Liputan6.com, Jakarta: Makanan kecil berwarna-warni benar-benar mengundang selera. Ditambah harga yang terjangkau, menggoda siapa saja untuk mencoba. Jajanan ini banyak terdapat di sejumlah pasar dan pusat keramaian. Ada yang dijual eceran sampai grosiran.
Salah satu target sasaran penganan murah meriah ini ada di lingkungan sekolah. Berbagai jenis cemilan dipamerkan para pedagang. Tujuannya tak lain untuk menarik minat konsumen. Sasaran tak lain adalah anak-anak, yang punya kecenderungan hobi jajan.
Sayang tak banyak anak paham. Sebab jajanan yang mereka beli belum tentu aman untuk dikonsumsi. Harga yang murah belum tentu menjamin jajanan sehat. Proses produksi dari penganan ini juga tak diketahui higienis tidaknya.
Inilah kemudian mendorong Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Majalengka, Jawa Barat menggelar razia. Diketahui ternyata sejumlah makanan kecil dan jajanan kedaluwarsa beredar luas di sejumlah pasar dan pusat perbelanjaan. Jenisnya beragam mulai dari kue kering hingga makanan dalam kemasan.
Makanan serupa ditemukan pula di Cirebon, Jabar. Hasil razia Disperindag setempat menemukan jajanan kedaluwarsa marak beredar. Kondisi diperparah saat penganan kedaluwarsa tak ditarik dari peredaran. Sang pedagang tak bisa berkelit saat barang dagangan terendus petugas.
Jajanan di lapak ini kue-kue sisa pabrik dijual partai besar. Harganya dipatok antara Rp 7.500 hingga Rp 10 ribu per kilogram. Yang mengherankan, meski banyak konsumen yang mengetahui penganan yang dijual berbahan makanan limbah. Tapi tetap saja dikonsumsi.
Tak semua pedagang sengaja menjual makanan kedaluwarsa. Ada yang tak tahu asal-usul dan komposisi bahan mentah dagangan. Tapi ada pula yang memang tahu dan sengaja mengejar untung besar. Sayangnya razia ini tak disertai aparat penegak hukum. Sehingga pengecekan penjualan produk
kedaluwarsa cuma bersifat imbauan.
Berderet kios di pasar ini memajang jajanan pasar aneka rupa. Kemasan beragam. Ada yang mencatut merek terkenal, ada juga yang polos tanpa merek dagang.
Cirebon adalah salah satu daerah sasaran distribusi makanan kedaluwarsa di Jabar. Di salah satu sudut perbatasan Cirebon, sebuah gudang yang diduga sebagai pengepul makanan limbah beroperasi. Agar tak terendus aparat, si pengepul memilih lokasi di pinggiran permukiman warga.
Sekilas rumah ini tak jauh beda dengan rumah di sekitarnya. Cuma gerbang tinggi yang selalu tertutup ini mengundang tanya. Dalam bilik-bilik sederhana, berkarung-karung makanan limbah pabrik menumpuk.
Tak lama datang sebuah truk bermuatan makanan limbah. Truk ini membawa makanan sisa pabrik dari Jakarta. Makanan limbah ini lalu dipilih yang kondisinya bagus kemudian dikemas ulang dan dijual kembali ke pasar.
Rata-rata makanan limbah berupa mi, wafer, kue kering, roti dan kacang. Makanan dijual Rp 7.000 hingga Rp 13 ribu per kilogram. Tak cuma seputar Cirebon. Si pengepul mengaku memasok penganan ini ke berbagai daerah di Pulau Jawa dan Sumatra.
Masih di desa yang sama, ada industri rumah tangga yang menggeluti bisnis serupa. Letaknya di tengah-tengah permukiman penduduk. Rumah tingkat ini selalu tertutup rapat. Dua tahun lebih usaha ini berjalan. Pasokan datang dari Jakarta dan Bekasi. Minimal dua pekan sekali.
Makanan dikemas dalam berbagai ukuran. Harga dibandrol mulai dari Rp 500 untuk kemasan eceran 75 gram hingga Rp 13 ribu per satu kg. Aparat penegak hukum bukannya menutup mata atas bisnis ilegal ini. Berbagai upaya sudah dilakukan, tapi peredaran makanan limbah sulit diberantas.
Di beberapa tempat, peredaran makanan limbah marak. Tengok di Subang, Jabar, mi instan remuk seperti ini banyak dijumpai. Dijual ecer ataupun grosiran. Dijual cuma Rp 9.000 per kilogram. Lebih murah dari mi kualitas standard. Dari sebuah rumah pemasok mi limbah, di sanalah mi limbah ditimbun lalu dijual ke pasar-pasar.
Penelusuran berlanjut pada agen penyalur mi limbah. Sang agen mengaku mendapat pasokan dari salah satu distributor mi. Keuntungan terbilang lumayan. Dalam sehari bisa mencapai jutaan rupiah. Saat dimintai konfirmasi, pihak yang diduga memasok mi limbah membantah menjual mi tak layak konsumsi.
Untuk mengetahui bahayanya, Tim SIGI melakukan uji laboratorium terhadap sampel makanan limbah dan kedaluwarsa. Dari empat sampel jajanan berupa mi instan, cokelat pasta, camilan kacang, dan roti kering ke Laboratorium Balai Besar Industri Agro (BBIA) di Bogor, Jabar. Tujuannya untuk mengetahui kadar cemaran mikroba dalam makanan.
Uji sampel pewarna terbagi dua metode. Langkah awal proses uji laboratorium sejumlah sampel makanan dihancurkan hingga halus. Makanan yang terbuat dari tepung atau bahan lembut ditumbuk. Sebaliknya makanan yang keras dihaluskan menggunakan blender. Baru kemudian sampel dipisahkan untuk uji mikrobiologi.
Sampel-sampel yang ditentukan massanya lalu diproses secara kimiawi. Uji kualitatif juga dilakukan untuk mengetahui benar tidaknya jajanan mengandung mikroba. Antara lain seperti kapang, khamir, dan bakteri berbahaya yang biasanya ada pada makanan yang sudah kedaluwarsa.
Hasilnya dari empat sampel yang diuji, dua di antaranya positif mengandung cemaran mikroba dalam jumlah cukup membahayakan. Kapang dan khamir banyak terdapat pada sampel camilan kacang dan roti kering. Ini membuktikan kedua makanan tak higienis dan tak layak konsumsi.
Selain dampak negatif jangka panjang terhadap kesehatan tubuh, efek jangka pendek juga bisa dirasakan. Terutama pada beberapa orang yang sensitif terhadap jenis mikroba. Gejala ringan seperti sakit perut dan diare hingga keracunan bisa terjadi.
Kurangnya pengawasan peredaran makanan menjadi sorotan tajam Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Razia saja tak akan cukup dan bukan solusi tepat memberantas peredaran makanan limbah dan kedaluwarsa. Selama ada permintaan dari pasar, pedagang dan pengusaha nakal tak akan jera beraksi.(AIS)
Salah satu target sasaran penganan murah meriah ini ada di lingkungan sekolah. Berbagai jenis cemilan dipamerkan para pedagang. Tujuannya tak lain untuk menarik minat konsumen. Sasaran tak lain adalah anak-anak, yang punya kecenderungan hobi jajan.
Sayang tak banyak anak paham. Sebab jajanan yang mereka beli belum tentu aman untuk dikonsumsi. Harga yang murah belum tentu menjamin jajanan sehat. Proses produksi dari penganan ini juga tak diketahui higienis tidaknya.
Inilah kemudian mendorong Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Majalengka, Jawa Barat menggelar razia. Diketahui ternyata sejumlah makanan kecil dan jajanan kedaluwarsa beredar luas di sejumlah pasar dan pusat perbelanjaan. Jenisnya beragam mulai dari kue kering hingga makanan dalam kemasan.
Makanan serupa ditemukan pula di Cirebon, Jabar. Hasil razia Disperindag setempat menemukan jajanan kedaluwarsa marak beredar. Kondisi diperparah saat penganan kedaluwarsa tak ditarik dari peredaran. Sang pedagang tak bisa berkelit saat barang dagangan terendus petugas.
Jajanan di lapak ini kue-kue sisa pabrik dijual partai besar. Harganya dipatok antara Rp 7.500 hingga Rp 10 ribu per kilogram. Yang mengherankan, meski banyak konsumen yang mengetahui penganan yang dijual berbahan makanan limbah. Tapi tetap saja dikonsumsi.
Tak semua pedagang sengaja menjual makanan kedaluwarsa. Ada yang tak tahu asal-usul dan komposisi bahan mentah dagangan. Tapi ada pula yang memang tahu dan sengaja mengejar untung besar. Sayangnya razia ini tak disertai aparat penegak hukum. Sehingga pengecekan penjualan produk
kedaluwarsa cuma bersifat imbauan.
Berderet kios di pasar ini memajang jajanan pasar aneka rupa. Kemasan beragam. Ada yang mencatut merek terkenal, ada juga yang polos tanpa merek dagang.
Cirebon adalah salah satu daerah sasaran distribusi makanan kedaluwarsa di Jabar. Di salah satu sudut perbatasan Cirebon, sebuah gudang yang diduga sebagai pengepul makanan limbah beroperasi. Agar tak terendus aparat, si pengepul memilih lokasi di pinggiran permukiman warga.
Sekilas rumah ini tak jauh beda dengan rumah di sekitarnya. Cuma gerbang tinggi yang selalu tertutup ini mengundang tanya. Dalam bilik-bilik sederhana, berkarung-karung makanan limbah pabrik menumpuk.
Tak lama datang sebuah truk bermuatan makanan limbah. Truk ini membawa makanan sisa pabrik dari Jakarta. Makanan limbah ini lalu dipilih yang kondisinya bagus kemudian dikemas ulang dan dijual kembali ke pasar.
Rata-rata makanan limbah berupa mi, wafer, kue kering, roti dan kacang. Makanan dijual Rp 7.000 hingga Rp 13 ribu per kilogram. Tak cuma seputar Cirebon. Si pengepul mengaku memasok penganan ini ke berbagai daerah di Pulau Jawa dan Sumatra.
Masih di desa yang sama, ada industri rumah tangga yang menggeluti bisnis serupa. Letaknya di tengah-tengah permukiman penduduk. Rumah tingkat ini selalu tertutup rapat. Dua tahun lebih usaha ini berjalan. Pasokan datang dari Jakarta dan Bekasi. Minimal dua pekan sekali.
Makanan dikemas dalam berbagai ukuran. Harga dibandrol mulai dari Rp 500 untuk kemasan eceran 75 gram hingga Rp 13 ribu per satu kg. Aparat penegak hukum bukannya menutup mata atas bisnis ilegal ini. Berbagai upaya sudah dilakukan, tapi peredaran makanan limbah sulit diberantas.
Di beberapa tempat, peredaran makanan limbah marak. Tengok di Subang, Jabar, mi instan remuk seperti ini banyak dijumpai. Dijual ecer ataupun grosiran. Dijual cuma Rp 9.000 per kilogram. Lebih murah dari mi kualitas standard. Dari sebuah rumah pemasok mi limbah, di sanalah mi limbah ditimbun lalu dijual ke pasar-pasar.
Penelusuran berlanjut pada agen penyalur mi limbah. Sang agen mengaku mendapat pasokan dari salah satu distributor mi. Keuntungan terbilang lumayan. Dalam sehari bisa mencapai jutaan rupiah. Saat dimintai konfirmasi, pihak yang diduga memasok mi limbah membantah menjual mi tak layak konsumsi.
Untuk mengetahui bahayanya, Tim SIGI melakukan uji laboratorium terhadap sampel makanan limbah dan kedaluwarsa. Dari empat sampel jajanan berupa mi instan, cokelat pasta, camilan kacang, dan roti kering ke Laboratorium Balai Besar Industri Agro (BBIA) di Bogor, Jabar. Tujuannya untuk mengetahui kadar cemaran mikroba dalam makanan.
Uji sampel pewarna terbagi dua metode. Langkah awal proses uji laboratorium sejumlah sampel makanan dihancurkan hingga halus. Makanan yang terbuat dari tepung atau bahan lembut ditumbuk. Sebaliknya makanan yang keras dihaluskan menggunakan blender. Baru kemudian sampel dipisahkan untuk uji mikrobiologi.
Sampel-sampel yang ditentukan massanya lalu diproses secara kimiawi. Uji kualitatif juga dilakukan untuk mengetahui benar tidaknya jajanan mengandung mikroba. Antara lain seperti kapang, khamir, dan bakteri berbahaya yang biasanya ada pada makanan yang sudah kedaluwarsa.
Hasilnya dari empat sampel yang diuji, dua di antaranya positif mengandung cemaran mikroba dalam jumlah cukup membahayakan. Kapang dan khamir banyak terdapat pada sampel camilan kacang dan roti kering. Ini membuktikan kedua makanan tak higienis dan tak layak konsumsi.
Selain dampak negatif jangka panjang terhadap kesehatan tubuh, efek jangka pendek juga bisa dirasakan. Terutama pada beberapa orang yang sensitif terhadap jenis mikroba. Gejala ringan seperti sakit perut dan diare hingga keracunan bisa terjadi.
Kurangnya pengawasan peredaran makanan menjadi sorotan tajam Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Razia saja tak akan cukup dan bukan solusi tepat memberantas peredaran makanan limbah dan kedaluwarsa. Selama ada permintaan dari pasar, pedagang dan pengusaha nakal tak akan jera beraksi.(AIS)