Sukses

Setya Novanto Tersangka Lagi, KPK Akan Jemput Paksa?

Status tersangka memiliki landasan, sehingga KPK bisa memanggil paksa Setya Novanto untuk diperiksa.

Liputan6.com, Jakarta - KPK kembali menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka kasus megakorupsi KTP elektronik. Apakah lembaga antikorupsi itu akan menjemput paksa Setya Novanto?

"Yang pasti saat ini KPK masih terus menyidik kasus ini dan mengkaji UU MD3 yang dijadikan alasan ketika yang bersangkutan dipanggil sebagai saksi," kata juru bicara KPK Febri Diansyah, kala menjawab pertanyaan soal kemungkinan penjemputan paksa Setya Novanto, saat konferensi pers di Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (10/11/2017).

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, selama proses penyidikan pihaknya sudah dua kali menjadwalkan pemeriksaan terhadap Setya Novanto.

"Juga telah disampaikan permintaan keterangan terhadap saudara SN sebanyak dua kali, yaitu 13 dan 18 Oktober. Namun, yang bersangkutan tidak hadir untuk dimintai keterangan karena ada pelaksanaan tugas kedinasan," kata Saut.

Meski Novanto beberapa kali mangkir, hal itu tidak menyurutkan KPK untuk terus menyidik kasus tersebut.

"Setelah proses penyelidikan dan ada bukti permulaan yang cukup, kemudian pimpinan KPK, penyelidik, penyidik, dan penuntut umum melakukan gelar perkara pada 28 Oktober. KPK lantas menerbitkan sprindik atas nama tersangka SN, sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014," kata Saut saat mengumumkan status tersangka Setya Novanto.

Hingga berita ini diturunkan, Liputan6.com masih berusaha meminta keterangan pihak Setya Novanto.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Perjalanan Penetapan Tersangka

Pada Juli 2017, KPK menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi e-KTP. Penetapan tersangka itu berdasarkan bukti permulaan yang dianggap cukup.

Ketua DPR Agus Rahardjo di Gedung KPK, Jakarta, Senin, 17 Juli 2017 saat itu menyatakan, Setya Novanto dijadikan tersangka karena menyalahgunakan kewenangan, sehingga diduga mengakibatkan negara rugi Rp 2,3 triliun dari nilai proyek e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun.

Atas perbuatannya, Setya Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Novanto kemudian mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait penetapan tersangkanya pada 4 September 2017.

Hakim PN Jakarta Selatan kemudian memutuskan mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Ketua Umum Partai Golkar itu. Hakim menyatakan, penetapan tersangka terhadap Setya Novanto oleh KPK tidak sah.

Putusan tersebut dibacakan dalam sidang praperadilan yang berlangsung di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat sore, 29 September 2017.