Liputan6.com, Jakarta Suara Megawati Soekarnoputri bergetar. Sesekali dia terhenti membacakan teks pidato yang ada di tangannya. Kalimat yang terlontar saat itu adalah soal seruan damai bangsa serumpun Korea Utara dan Korea Selatan yang tengah dirundung konflik.
"Pilihan saya tidak akan pernah berubah. Saya memilih bersama dengan rakyat Korea Selatan dan Korea Utara untuk terus mengupayakan perdamaian kedua negara," kata Mega dalam pidato usai menerima gelar kehormatan Doctor Honoris Causa, di Mokpo National university, Korea Selatan, Kamis 16 Oktober 2017.
Baca Juga
Presiden ke-5 Republik Indonesia ini didaulat sebagai orang yang menjembatani perdamaian Korea Utara dan Selatan sejak Mei 2017 lalu. Latar belakang keluarga Sukarno yang bersahabat dengan kedua negara itu menjadi alasan utamanya.
Advertisement
Menurut Mega, upaya rekonsiliasi antara kedua negara sudah dilakukannya jauh-jauh hari, yaitu sejak Presiden Korsel Kim Dae Jung (1998-2003) dan berlanjut saat Presiden Korsel Roh Moo Hyung (2003-2008), Mega sudah ditunjuk sebagai duta atau wakil perdamaian kedua negara tersebut.
Upaya rekonsiliasi terus berlanjut saat Korsel dipimpin Presiden Mun Jae-in sekarang. "Menurut saya, logikanya Korea Utara dan Korea Selatan mempunyai rasa dan satu bangsa," kata Mega usai memberikan pidatonya.
Rasa optimistis akan perdamaian dua negara itu selalu tertanam di benak putri Bung Karno ini.
"Saya sangat optimistis dan mudah-mudahan ini terdengar oleh Rakyat Korea utara, karena saya sangat diterima di sana karena hubungan tradisional antara Indonesia dan Korea Utara melalui Bung Karno dan Presiden Kim il-Sung saat itu," ujar Mega.
Menurut Megawati, dirinya tidak akan menyerah untuk terus terlibat dalam upaya mencari penyelesaian konflik kedua negara tersebut. Termasuk mengecam pihak mana pun yang menunggangi konflik keduanya.
"Saya menentang pihak mana pun yang memanfaatkan situasi di kedua negara dengan memperuncing perseteruan," tegas Mega dengan suara lantang.
Mega menggarisbawahi bila konflik kedua negara itu pecah. Bukan menang-kalah yang utama, tapi kesengsaraan rakyat kedua negara.
"Satu hal yang harus menjadi kesadaran kita bersama, apabila konflik Korea Selatan dan Korea Utara semakin mengeras, apabila konflik itu sampai berujung pada peperangan, harus kalian ingat yang paling dirugikan dan paling menderita adalah rakyat Korea Selatan dan Korea Utara sendiri," kata Mega.
"Dalam perjuangan untuk perdamaian yang saya lakukan, saya selalu sisipkan doa bagi rakyat kedua negara. Semoga perang tidak akan pernah terjadi. Semoga perdamaian yang akan selalu terjadi," tegas Mega.
Sukarno dan Korea Utara
Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, memiliki jalinan kuat dengan Korea Utara yang saat itu dipimpin Kim il-Sung.
Eratnya hubungan Soekarno dan Kim Il Sung dimulai sejak 1964 ketika Proklamator Indonesia itu berkunjung resmi ke Pyongyang, yang dibalas dengan kunjungan Kim senior, dan anaknya Kim Jong Il, ke Indonesia pada April 1965.
"Selain untuk mempererat hubungan bilateral, kunjungan Kim Jong Il saat itu sekaligus untuk menghadiri peringatan 10 tahun Konferensi Asia Afrika yang pertama kali diadakan pada 1955 di Bandung," kata Duta Besar Republik Demokratik Rakyat Korea (DPRK/Korea Utara) untuk Indonesia, Ri Jong Ryul, dilansir Antara, 10 April 2015.
Sukarno saat itu memberikan bunga anggrek kepada Kim il-Sung. Bunga itu sekaligus kado ulang tahun dari Sukarno kepada pimpinan tertinggi Korea Utara tersebut. Anggrek tersebut diberi nama Dendrobium Kimilsungia.
Bunga anggrek genus Dendrobium ini, yang menjadi salah satu bunga paling terkenal di DPRK, adalah simbol ikatan persahabatan antara Korea Utara dan Indonesia.
Kimilsungia hingga saat ini menjadi festival tahunan di Korea Utara sejak 1999. Anggrek pemberian Bung Karno menjadi ikon festival sekaligus perayaan ulang tahun Kim il-Sung.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement