Sukses

HEADLINE: Awas, Begini Cara Predator Anak Beraksi di Internet

Jaringan pedofil internasional beroperasi di Indonesia. Anggotanya bahkan tega mencabuli anak sendiri demi mendapat pengakuan.

Liputan6.com, Jakarta - Sebut saja namanya Dara. Gadis 14 tahun itu adalah korban eksploitasi seksual. Nestapanya dalam hidupnya berawal dari kegemarannya bermain game online.

Pada tahun 2016, dari permainan daring, ia dikontak pria asing. Dara menanggapi. Komunikasi, yang awalnya hanya soal game online yang dimainkan keduanya, lama-lama menjurus ke persoalan pribadi.

Meski belum pernah kopi darat, Dara mengaku nyaman dengan pria yang usianya telah dewasa itu. Ia merasa mendapatkan perhatian dan kasih sayang. Sesekali, orang itu juga memberikan barang virtual, yang jika dirupiahkan, jumlahnya cukup besar bagi remaja seusianya.

Suatu hari, pria itu mengajaknya menikah. Bukan sungguhan, tapi secara virtual. Dara menerima lamaran itu. Komunikasi pasangan dunia maya itu pun makin intim. Mereka beralih menggunakan aplikasi Skype.

"Pelaku mulai mengarah ke pembicaraan seksual hingga Dara diminta mengirimkan foto dan juga melakukan video call," kata Project Manager End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT), Andy Ardian, kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (03/11/2017).

Dara yang masih belia tak kuasa berkata tidak saat 'suami virtualnya' memintanya mengirim foto dan video telanjang.

Namun, lama-lama siswi SMP itu merasa jengah. Ia menolak permintaan pria itu. Keributan pun terjadi. Pasangannya di dunia maya mengancam akan menyebarkan foto dan video telanjangnya.

Ancaman itu ternyata bukan gertakan. Foto dan video telanjang Dara tersebar luas di dunia maya, bisa disaksikan teman-teman dan keluarganya. Gadis itu pun trauma berat. Apalagi, konten pornografi terkait dirinya tak mungkin bisa dihapus.

Setelah diusut, ternyata pria itu adalah predator anak yang bersarang di luar Indonesia. Dan korbannya bukan hanya Dara. Pedofil itu memanfaatkan game online untuk menjerat target.

"Dara memlih tidak melapor karena takut kasusnya semakin mengundang penasaran dari banyak pihak," kata Andy. Kasus Dara tak pernah terkuak di publik.

Ulah Bejat Anggota Jaringan Pedofil

Ini adalah fakta mengerikan tak boleh diabaikan: jaringan predator anak internasional beroperasi di Indonesia. Para pedofil itu mengincar anak-anak bangsa.

Di Kutai Kartanegara, bahkan seorang ayah tega mencabuli anak sendiri dan keponakannya. Pria yang diketahui sebagai anggota grup pedofil itu memamerkannya tindakan bejatnya ke komplotannya di WhatsApp, Telegram, dan Skype.

Pria berinisial DA itu sudah 14 tahun mencabuli anak kandungnya sendiri. Bahkan ketika putri kecilnya itu baru berusia 2 tahun! Ia juga memperkosa keponakannya, sejak korban berusia 7 tahun.

Aksi biadabnya itu terbongkar dalam Operasi Candy Lolly II. Sub Direktorat Cyber Crime Polda Metro Jaya menangkap DA pada Sabtu 6 Mei 2017. Hasil penyelidikan mengungkap, karyawan dari sebuah perusahaan sawit itu ternyata mengidap pedofilia.

DA melakukan kejahatan seksual itu di mes yang terletak di area perkebunan sawit tempatnya bekerja. Jaraknya cukup jauh dari perkampungan penduduk. Ia beraksi saat istrinya tak ada di rumah.

DA merekam perbuatannya itu ke jaringan pedofilia internasional di mana ia bergabung. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, ada 93 grup dengan total anggota lebih dari 19 ribu. Suatu ketika, ia bahkan pernah menampilkan siaran langsung via Skype, saat ia berhubungan badan dengan anaknya. Dengan paksaan, tentunya.

Pelaku pedofil, DA alias AI (41), dihadirkan saat rilis kasus di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (24/5). Pelaku menggunakan media Skype untuk bergabung dengan komunitas pedofil jaringan internasional dari berbagai Negara. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Dua bulan sebelumnya, dalam operasi Candy Lolly I, polisi juga mengungkap jaringan pedofil internasional di Indonesia.

Setidaknya, empat WNI ditetapkan sebagai tersangka. Mereka, WW, DS, DF, dan SH, menjadi admin grup Facebook Official Candy`s Group dengan 7 ribu lebih anggota berkecenderungan pedofilia. Kelompok itu sudah beroperasi sejak 2016.

Dalam grup tersebut, admin mensyaratkan anggota grup rutin mengirimkan video dengan konten pornografi anak terbaru. Isinya tidak boleh sama dengan yang sudah ada sebelumnya. Jika syarat itu tidak dipenuhi, anggota akan dikeluarkan.

Selain itu, keempat tersangka juga diketahui melakukan pelecehan seksual pada anak di bawah umur. Korbannya ada delapan, sebagian besar usianya di bawah 7 tahun. Mereka juga merekam aktivitas seksualnya dengan korban dan membagikan ke grup-grup pedofil.

2 dari 2 halaman

Jaringan Internasional Incar Anak Indonesia

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Pol Adi Deriyan mengungkapkan, kedua kasus tersebut terkait dengan jaringan pedofil internasional. Mereka terhubung dalam grup dan menggunakan layanan online untuk saling bertukar materi pornografi anak.

"Dalam melakukan sebuah penyebaran, mereka selalu menggunakan aplikasi internet," kata dia kepada Liputan6.com.

Kombes Adi Deriyan kemudian membeberkan bagaimana pedofil-pedofil itu beraksi menjerat mangsa. Predator, menurut dia, biasa menjerat mangsa anak-anak yang ada di sekitar lingkungannya. Aksinya diawali dengan menjalin hubungan emosional dengan target.

Selanjutnya, pelaku mulai mengajari target melakukan aktivitas seksual. Biasanya pelaku menanamkan pembenaran-pembenaran atas aktivitas seksual terlarang yang ia ajarkan, hingga membuat target percaya dan tidak sadar dirinya menjadi korban.

Tak jarang, untuk melancarkan aksinya, pelaku juga memberikan iming-iming dengan syarat melakukan sesuatu sesuai kemauannya.

"Untuk memudahkan biasanya pelaku memberi iming-iming hadiah supaya korban mau melakukan aktivitas seksual," kata Adi.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Pol Adi Deriyan (Liputan6.com/Balgorazsky Arsitide Marbun)

Korban Berniat Bunuh Diri

Menurut Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Seto Mulyadi, eksploitasi seksual anak melalui media online merupakan bentuk kejahatan luar biasa.

Imbasnya bagi korban tidak main-main. Masa kanak-kanak yang harusnya penuh tawa-canda lenyap begitu saja. Mereka akan kehilangan rasa percaya diri dan menjauh dari lingkungan sosialnya. Bahkan di beberapa kasus, korban berniat bunuh diri.

Sayangnya, anak-anak di Indonesia tidak dapat mengelak dari ancaman itu. Dara, bukan satu-satunya korban, faktanya jauh lebih memprihatinkan. Eksploitasi seksual anak melalui media online di Indonesia bak fenomena gunung es.

Tercatat tahun 2012, Indonesia menduduki posisi pertama di ASEAN dengan tingkat eksploitasi seksual anak tertinggi. Bahkan angkanya masih lebih besar dari jumlah seluruh kasus di negara-negara Asia Tenggara.

"Pada tahun 2012, sebuah lembaga di Singapura mencatat ada 22 ribu kasus. Itu lebih besar dari jumlah kasus di negara-negara ASEAN lainnya dikumpulkan," ungkap aktivis anti-eksploitasi seksual anak, Andy Ardian, kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (30/10/2017).

Mirisnya lagi, tahun 2015 jumlahnya meningkat drastis. Tercatat sejak Januari hingga Juni 2015 di Indonesia ada sebanyak 161 ribu konten pornografi yang mengandung unsur eksploitasi seksual anak tersebar di internet.

Dengan perkembangan teknologi, pelaku semakin mudah menggaet calon korban (Liputan6.com/Balgoraszky Arsitide Marbun)

Dari temuan itu, menurut Andy, Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi lahan subur penyedia mangsa bagi predator anak. 

"Pelaku-pelaku kejahatan seksual anak itu dengan sangat mudah menjadikan anak-anak di Indonesia sebagai target," kata Andy.

Sebabnya beragam, menurut Andy, salah satunya karena masih banyak orangtua yang gagap teknologi. Mereka abai, merasa sudah aman ketika melihat sang anak asyik dengan gadget-nya.

Padahal, pelaku dapat menyusup masuk, memperdaya anak meski berada di kamar, bertembok tebal, dan sendiri, dengan memanfaatkan teknologi.

Sebab lainnya, masih banyak juga orangtua yang belum memberikan edukasi seksual pada anak sejak dini. Ini membuat anak tidak punya pengetahuan tentang aktivitas seksual yang semestinya, mana yang boleh dan mana yang tidak.

Di sisi lain, anak punya kecenderungan membuka diri pada orang lain. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan pelaku.

"Mereka menyasar anak-anak yang memang tidak memahami informasi tentang kejahatan seksual," ujar Andy.

Menurut Andy, kekurangan-kekurangan itu harus segera dibenahi. Setidaknya orangtua bisa memulai dengan membangun komunikasi yang terbuka dengan si buah hati. 

Selain itu, di era digital, orangtua juga harus melek teknologi supaya tidak kecolongan ketika anak melakukan tindakan yang berpotensi membahayakan dirinya sendiri.