Sukses

Setya Novanto Laporkan 4 'Oknum' KPK

Penetapan tersangka pada Setya Nonanto berbuntu panjang. Setya Novanto balik melawan.

Liputan6.com, Jakarta - Pengacara Ketua DPR RI Setya Novanto, Fredrich Yunadi, melaporkan penyidik dan pimpinan KPK. Tindakan itu dilakukan menyusul penetapan kembali Novanto sebagai tersangka kasus mega korupsi e-KTP.

Fredrich melaporkan Ketua KPK Agus Rahardjo, Direktur Penyidikan KPK Brigjen Pol Aris Budiman, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, dan penyidik KPK A Damanik.

"Karena mereka yang tandatangani surat (sprindik) itu semua," kata Fredrich, di Bareskrim Polri, Jumat (10/11/2017).

Dia menunjukkan surat tanda bukti lapor di Bareskrim Nomor TBL/825/XI/2017/Bareskrim. Laporan terhadap empat orang KPK itu termuat dalam nomor laporan: LP/1192/XI/2017/Bareskrim tertanggal 10 November 2017.

Terlapor diduga melanggar Pasal 414 dengan dugaan melawan putusan pengadilan, diancam hukuman penjara 9 tahun. Selain itu, mereka dilaporkan melanggar Pasal 421 mengenai penyalahgunaan kekuasaan.

Menurut Fredrich, hal itu terkait putusan praperadilan Setya Novanto sebelumnya. Dia berpendapat, dari putusan itu, Setya Novanto tak bisa lagi ditersangkakan.

"Jadi kami sudah berikan bukti, di mana SPDP yang diumumkan itu, bukti di mana oknum KPK, bukan lembaga, melakukan penghinaan terhadap putusan pengadilan," pungkas Fredrich.

2 dari 2 halaman

Penetapan Tersangka

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus megakorupsi KTP elektronik (e-KTP). Status tersebut diumumkan pada Jumat (10/11/2017) di Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan.

"Setelah proses penyelidikan dan ada bukti permulaan yang cukup, kemudian pimpinan KPK, penyelidik, penyidik, dan penuntut umum melakukan gelar perkara pada 28 Oktober KPK menerbitkan sprindik atas nama tersangka SN, sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.

KPK menerbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik) pada 31 Oktober 2017. Kasus ini diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari total paket pengadaan senilai Rp 5,9 triliun.