikan 12 kanal maksimal kalau menggunakan resolusi rendah.

"Akan tetapi karena tuntutan digital dan kualitas penyiaran mungkin itu bisa menjadi delapan kanal, itu mengggunakan resolusi tinggi," kata dia.

Sementara itu, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Agung Suprio berharap, keputusannya nanti harus berkeadilan.

"Jadi apa pun keputusan DPR ini memang yang perlu diperhatikan apakah itu single atau multi mux, harus dikawal dengan baik," tutur Agung dalam acara diskusi 'RUU Penyiaran, Demokrasi & Masa Depan Media di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 21 Oktober 2017.

 

 

2 dari 2 halaman

Single Mux dan Multi Mux

Sistem single mux menerapkan pola pengelolaan penyiaran pada satu lembaga penyiaran publik. Hal itu meliputi aspek regulasi maupun operasional.

Dalam single mux, pemerintah, melalui Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI), berperan sebagai pengelola. Sementara multi mux melibatkan lembaga penyiaran swasta atau industri televisi dalam pengelolaan.

Menurut Agung, keputusan nanti harus seimbang. Bila keputusannya menggunakan single mux, lanjut dia, harus ada aturan jelas bagaimana pemerintah mengelola regulasi penyiaran.

Sebab, kekhawatiran utama penggunaan sitem single mux pada potensi monopoli penyiaran. Dampaknya membuat pertumbuhan industri televisi melambat.

"Kalau KPI ini cenderung pada jika single mux, sewa swatsa kepada operator single mux tidak lebih mahal. Dikurangi," jelas dia.

Jika multipe mux yang diterapkan, jangan ada ketimpangan antara pengelola mux dengan pihak lain yang memang tidak berafiliasi. Agung mencontohkan, dengan rasio pembagian 30 persen untuk pemilik mux dan 70 persen disewakan kepada pihak lain.

Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kekuatan pemilik modal.

"Kalau multi mux harus diperkuat jangan sampai televisi lokal tidak bisa menggunakan. Jangan cenderung pemilik mux hanya mau menggendong televisi-televisi (miliknya) saja," ujar Agung.

Artinya, lanjut dia, untuk single mux pemerintah tidak dominan dan multi mux pemilik modal tidak mengambil keuntungan berlebih.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: