Liputan6.com, Jakarta - Nama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok disejajarkan dengan para pemimpin terkemuka dan intelektual oleh majalah Foreign Policy dari Amerika Serikat. Meski, Ahok masih berada di balik jeruji besi di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua Depok, Jawa Barat.
Kakak angkat Ahok, Nana Riwayatie, mengatakan pengakuan itu pantas diberikan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Selama ini, Ahok bekerja keras sepenuh hati untuk memperbaiki Jakarta.
Advertisement
Baca Juga
"Iya. Diamnya dia itu membuktikan kinerjanya. Dunia tahu itu. Tidak usah dunia, kita, saya sendiri yang di Jakarta, merasakan kinerjanya," ujar Nana kepada Liputan6.com, Jakarta, Rabu (6/12/2017).
Oleh karena itu, dia meminta agar masyarakat mengakui jerih payah Ahok. Dia pun menuturkan sejumlah program Ahok yang telah terealisasi dan dirasakan dampaknya.
"Karena dia bersungguh-sungguh dalam bekerja mengatasi kendala yang ada di Jakarta. Sebut saja infrastruktur, jalan layang, jalan khusus untuk busway, merupakan salah satu bukti untuk menghindari macet, memperlancar lalu lintas. Kerjanya nyata dan tidak neko-neko. Gerakannya cepat, tidak tergantung sama siapa pun. Otaknya lebih encer," tutur Nana soal Ahok.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Yang Menonjol soal Ahok
Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok masuk dalam daftar Global reThinkers 2017.
Selain Ahok, sejumlah nama besar dunia masuk dalam daftar. Ada Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Presiden Gambia Adama Barrow, juga Dubes AS untuk PBB Nikki Haley.
Ada pula dalam daftar mantan tangan kanan Donald Trump, Steve Bannon; prajurit transgender yang membocorkan rahasia AS, Chelsea Manning; seniman Ai Wei Wei; juga Leila de Lima, senator Filipina yang menjadi pengkritik terdepan Presiden Rodrigo Duterte.
"Untuk tetap berdiri di tengah fundamentalisme yang sedang bertumbuh di Indonesia," demikian alasan Foreign Policy memilih Ahok.
Dalam narasinya, associate editor di Foreign Policy, Benjamin Soloway menyebut, saat terjun ke dunia politik di Jakarta pada 2012, Ahok tak sesuai dengan profil politikus pada umumnya.
"Ia bermulut tajam, keturunan Tionghoa, dan seorang Protestan di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia," kata Soloway.
Pada awalnya, dia menambahkan, latar belakang Ahok tak menjadi masalah. Namun, situasi berbalik pada 2017.
Gara-gara sebuah pidatonya, Ahok dinyatakan bersalah dalam kasus penistaan agama, kalah dalam pilkada, dan akhirnya dipenjara.
Di sisi lain, Soloway menyoroti apa yang dilakukan dalam tiga tahun Ahok memerintah di Jakarta. Ia melawan korupsi, memperluas akses warga pada layanan kesehatan dan sosial lainnya, mengeruk kanal, memperbaiki transportasi publik, dan melakukan kampanye untuk membersihkan birokrasi yang membuatnya mendapatkan tingkat penerimaan publik yang tinggi.
Meski prestasinya diakui, kebiasaan memarahi birokrat yang tidak kompeten mendapat pujian luas, di sisi lain ia punya banyak musuh. Terutama mereka yang digusur untuk membuka jalan bagi reklamasi dan proyek pembangunan lain.
Soloway menambahkan, saat Ahok divonis pidana, para pendukungnya menggelar aksi protes, tak hanya di seluruh Indonesia, tapi juga di sejumlah titik dunia. PBB dan organisasi HAM Human Rights Watch juga mengutuk pemidanaan tersebut.
Mengutip perkataan Andreas Harsono dari Human Rights Watch, pemenjaraan Ahok dianggap sebagai seruan yang membangunkan (wakeup call) bagi rakyat Indonesia: bahwa ada masalah serius soal kebebasan beragama dan diskriminasi terhadap kaum minoritas di Tanah Air.
Dengan kehilangan kebebasannya, Ahok mungkin mendorong orang lain untuk mengarahkan negara kembali ke "jalan tengah".
Sebelumnya, pada 2013, Joko Widodo alias Jokowi juga masuk ke dalam daftar The Leading Global Thinkers of 2013 versi Foreign Policy.
Kala itu, Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan Ahok menjadi wakilnya.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement