Liputan6.com, Jakarta - Penetapan status tersangka terhadap Setya Novanto terkait kasus dugaan korupsi megaproyek e-KTP diprediksi oleh sejumlah pihak akan mempengaruhi perolehan suara Partai Golkar di Pemilu 2019 mendatang.
Namun demikian, di tengah maraknya kasus tersebut, Golkar dianggap masih mempunyai harapan meraup suara besar di Pemilu 2019. Pengamat Politik Indobarometer M Qodari menilai modal besar Golkar untuk menang yaitu perolehan suara yang merata di hampir sejumlah daerah.Â
"Pemenang Pemilu 2014 yang lalu boleh lah PDI Perjuangan (suara terbesar), tetapi kalau berbicara kemerataan kemenangan, adalah Golkar," ujar Qodari dalam diskusi yang digelar Praja Muda Beringin (PMB) di kawasan Melawai, Jakarta, Selasa (14/11/2017).
Advertisement
Dia menjabarkan meratanya perolehan suara Golkar di Pemilu 2014 membuat partai beringin mampu mengusung calon kepala daerah sendiri, tanpa harus berkoalisi di 29 daerah, baik di tingkat provinsi dan kabupaten.
"29 daerah itu sama dengan 17 persen dari 171 daerah pilkada nanti," ucap Qodari.
Dia menuturkan dengan kondisi tersebut, Golkar harus bisa memilih calon yang berpeluang besar untuk menang, baik dari elektabilitas, popularitas dan elektabilitas.
Selain itu, lanjutnya, Golkar di 125 daerah lainnya Golkar memiliki modal suara lebih 10 persen, yang artinya bisa meminimkan koalisi walaupun tidak bisa maju sendiri.
"Selebihnya Golkar adalah di bawah 10 persen dan hanya bisa menjadi pengikut koalisi. Jadi peluang menang Golkar ini mencapai 90 persen di Pilkada 2018," demikian Qodari.Â
Â
Lakukan Pembenahan
Â
Untuk mengulang apa yang terjadi di Pilpres 2014, Qodari menilai internal Partai Golkar harus solid dan melakukan sejumlah pembenahan.
Terlebih adanya sejumlah kasus dugaan korupsi yang membelit sejumlah kadernya dan penetapan tersangka Setya Novanto dalam kasus [korupsi e-KTP](Lakukan Pembenahan "").
"Golkar adalah partai dengan peluang kemenangan yang sangat besar, tetapi kondisinya saja belum bagus," ucap Qodari.
Advertisement