Sukses

4 Pengacara Kondang yang Mundur Tangani Kasus Kakap, Kenapa?

Tak hanya Otto Hasibuan dan Fredrich yang mengundurkan diri, pengacara lain juga pernah ambil sikap serupa dalam kasus berbeda. Apa saja?

Liputan6.com, Jakarta - Tak lama bergabung, Otto Hasibuan menyatakan pengunduran dirinya dari pengacara Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP. Langkah itu diikuti oleh pengacara lain, Fredrich Yunadi.

Sidang perdana Setya Novanto rencananya berlangsung pada Rabu 13 Desember 2017 mendatang. Sidang tersebut beragendakan pembacaan surat dakwaan terhadap Setya Novanto.

Berita mundurnya dua pengacara kondang tersebut menyita perhatian publik dalam minggu ini. Selain terkait sosok keduanya yang sudah diketahui publik, masalah yang ditangani mereka juga dianggap kasus kakap.

Dalam catatan Liputan6.com, Minggu (10/12/2017), tak hanya Otto Hasibuan dan Fredrich yang mundur saat menangani perkara dugaan korupsi miliaran rupiah. Ada dua pengacara lain yang pernah mengambil sikap serupa.

Mereka tentu memiliki alasan tersendiri dalam memutuskan tindakannya tersebut. Lantas apa saja alasan mereka? Berikut ini ulasannya:

 

2 dari 5 halaman

1. Otto Hasibuan

Langkah mengejutkan diambil oleh Otto Hasibuan. Pria yang menjadi pengacara Setya Novanto sejak 20 November 2017 itu mengundurkan diri pada Jumat 8 Desember 2017.

Langkah tersebut diambil lantaran Otto memandang tidak adanya kesepakatan yang jelas tentang tata cara menangani kasus e-KTP.

"Saya maunya membela ini, caranya begini. Tapi dia mengatakan caranya begini. Ah saya enggak cocok," tutur Otto di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (8/12/2017).

Otto menyampaikan, perbedaan metode itu membuatnya tidak bebas menangani kepentingan hukum Setya Novanto. Terlebih, kerugian akan menimpa kedua belah pihak yakni pengacara dan klien itu sendiri.

"Saya kan harus menjaga independensi, integritas. Saya kan enggak bisa, mestinya melakukan pekerjaan tanpa saya perlu, dengan bebas. Saya harus bebas. Tidak boleh ada orang pun yang bisa mempengaruhi saya," jelas dia.

Bagi dia, segala cara dan metode penanganan perkara yang dipaparkannya ke Setya Novanto adalah yang terbaik. Namun begitu, dia tidak menyalahkan adanya perbedaan pandangan sehingga mengundurkan diri menjadi pilihan paling tepat baginya.

"Saya bicara dengan Setya Novanto, saya berpendapat untuk menangani ini caranya seperti ini. Tapi dia mempunyai cara penanganan yang berbeda. Kemudian strateginya umpama seperti ini, dia juga mempraktik seperti itu," Otto menandaskan.

Dalam kasus itu, KPK menduga Setya Novanto bersama sejumlah pihak menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.

Adapun sejumlah pihak itu antara lain Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong, serta dua mantan pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto.

Dia juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Bersama sejumlah pihak tersebut, dia diduga ikut mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket Rp 5,9 triliun.

 

3 dari 5 halaman

2. Fredrich Yunadi

Setelah Otto Hasibuan resmi mundur sebagai kuasa hukum tersangka kasus megakorupsi e-KTP Setya Novanto, pengacara lainnya yakni Fredrich Yunadi juga menyatakan hal yang sama.

"Bukan hanya Pak Otto, saya juga mengundurkan diri. Kan sama," tutur Fredrich saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (8/12/2017).

Menurut Fredrich, dia dan Otto adalah satu tim. Sebab itu, jika satu mundur, maka semuanya ikut mundur.

Namun demikian, dia tidak akan menyerahkan surat pengunduran diri sebagai pengacara Setya Novanto ke KPK, seperti yang dilakukan Otto Hasibuan.

Fredrich enggan mengatakan alasan pengunduran dirinya. Saat mengabarkan ke Setya Novanto pun, dia bersama-sama dengan Otto secara langsung menghadap pria yang akrab disapa Setnov itu.

"Enggak ada, enggak ada alasan," Fredrich Yunadi menandaskan.

 

4 dari 5 halaman

2. Yusril Ihza Mahendra Mundur dari Pengacara RJ Lino

Pengacara senior Yusril Ihza Mahendra melalui badan hukum advokatnya menolak menangani perkara Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino, terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Quay Container Crane. Ini terkait dengan sumber pendanaan penanganan perkara.

"Walaupun ada pembicaraan lisan antara RJ Lino dengan Ihza-Ihza Law Firm, namun pihak kami menyatakan keberatan jika biaya penanganan terhadap perkara ini dibebankan kepada perusahaan," ujar Yusril dalam keterangan tertulisnya, Rabu 23 Desember 2015.

"Masalah ini bagi kami menjadi kontroversi. Sebab pernyataan sebagai tersangka kepada Lino atas nama pribadi, bukan dalam jabatannya sebagai Dirut Pelindo II," sambung dia.

Apalagi, kata Yusril, dalam perkembangannya nanti, mungkin Lino diberhentikan dari jabatannya. Hal ini akan menjadi kontroversi kalau biaya penanganan perkara dibebankan kepada perusahaan.

Dia mengungkapkan, sebenarnya antara Ihza-Ihza Law Firm belum ada penandatanganan kuasa dalam menangani perkara ini. Juga belum ada kontrak mengenai besarnya biaya penangangan perkara, serta sumber pembiayaannya.

"Dengan demikian, belum ada ikatan kerja sama resmi dalam penanganan perkara antara kedua pihak," tegas Yusril.

Bahwa di media sosial beredar fotokopi kesepakatan internal Board of Directors Pelindo II dalam menangani perkara Lino, kata Yusril, hal itu adalah kesepakatan internal mereka mengenai alokasi anggaran penangangan perkara.

KPK sebelumnya telah menetapkan RJ Lino sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan 3 Quay Container Crane (QCC) tahun 2010. Lino disangka telah melakukan penunjukan langsung pembelian QCC hingga merugikan negara sebesar Rp 60 miliar.

KPK menjerat Lino dengan Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.

RJ Lino sendiri resmi dicopot dari posisinya sebagai Dirut Pelindo II. Pencopotan Lino berdasarkan keputusan pemegang saham terbesar Pelindo II, dalam hal ini Menteri BUMN.

KPK menjerat Lino dengan Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.

 

5 dari 5 halaman

4. Razman Arief Mundur dari Pengacara Gatot dan Istri

Salah satu pengacara Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya Evy Susanti, yakni Razman Arief Nasution mundur sebagai kuasa hukum 2 tersangka kasus dugaan suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Sumut itu.

Razman mengatakan, yang menjadi pertimbangannya untuk mundur yakni lantaran keduanya tidak mau terbuka mengenai perkara yang menjeratnya.

"Setelah melalui musyawarah dan berdasarkan fakta-fakta yang saya peroleh dari klien kami, termasuk dari Ibu Evy dan Pak Gatot, kami menyimpulkan dan memutuskan tidak akan bersedia lagi menjadi kuasa hukum dari Bapak Gatot Pujo Nugroho. Ini final," ujar Razman Arief Nasution di Gedung KPK, Jakarta, Selasa 18 Agustus 2015.

Selain karena sudah tidak ada lagi kecocokan antara kilen dan kuasa hukum, alasan mundur lainnya, yakni Razman merasa selama ini hanya diperlakukan bagai kurir surat antara Gatot dengan Evy yang telah mendekam di tahanan.

"Karena dalam setiap pemeriksaan, saya bersedia bahkan bisa dikatakan seperti pengantar surat yang ditulis Ibu Evy, saya sampaikan ke Pak Gubernur. Pak Gubernur menulis surat, saya sampaikan ke Bu Evy," tutur dia.

Dia juga mundur karena merasa ada sejumlah kejanggalan saat mendampingi Gatot dan Evy dalam pemeriksaan kasus dugaan suap hakim PTUN Medan.

"Setelah saya pertimbangkan dengan matang, karena dalam hal PTUN pun ada perbedaan-perbedaan mendasar, ketika saya coba menanyakan, kan wajar dong ketika saya tanya background tentang Bu Evy dan Pak Gatot. Ketika itu saya tanya, (Gatot menjawab) sudah Pak enggak usah dibahas-bahas," pungkas Razman.

Sebelumnya, KPK menetapkan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho dan istrinya Evy Susanti sebagai tersangka dalam kasus suap hakim PTUN Medan. Keduanya diduga sebagai pemberi uang suap kepada hakim PTUN.

Pasangan suami istri itu disangka melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a dan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b dan atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat 1 dan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.

Saksikan video pilihan berikut ini: