Sukses

Jatuhnya Harga Bawang Solok

Jatuhnya Harga Bawang Solok

Liputan6.com, Jakarta (Ditulis oleh Nofi Candra, Anggota DPD RI)

Minggu (19/11/2017), saya mengunjungi Alahan Panjang, Kabupaten Solok. Di Sungai Nanam, saya bertemu dengan beberapa petani bawang merah yang sedang panen. Keluhannya masih sama seperti panen sebelumnya, yaitu harga bawang masih murah, petani merugi, bahkan tabungan mereka nyaris habis pula untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.

Sungguh miris. Masyarakat yang dulu terbilang sejahtera secara ekonomi dengan berbagai hasil pertanian yang melimpah dan nilai jual yang tinggi, kini kelelahan dengan selubung harapan yang entah kapan kesampaian.

Saya ingat, akhir tahun lalu—tepatnya 28 Desember 2016—Menteri Pertanian mencanangkan Kabupaten Solok sebagai sentra atau lumbung bawang di Sumatera. Saya hadir dalam pencanangan sentra bawang tersebut di Sungai Nanam Alahan Panjang, tempat yang kemarin saya kunjungi itu. Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, dengan penuh semangat dan optimis menyebutkan, “Solok akan menjadi lumbung bawang untuk Sumatera.”

Ucapan tersebut didengar langsung oleh para petani yang hadir di sana. Mereka sangat terpengaruh dan terinspirasi dengan ucapan menteri tersebut. Dalam bayangan mereka, sebagai sentra bawang tentu ada harapan penghasilan yang lebih baik. Bayangkan saja, berapa ribu ton bawang yang harus disiapkan untuk memenuhi kebutuhan bawang se-Sumatera.

Akhirnya, hampir seluruh petani, tidak hanya di Alahan Panjang, termasuk beberapa nagari di Kabupaten Solok, menanam bawang. Mereka mulai meninggalkan tanaman lain yang bisa ditanam, seperti lobak/kol, tomat, kentang, dan sebagainya. Mereka tertarik dan fokus menanami lahan pertanian dengan bawang merah. Dengan harapan saat panen nanti mereka akan berbahagia dengan hasil dari penjualan bawang tersebut.

Sayangnya, ketika musim panen pertama datang, tidak seperti yang mereka bayangkan tadi. Harga bawang tambin. Mereka terpaksa menjual bawang dengan harga murah. Putus asakah mereka? Tidak. Di antara rasa kecewa panen pertama itu, mereka masih memiliki sisa harapan. Dalam pikiran mereka, mungkin pemerintah sedang menyiapkan sarana dan prasarana untuk menuju sentra bawang Sumatera tersebut. Atau, mungkin musim panen berikutnya, harga bawang sudah stabil, dan pikiran baik lainnya, sebagai pembangkit semangat menanam bawang kembali.

Musim panen kedua datang. Harga bawang masih di bawah Rp 15.000. Mereka mulai bertanya-bertanya, benarkah pemerintah ini serius untuk menjadikan Kabupaten Solok sebagai sentra bawang Sumatera? Pertanyaan-pertanyaan tentang keseriusan pemerintah mewujudkan janjinya itu, semakin menyebar di kalangan petani bawang. Maka, saya bersama anggota Komite II DPD RI ketika itu, menfasilitasi beberapa orang perwakilan mereka untuk bertemu dengan Menteri Pertanian di Ragunan, Jakarta Selatan.

Dalam pertemuan pada 29 Mei 2017 tersebut, Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, menyampaikan bahwa sudah meminta Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menindaklanjuti, sesuai konsensus dan perintah Presiden. Ketika saya tanya ke Bulog persoalan ini, mereka menyampaikan tidak memiliki gudang untuk menyimpan bawang tersebut, sehingga perintah Presiden tersebut belum bisa dilaksanakan.

Persoalan lainnya, keterlibatan pemerintah daerah untuk membantu menyelesaikan persoalan petani bawang tersebut. Setidaknya, pemerintah daerah membantu Bulog menyediakan gudang penyimpanan bawang, sehingga Bulog bisa mulai membeli bawang dengan harga stabil.

Sepulangnya dari pertemuan dengan Menteri Pertanian tersebut, para perwakilan petani masih optimis harga bawang akan membaik. Mereka pun menyampaikannya kepada para petani yang menunggu hasil pertemuan itu. Artinya, ada semangat baru untuk kembali berusaha. Mulailah musim tanam ketiga dilaksanakan. Harapannya masih sama, panen musim ini Bulog atas nama pemerintah sudah bisa membeli bawang petani dengan harga yang stabil, minimal Rp 15.000 per kilogram.

Ketika panen musim ketiga dimulai, harga masih tetap dibawah Rp 15.000 per kilogram. Petani mulai tidak percaya dengan janji pemerintah. Mereka merasa diberi harapan palsu saja, sementara mereka telah habis-habisan untuk mewujudkan sentra bawang Sumatera ini. Bahkan, usaha keras mereka itu turut berperan dalam menyukseskan swasembada bawang di Indonesia. Sayangnya, usaha keras membangun perekonomian bangsa itu tidak sebanding dengan hasil yang mereka dapatkan.

Setelah mengunjungi petani bawang di Kabupaten Solok pada musim panen ketiga ini, saya mengingatkan kembali Kementerian Pertanian untuk menyelesaikan persoalan harga bawang ini secepatnya. Apa gunanya disebut sebagai sentra atau lumbung bawang, kalau akan membuat petani menjerit. Seandainya, Menteri Pertanian tidak mengeluarkan pernyataan bahwa Kabupaten Solok sebagai lumbung bawang untuk Sumatera, tentu petani tidak akan menanami lahannya dengan bawang saja. Setidaknya, ketika harga bawang murah seperti sekarang, mereka masih bisa menikmati penghasilan dari lobak/kol, kentang, tomat, dan sebagainya, yang harganya relatif stabil saat ini.

Jika memang pemerintah atau Kementerian Pertanian belum siap untuk menjadikan Kabupaten Solok sebagai sentra bawang di Sumatera, lebih baik dicabut saja pernyataan yang diucapkan Menteri Pertanian di hadapan petani di Alahan Panjang tersebut. Artinya, petani tidak terlalu berharap di setiap musim.

Hendaknya, jangan sampai rakyat mencap pemerintah sebagai tukang Pemberi Harapan Palsu (PHP). Kalau memang tidak mampu memberi kepastian stabilitas harga bawang saat ini sampaikan saja terus terang kepada mereka, sehingga jelas pula tindakan yang akan diambil petani selanjutnya. Sebab, jadi atau tidaknya Kabupaten Solok sebagai lumbung bawang di Sumatera, hidup harus terus berlanjut. Tidak mungkin berharap terus-terusan tanpa ada kepastian. Betapa lelahnya di-PHP selama tiga musim.

 

 

(*)