Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPK) merilis kembali episode pengungkapan skandal korupsi e-KTP. KPK menyangka Setya Novanto ikut kongkalikong agar anggaran e-KTP sejumlah Rp 5,9 triliun disetujui anggota DPR.
Atas sangkaan ini, Setya Novanto tak tinggal diam. Sidang peradilan diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Di saat proses penyidikian oleh KPK yang terus berjalan, muncul kabar Setya Novanto tengah sakit dan menjalani perawatan di RS Premier Jatinegara, Jakarta Timur. Pada 29 September 2017, setelah menjalani serangkaian persidangan praperadilan, hakim Cepi Iskandar memutuskan penetapan Setya Novanto sebagai tersangka oleh KPK tidak sah.
Advertisement
Kuasa Hukum KPK menyatakan masih akan mempelajari putusan hakim dan kemungkinan akan mengeluarkan surat penyidikan baru. Benar saja, 10 November 2017, pengumuman penetapan Setya Novanto sebagai tersangka untuk kali kedua disampaikan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
Menanggapi penetapan dirinya sebagai tersangka untuk kali kedua dalam kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto menegaskan akan mengikuti proses hukum. Namun, komitmen Setya Novanto tak terbukti.
Tak ingin terkecoh muslihat Setya Novanto, KPK menerbitkan surat penangkapan terhadap Ketua Umum Partai Golkar tersebut. Jika dalam waktu 1x24 jam tidak menyerahkan diri, KPK akan memasukkan Setya Novanto dalam daftar pencarian orang (DPO).
Memburu Setya Novanto
Saat KPK mencari keberadaannya, tiba-tiba Setya Novanto dilaporkan mengalami kecelakaan di kawasan Permata Hijau, Jakarta Barat. Mobil yang ditumpanginya menabrak tiang listrik. Setya Novanto dirawat di RS Medika Permata Hijau dan kemudian dipindahkan ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Pada 17 November 2017, KPK menerbitkan surat perintah penangkapan Setya Novanto. Namun, penahanan ditunda hingga kesehatannya dinyatakan membaik.
Minggu malam, 19 November 2017, KPK akhirnya menjemput Setya Novanto dari ruang perawatannya di RSCM. Tim dokter memastikan bahwa Setya Novanto tak lagi membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Dengan menggunakan kursi roda, Setya Novanto tiba di KPK. Satu jam berselang, dia keluar. Namun, tanpa kursi rodanya. Kali ini Setya Novanto menyatakan menyayangkan tindakan yang dilakukan penyidik karena dia merasa belum sehat.
Setya Nvanto kembali mengajukan praperadilan ke PN Jakarta Selatan untuk kembali lolos dari jerat hukum. Kali ini, peradilan dipimpin hakim Kusno.
Pada 6 Desember 2017, berkas kasus Setya Novanto dinyatakan lengkap atau P21 dan diserahkan jaksa KPK ke PN Jakarta Selatan. Sehari berselang, praperadilan Setya Novanto di PN Jakarta Selatan dimulai.
Seolah berlomba untuk saling mematahkan, Pengadilan Tipikor dijadwalkan menggelar sidang perdana kasus Setya Novanto pada Rabu, 13 Desember 2017, atau sehari sebelum putusan sidang praperadilan dibacakan.
Kejutan setidaknya terjadi pada Setya Novanto. Hakim Kusno membatalkan seluruh gugatan Setya Novanto dalam sidang praperadilan. Artinya, Setya Novanto sah menyandang status tersangka.
Pada 13 Desember 2017, persidangan kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto digelar. Gelaran bak drama sinetron pun terjadi.
Setya Novanto hadir di persidangan dengan kondisi sakit. Setidaknya, itu yang diakuinya. Bahkan, saat ditanya perihal nama, Setya Novanto bungkam.
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut Setya Novanto mendapat jatah lima persen dari proyek e-KTP. Dalam perkara ini, dia didakwa menerima uang dengan total 7,3 juta dollar Amerika. Atas perbuatannya, dia terancam hukuman penjara seumur hidup.
Advertisement
Memberantas Korupsi di Daerah
Kasus korupsi di tahun 2017 belum juga hilang dari bumi Nusantara. Tim penyidik KPK pada September lalu menggeledah kantor dinas di Pemkab Kutai Kartanegara untuk mencari bukti tindak pidana gratifikasi yang dilakukan Bupati Rita Widyasari.
Rita dijadikan tersangka oleh KPK karena menerima uang Rp 6 miliar sebagai imbalan atas pemberian izin operasi untuk keperluan inti dan plasma perkebukan kelapa sawit.
Sementara itu, masih di bulan September, KPK menangkap tangan lima pejabat lingkungan Pemkot Cilegon, Banten, bersama lima orang lainnya dari swasta. Satu di antaranya adalah Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariadi.
Wali kota dua periode sekaligus politisi Partai Golkar ini terkait proses perizinan pusat perbelanjaan di Cilegon. Kendati, Tubagus Iman Ariadi membantah.
Mundur jauh ke awal tahun, KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Klaten Sri Hartini. Politisi PDIP ini ditangkap karena terlibat kasus suap jual beli jabatan.
Bupati Klaten Sri Hartini ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan Suramlan yang menjabat sebagai Kepala Seksi SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten sebagai tersangka pemberi suap.
Dari tangan tersangka, KPK menyita uang pecahan rupiah senilai Rp 2 miliar. Selain itu, didapati juga pecahan 100 dollar Amerika Serikat sebanyak 5.700 dollar Amerika serta 2.035 dollar Singapura.
Masih dari Jawa Tengah, Kantor Wali Kota Tegal Siti Masitha Suparno disegel KPK. Siti menjadi tersangka bersama dua orang lainnya karena terlibat pidana suap pengelolaan dana kesehatan RSUD Kardinah Tegal. Uang suap yang dikumpulkan sejak Januari hingga Agustus 2017 mencapai Rp 5,1 miliar.
Kasus korupsi yang menjerat kepala daerah sepanjang tahun 2017 tidak berhenti di situ. Setidaknya, ada empat kepala daerah lain yang juga berurusan dengan komisi antirasuah.
Mereka adalah Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti yang terlibat kasus suap senilai Rp 4,7 miliar, Bupati Pamekasan Ahmad Syafii dengan kasus korupsi senilai Rp 100 juta, dan Bupati Batubara OK Arya Zulkarnaen dengan nilai suap senilai Rp 4,4 miliar. Terakhir, ada Wali Kota Eddy Rumpoko yang terlibat korupsi Rp 500 juta.