Sukses

CSIS: Reshuffle Airlangga Bisa Ciptakan Kegaduhan Politik

Partai Golkar diprediksi akan mengalami guncangan internal apabila diharuskan mencari pengganti Airlangga.

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai, Presiden Jokowi tidak akan mengganti posisi Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian terkait rangkap jabatan yang saat ini dimilikinya, yakni sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Menurut Arya, reshuffle Airlangga terlalu berisiko, baik bagi Jokowi maupun Golkar.

"Pertama kalau kita lihat dari sisi efek. Karena efeknya besar baik dari sisi kegaduhan politik karena dalam dua reshuffle terakhir itu menciptakan kegaduhan di nasional," ujar Arya dalam diskusi "Perlukah Airlangga Mundur?" di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (6/1/2018).

Arya berpandangan, Jokowi akan menghindari terjadinya kegaduhan politik baru akibat reshuffle mengingat sisa waktu pemerintahan Jokowi jelang persiapan pilpres kurang dari satu tahun. Jokowi juga dinilai tidak ingin mengalami kegaduhan yang sama seperti dua kali reshuffle kabinet sebelumnya.

Sementara itu, ucap Arya, baik Jokowi maupun Golkar akan kesulitan menemukan calon pengganti Airlangga Hartarto. Jokowi dinilai memiliki kedekatan yang baik dengan Airlangga, sehingga mencari calon dengan kompetensi, integritas, dan track record sebaik Airlangga tidaklah mudah.

Partai Golkar juga diprediksi akan mengalami guncangan internal apabila diharuskan mencari pengganti Airlangga, mengingat Golkar sedang memasuki tahap recovery setelah kadernya menghadapi berbagai kasus hukum nasional.

"Kalau ada pergantian menteri tentu di internal Golkarnya juga akan bergejolak. Siapa nama yang akan dicalonkan menggantikan Airlangga Hartarto itu juga menjadikan polemik tersendiri," tutur Arya.

Apalagi, ucap Arya, Golkar juga harus fokus dengan agenda 171 pilkada 2018 yang tahapannya sudah dimulai sejak beberapa minggu lalu.

 

2 dari 3 halaman

Rangkap Jabatan Sudah Biasa

Politikus Senior Golkar, Happy Bone, mengatakan rangkap jabatan bukanlah hal baru dalam sejarah pemerintahan RI. Dia menyebut nama Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjabat sebagai presiden merangkap petinggi di Partai Demokrat, begitupun Megawati Soekarnoputri.

Apalagi, Bone menambahkan, jika Airlangga adalah sosok yang profesional ketika bekerja.

"Sehingga tidak akan mengganggu kinerja departemen di kementerian," ia menambahkan.

Bone mengatakan, Airlangga memiliki tim yang solid serta target kerja yang jelas sehingga akan membantunya dalam menjalankan tugas-tugas, baik sebagai menteri maupun ketua umum parpol.

"Aspek profesionalisme itu penting. Airlangga Hartarto itu punya tim solid dan tim-tim ini mempunyai target dan jelas. Dengan demikian, tidak ada saling memanfaatkan kepentingan pribadi tapi mengutamakan kepentingan nasional," papar Bone.

Menurut Bone, tuntutan publik agar Airlangga turun dari jabatan menteri hanya bisa dijawab dengan produktivitas dan profesionalisme Airlangga.

"Jadi kan masalahnya bagaimana cara mengelola itu juga merespons bagaimana pandangan dan pikiran orang. Ini dijawabnya dengan produktivitas dan kerja nyata," tegas Bone.

3 dari 3 halaman

Dinilai Tak Perlu Mundur

Menurut pakar hukum pidana Supardji Ahmad, tidak ada ketentuan hukum yang mengharuskan Airlangga Hartarto mundur dari jabatan Menteri Perindustrian.

"Kalau kita lihat secara legal formal yuridis normatif, tidak ada suatu ketentuan yang secara eksplisit menyatakan bahwa menteri dilarang menjabat sebagai pimpinan partai," ujar Supardji pada kesempatan yang sama,  Sabtu.

Hal itu didasarkan pada UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara Pasal 23 yang mengharuskan menteri mundur apabila menduduki pimpinan organisasi, yang sebagian atau seluruhnya dibiayai APBN dan atau APBD. Supardji menilai frase dalam pasal tersebut menimbulkan interpretasi.

"Pertanyaannya adalah apakah partai politik itu dibiayai dari APBN atau APBD? Mungkin saja ada asumsi seperti itu ketika kemudian partai itu memperoleh suara, kemudian dikasih dana untuk pembinaan kader atau pembinaan partai tersebut," tutur Supardji.

Supardji menekankan, persoalan rangkap jabatan Airlangga Hartarto tidak bisa dilihat dari kacamata hukum, tapi dari sisi etika politik.

Menurutnya, apabila presiden telah memberikan izin majunya Airlangga sebagai Ketua Umum Golkar, maka tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan.

"Apakah ketika Airlangga ingin maju sebagai ketua partai sudah izin dari Bapak Presiden. Kalau sudah diizinkan, berarti kan diperkenankan untuk maju di situ kemudian etikanya mestinya kalau tidak diperbolehkan pasti tidak akan rangkap," jelas Supardji.

Supardji menegaskan, yang terpenting adalah bagaimana Airlangga bisa menjalankan kedua tugas fungsionalnya serta memastikan bahwa tidak ada konflik kepentingan.