Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak ambang batas presiden atau presidential threshold 0 persen. Mayoritas hakim menyetujui adanya ambang batas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Semangatnya adalah ingin memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh Indonesia.
Baca Juga
Dijaga Ketat, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan Gelar Persidangan Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol
Infografis Paslon RK-Suswono dan Dharma-Kun Tak Ajukan Gugatan Hasil Pilkada Jakarta 2024 ke MK dan Hasil Rekapitulasi Suara
Ridwan Kamil Batal Gugat Pilkada Jakarta ke MK, Golkar: Kita Kedepankan Budaya Jawa
Majelis Hakim Anwar Usman mengingatkan salah satu substansi penting perubahan UUD 1945 adalah penguatan sistem pemerintahan presidensial.
Advertisement
Substansi ini, kata Anwar, merupakan salah satu dari lima kesepakatan politik penting, yang diterima secara aklamasi oleh seluruh fraksi yang ada di MPR tahun 1999, sebelum melakukan perubahan terhadap UUD 1945.
Selain itu, masih kata dia, memperkuat sistem presidensial juga memiliki makna lain dalam konteks sosio-politik. Makna lain itu, lanjutnya, mempertimbangkan kebhinekaan atau kemajukan masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek, jabatan presiden dan wakil presiden atau lembaga kepresidenan.
"Lembaga kepresidenan harus merepresentasikan realitas kebhinekaan atau pluralitas masyarakat Indonesia itu. Dari dasar pemikiran itulah semangat constitusional engineering yang tertuang dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yang berlaku saat ini harus dipahami untuk mencapai tujuan dimaksud," ujar Hakim Usman dalam persidangan MK, Jakarta, Kamis (1/11/2018).
Senada, Majelis Hakim Wahiduddin Adam mengatakan, jika mengacu pada Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945, mendorong agar partai-partai memiliki platform, visi, atau ideologi yang sama atau serupa berkoalisi dalam mencalonkan presiden dan wakil presiden.
"Sehingga ke depan diharapkan akan lahir koalisi yang permanen, sehingga dalam jangka panjang diharapkan akan terjadi penyederhanaan partai secara alamiah," ucap dia.
Â
Tanpa Melalui Paksaan
Dengan kata lain, penyederhanaan partai dikondisikan tanpa melalui "paksaan" norma konstitusi.
Meski, lanjut Wahiduddin, secara praktiknya belum terjadi penyederhanaan partai secara alamiah, hal itu bukanlah berarti gagalnya semangat constitusional engineering yang terdapat dalam UUD 1945.Â
"Dan terutama karena tidak terimplementasikannya secara tepat semangat tersebut dalam UU yang mengatur lebih lanjut gagasan yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut," jelas Adam.
Diketahui, dalam putusan ini, dari sembilan hakim MK, dua orang menolak adanya ambang batas presiden, yakni hakim Saldi Isra dan Suhartoyo.
Saksikan Video Pilihan Berikut:Â
Advertisement