Liputan6.com, Jakarta - Situasi di lobi Hotel Yamato memanas. W.V.Ch Ploegman berbicara pada Residen Surabaya, Sudirman, dengan nada menantang.
"Republik Indonesia? Kami tidak mengakuinya," katanya dalam Bahasa Belanda, seperti ditulis Irna H.N. Hadi Soewito dalam buku Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan.
Tanpa menunggu jawaban lawan bicaranya, Ploegman beranjak ke belakang hotel. Ia kembali ke lobi sambil menggenggam pistol di tangan.
Advertisement
Senjata itu ditodongkan ke arah Sudirman sambil menghardik. Kedatangan Sudirman ke Hotel Yamato, Rabu 19 September 1945 itu, dipicu berkibarnya bendera Belanda di atas Hotel Yamato.
Dalam catatan Irna, bendera berkibar sejak pukul 09.00 WIB. Tindakan itu memancing ketersinggungan masyarakat Surabaya, yang masih dilanda euforia pascaproklamasi kemerdekaan.
Orang-orang berkumpul di jalan Tunjungan, di depan Hotel Yamato. Dalam belasan menit jumlahnya berlipat menjadi ratusan.
Francis Palmos dalam tesis berjudul Revolutionary Surabaya as the Birthplace of Indonesia Independece menyinggung andil beberapa orang yang disusupkan ke Hotel Yamato.
Mereka bekerja sebagai pelayan, sambil menjalankan misi spionase. Dari mereka kabar pengibaran bendera Belanda di Hotel Yamato pertama kali disebarkan.
Lalu, sebuah mobil hitam memecah kerumunan. Sudirman turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam hotel.
Di lobi Hotel, beberapa orang Eropa menemuinya, termasuk Ploegman. Sudirman meminta bendera Belanda diturunkan. Ploegman menanggapi dengan ketus.
"Sekutu memenangkan perang, karena Belanda bagian dari sekutu, Belanda punya hak mendirikan kembali Hindia-Belanda," katanya menyombong.
Ploegman mengklaim mewakili sekutu. Padahal, masyarakat Surabaya mengenalnya sebagai pimpinan Gerakan Belanda Indo (IEV).
Kedatangan orang Belanda seperti Ploegman, membonceng pasukan sekutu Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI). Mereka bertugas melucuti senjata pasukan Jepang sebagai konsekuensi kekalahan Jepang pada sekutu, 14 Agustus 1945.
Palmos malah menyebut Ploegman sebagai mantan pengacara terkemuka yang merangkap broker. Ia juga menulis, pengibaran bendera Belanda di Hotel Yamato bukan satu-satunya provokasi di hari itu.
Sekelompok anak-anak Belanda dan Eropa melakukan pawai. Mereka mengibarkan bendera Belanda. Iringan bergerak dari Kantor Palang Merah, tepat di seberang Hotel Yamato.
Tapi, todongan pistol pada Sudirmanlah yang membuat rentetan peristiwa hari itu mencapai puncak. Dua orang pemuda, Sidik dan Haryono, yang menemani Sudirman bereaksi.
Keduanya merebut pistol dari tangan Ploegman. Dalam kemelut itu, pistol terjatuh dan tak sengaja menembak langit-langit.
Sidik bergulat dengan Ploegman. Sementara, Hariyono mengevakuasi Sudirman keluar hotel menuju mobilnya.
Akhirnya Sidik memenangi pertarungan. Ia mencekik Ploegman hingga tewas.
Suara letusan pistol menarik perhatian beberapa orang Belanda di hotel. Mereka menyerang Sidik. Seorang Belanda menyabetnya dengan kelewang.
"Sidik menangkis dengan sepeda, tapi ia terkena sabetan kelewang hingga jatuh," tulis Irna. Ia gugur.
Di Atas Hotel
Pada saat yang bersamaan, beberapa pemuda memanjat dinding bangunan. Mereka berusaha mencapai lokasi bendera Belanda yang dikibarkan.
Hariyono yang sebelumnya mengevakuasi Sudirman turut bergabung. Seorang pemuda bernama Kusno Wibowo lebih dulu tiba di atas.
Hariyono menyusul belakangan. Kusno lantas menurunkan bendera Belanda.
"Dari atas ia meminta supaya diberikan bendera Merah Putih. Tapi tak seorang pun dapat memenuhi permintaan itu," papar Irna, yang mendapat penuturan kisah itu dari Sudi Suyono, seorang pemuda yang berada di Hotel Yamato ketika peristiwa terjadi.
Kusno dan Hariyono berinsiatif merobek bagian bendera Belanda yang berwarna biru. Sehingga bendera hanya menyisakan warna merah-putih.
Orang Belanda yang berada di dalam hotel tidak terima. Mereka melepaskan tembakan ke arah atas.
Sebuah peluru mengenai kepala Haryono. Pemuda-pemuda lain lantas naik ke atas gedung, untuk memapah Haryono turun.
Pada sore harinya, insiden di Hotel Yamato menyebar ke seluruh Surabaya. Palmos menggarisbawahi peristiwa itu.
Ia menyebut peristiwa Hotel Yamato tidak hanya menandai akhir masa konsolidasi kekuatan kemerdekaan.
"Ini adalah awal revolusi fisik," katanya.
Sehari setelah peristiwa pengibaran bedera, Roeslan Abdulgani, Wakil Republik Indonesia di Jawa Timur, mendatangi Hotel Yamato. Ia mengetuk pintu kamar nomor 33, tempat aktivis pro-Belanda menginap.
Kepada mereka, Roeslan memberi peringatan: ekspresi anti-Republik Indonesia, termasuk pengibaran bendera Belanda, tidak akan ditolerir.
Roeslan menyinggung peristiwa di Hotel Yamato dalam buku 100 Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia. Setelah insiden itu, kata dia, rakyat harus sadar lawan mereka tidak hanya militer Jepang.
Interniran Belanda yang membonceng sekutu juga harus diwaspadai. Senjata Jepang yang dilucuti akan jatuh ke tangan Belanda.
"Kita tidak ragu-ragu lagi. Kedua-duanya harus kita kepung dan kita serang," tulis Roeslan.
Advertisement
Hotel dengan Dua Wajah
Hotel Yamato punya peran dalam lintasan sejarah menuju kemerdekaan di Jawa Timur. Pria asal Armenia, Lucas Martin Starkies, mendirikannya pada 1910. Martin merupakan bagian dari Starkies Bersaudara, kelompok usaha yang membangun jaringan hotel mewah di Asia Tenggara.
Saat pertama kali beroperasi 1911, bangunan di jalan 65 Jalan Tunjungan, Surabaya itu diberi nama Hotel Oranje. Istri Martin merupakan perempuan sosialita asal Belanda.
Nama hotel merupakan persembahan bagi keluarga kerajaan Belanda. Tempatnya yang strategis menjadikan Hotel Oranje sebagai tempat transit orang-orang yang ingin pergi ke Bali.
Di sana terkenal sebagai tempat berkumpul orang-orang kaya. Beberapa nama beken pernah menginap di sana. Salah satunya, menurut Palmos, Charles Chaplin, komedian dan aktor yang dikenal dunia dengan nama Charlie Chaplin. Dia menginap di sana pada 1936.
Pada 1942, Indonesia jatuh ke tangan Jepang. Hotel diganti namanya menjadi Yamato. Sejak saat itu, nama hotel beberapa kali berganti.
Menurut Palmos, Yamato merujuk pada Yamoto Hoteru, pemimpin pasukan Jepang yang tinggal di sana sepanjang 1942 hingga 1945. Karena itu, hotel juga acap disebut sebagai Hotel Hoteru.
"Ia tinggal di sana bersama dua ratusan orang, termasuk Kempetai (polisi militer Jepang), yang menjaga keamanannya," papar Palmos dalam tesisnya.
Fungsi hotel menjelma tidak hanya sebagai penginapan, tapi juga menjadi markas komando Jepang di Jawa Timur. Saat Jepang kalah Perang Dunia II, Sekutu gantian menempati Hotel Yamato.
Fungsi pusat komando tetap dipertahankan. Namun, setelah peristiwa bendera 1945, nama hotel diubah lagi menjadi Hotel Merdeka.
Nama itu tak berumur panjang. Sarkies Bersaudara mengambil alih kembali pengelolaan hotel setahun kemudian. Nama hotel diubah menjadi L.M.S. Hotel.
Pergantian terjadi lagi pada 1969, ketika Mantrust Holding Co. menjadi pemilik baru. Mereka menamainya menjadi Hotel Majapahit, terinspirasi salah satu kerajaan tua di pulau Jawa.
Kemudian, kelompok usaha perhotelan Mandarin Oriental mengakuisisi kepemilikan di 1996. Nama hotel ditambahkan merk dagang kelompok itu, menjadi Mandarin Oriental Hotel Majapahit. Pada tahun yang sama, pemerintah menetapkan hotel itu sebagai cagar budaya.
Kepemilikan hotel berpindah ke Grup CCM pada 2006. Namanya dikembalikan menjadi Hotel Majapahit hingga sekarang.