Sukses

Rumah Cimanggis Terancam Lenyap, Pemkot Depok Diimbau Bertindak

Rumah Cimanggis yang merupakan contoh arsitektur rumah terbaik di ommelanden Batavia pada abad ke-18 terancam hilang.

Liputan6.com, Jakarta - Santer beredar kabar, situs Rumah Cimanggis akan dirubuhkan sejalan dengan pembangunan kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Sejumlah aktivis dan pegiat sejarah pun bereaksi dengan membuat petisi untuk menolak dirobohkan situs bersejarah rumah peristirahatan (land huizen) yang disebut-sebut sejarawan Adolf Heuken sebagai contoh arsitektur rumah terbaik di ommelanden (daerah pinggiran) Batavia pada abad ke-18 itu.

JJ Rizal, sejarawan Betawi yang dihubungi Liputan6.com hari ini mengatakan penyelamatan Rumah Cimanggis menjadi penting karena Rumah Cimanggis merupakan satu-satunya bangunan dari abad ke-18 yang masih bertahan hingga sekarang.

"Bukan hanya pencapaian arsitektur tropis Hindia dengan Eropa dari pertengahan abad ke-18, tetapi juga penanda pembukaan hutan sebagai jalur bagi kawasan kota baru di luar kota benteng Batavia yang kelak bukan hanya menjadi Kota Cimanggis, Depok, tetapi kota-kota lain di Jawa," ujar Rizal, Sabtu, 30 Desember 2017.

"Sebab, dari jalur itulah kelak Daendels membuatnya menjadi Jalan Raya Pos sebagai jalur urat nadi tempat kota-kota di Jawa lahir dan tumbuh seperti kita kenal kini," ujarnya menambahkan.

Rumah Cimanggis pada mulanya adalah sebuah rumah peristirahatan yang dibangun oleh Gubernur Jenderal VOC Johannes Petrus Albertus van der Parra (1761-1775) untuk istri keduanya, Johanna van der Parra, pada 1775.

JJ Rizal menjelaskan, pada sekitar 1730, Batavia menjadi tidak sehat akibat banjir dan banyaknya wabah penyakit. Maut mengintai warganya, sampai-sampai Batavia dijuluki kuburan orang-orang Belanda (Graf der Hollanders). Oleh karena itu, banyak pejabat kaya VOC yang membangun rumah peristirahatan di daerah selatan Batavia untuk tetirah. Rumah itu biasanya sangat mewah, khas arsitektur Indis dengan perkebunan yang luas.

“Termasuk Julius Coyeet, anggota Raad van Indie, membangun rumah di Gunung Sahari pada 1736. Gubernur Jenderal van Imhoff memilih lebih ke selatan lagi. Van Imhoff membangun rumah di Bogor pada 1745. Sementara Gubernur Jenderal van der Parra, yang terkenal suka bermewah-mewah dan korup, turut membangun rumah peristirahatan di Cimanggis pada 1775,” ujar Rizal.

 

2 dari 2 halaman

Sejarah Rumah Cimanggis

Johanna van der Parra (1743-1781) adalah putri David Johan Bake, salah seorang petinggi VOC. Johanna merupakan janda Anthony Gulden Arm, yang juga merupakan petinggi VOC. Rumah peristirahatan itu dibangun selama periode 1775-1778 dan disebut Gedong Tinggi. Ketika Johanna meninggal pada 1787, Gedong Tinggi beserta seluruh isinya diserahkan kepada arsiteknya, David J. Smith.

Rizal menjelaskan, pada 1932 santer diberitakan Gedong Tinggi dan kawasan sekitarnya ada di bawah kepemilikan de Meyer. Kemudian pada masa revolusi, rumah bersejarah Gedong Tinggi menjadi markas tentara Belanda. “Dan pada 1950-an, Sukarno dikabarkan pernah mampir ke Gedong Tinggi dalam perjalanan menuju Bogor dari Pasar Cimanggis,” tuturnya.

Dia melanjutkan, setelah Sukarno jatuh, pemerintahan Soeharto mengambil alih Rumah Cimanggis dan menjadikannya Komplek RRI pada 1967. “Namun, selang 50 tahun setelahnya, bangunan bersejarah ini justru tak terurus dan rusak,” ujar Rizal menyayangkan.

“Baik di bawah Kabupaten Bogor maupun di bawah Kota Depok, nasib situs sejarah Rumah Cimanggis sama menyedihkannya,” katanya menegaskan.

Adolf Heuken menjelaskan pembangunan rumah peristirahatan di daerah sekitar pinggiran Jakarta sesungguhnya turut membantu perkembangan kota. Dari land huizen inilah pembangunan berkembang, sehingga kota-kota baru menjadi muncul.

Karena nilai bersejarahnya inilah, para aktivis dan pencinta sejarah di Depok meminta Pemerintah Kota Depok bertindak. Mereka menuntut Wali Kota Depok M. Idris Abdul Shomad membatalkan rencana pembongkaran Rumah Cimanggis.

"Setop membangun tanpa mempedulikan sejarah," JJ Rizal menandaskan.