Liputan6.com, Jakarta - Mantan pengacara terdakwa kasus dugaan korupsi megaproyek KTP elektronik Setya Novanto, Fredrich Yunadi, tengah menjadi pusat pemberitaan dalam sepekan terakhir. Fredrich dan beberapa kolega Setya Novanto disangkakan Pasal 21 UU Tipikor atas dugaan merintangi penyidikan tindak pidana korupsi.
Dalam temuan KPK, Fredrich beserta seorang dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau, dr Bimanesh Sutarjo, diduga menghalangi penyidikan KPK dengan melindungi tersangka saat itu, Setya Novanto.Â
KPK mengaku mengantongi bukti otentik pemesanan satu lantai rumah sakit oleh Fredrich sebelum kecelakaan Setnov terjadi. Sementara dokter Bimanesh menghalangi penyidikan dengan memanipulasi rekam medis keceakaan Setya Novanto.
Advertisement
Ternyata Fredrich bukan satu-satunya advokat yang dijerat dengan Pasal 21 UU Tipikor. Dalam laporan yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) per 13 Januari 2018 terdapat 22 advokat yang pernah dijerat menghalangi penyidikan korupsi.
Dari catatan ICW tersebut, ada tiga jenis jeratan dalam UU Tipikor yang menyasar para advokat.
Sebanyak 16 advokat terjerat pasal penyuapan, dua advokat disangkakan pasal pemberian keterangan palsu, sementara empat advokat dianggap menghalang-halangi penyidikan kasus korupsi.
Berikut daftar empat advokat dalam catatan ICW yang merintangi penyidikan tindak pidana korupsi:
Â
Manatap Ambarita
Manatap Ambarita merupakan kuasa hukum tersangka kasus korupsi penyalahgunaan sisa anggaran Tahun 2005 pada Dinas Kimpraswil Kabupaten Kepulauan Mentawai, Afner Ambarita.
Pada 3 April 2008, Afner bersama Manatap menuju Kantor Kejaksaan Tinggi Sumbar dengan maksud menanggapi panggilan penyidik. Namun, Manatap melarang kliennya masuk ke dalam kantor Kejati dan memerintahkan Afner untuk menunggu di dalam mobil yang terparkir di halaman Kejati.
Manatap menghadap penyidik Kejati tanpa kliennya dan meminta agar pemeriksaan terhadap Afner ditunda selama dua minggu. Permintaan tersebut ditolak keras oleh penyidik karena alasan Manatap untuk mempelajari berkas dianggap tidak masuk akal. Perdebatan alot sempat terjadi antara keduanya.
Dia juga berbohong saat penyidik mencoba menemui Afner di hotel tempatnya menginap. Manatap mengatakan bahwa kliennya sudah pulang ke rumah. Padahal nama Afner masih tercatat di buku tamu hotel. Ketika penyidik menarget rumah Afner, istri Afner justru mengatakan suaminya tengah pergi bersama dengan Manatap dan belum kembali.
Tahun 2008, Pengadilan Negeri Padang menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara dan diperkuat Pengadilan Banding Sumbar sementara MA menjatuhkan vonis 3 tahun penjara terhadap Manatap. Namun, Manatap Ambarita sempat masuk Daftar Pencarian Orang dan dan dinyatakan buron oleh Kejaksaan Negeri Mentawai tahun 2012 hingga akhirnya berhasil diringkus pada November 2016.
Â
Â
Advertisement
Mohammad Hasan bin Khusi
Pengacara yang merupakan warga negara Malaysia ini membela istri mantan bendahara Partai Demokrat M. Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kemenakertrans.
Hasan terbukti menyembunyikan keberadaan kliennya yang sempat kabur dan menjadi buronan itu.
Atas perbuatannya Hasan divonis 7 tahun dan denda 300 juta rupiah subsidair enam bulan kurungan. Putusan itu dijatuhkan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta pada 5 Maret 2013.
Azmi bin Muhammad Yusuf
Azmi yang juga merupakan warga Negara Malaysia ini membela Neneng Sri Wahyuni bersama dengan Hasan dalam kasus yang sama.
Keduanya dianggap menghalang-halangi tindak pidana korupsi dengan menyembunyikan keberadaan Neneng bahkan diduga mengawal Neneng selama pelarian. Azmi turut dijatuhi putusan hukum yang sama dengan Hasan.
Selain itu, Azmi dan Hasan juga kerap disebut sebagai kolega dalam kerajaan bisnis yang dibangun mantan bendahara Partai Demokrat beserta istri.
Baik Hasan maupun Azmi tercatat sebagai rekan bisnis Direktur PT Mahkota Negara, Marisi Matondang yang menjadi saksi dalam kasus dugaan korupsi ini. PT Mahkota Negara memang diketahui terafiliasi dengan Permai Grup milik Nazaruddin.Â
Advertisement
Fredrich Yunadi
Fredrich Yunadi memang kerap menjadi pusat perhatian pemberitaan. Mantan pengacara Setnov ini kerap memberikan pernyataan berlebihan tentang kondisi kliennya. Bahkan Fredrich sempat menjadi trending topic akibat julukan ‘bakpao’ yang ia sematkan untuk luka di dahi Setnov pascakecelakaan.
Pada 10 Januari 2018 Fredrich ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena dianggap melindungi Setya Novanto yang berstatus buron.
KPK mengaku telah mengantongi bukti bahwa Fredrich telah memesan satu lantai RS Medika Permata Hijau sebelum mantan ketum Golkar tersebut alami kecelakaan tunggal.
Fredrich bersama dokter Bimanesh juga dinilai bekerjasama memanipulasi rekam medis Setnov. Proses hukum terhadap Fredrich masih berjalan hingga saat ini.
Bukan Kriminalisasi
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menilai kasus yang menimpa mantan pengacara Setya Novanto, Friedrich Yunadi, bukanlah bentuk kriminalisasi advokat.
Ketua PBHI Julius Ibrani menuturkan, jika mengacu ke Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, imunitas profesi pengacara memang diatur. Namun, putusan MK 26/PUU-XI/2013 menyebutkan, ada istilah "itikad baik" dan "sesuai hukum perundang-undangan".
"Artinya apa, seorang advokat diberikan hak imunitas untuk tidak dapat dipidana atau dituntut secara perdata kalau dia menjalankan tugasnya dengan itikad baik karena berdasarkan hukum dan perundang-undangan. Kalau sebaliknya, dia beritikad buruk atau melanggar peraturan dan perundang-undangan dia dapat dipidana. Dan itu bukan kriminalisasi," ucap Julius di kantor ICW, Jakarta, Minggu (14/1/2018).
Oleh karena itu, dia menilai keyakinan Friedrich Yunadi bahwa KPK melakukan kriminalisasi terhadap profesi advokat, tidak benar. Hal itu jelas berbeda.
"Saya bantah pengacara Friedrich Yunadi, bahwa ini dikatakan sebagai kriminalisasi profesi. Tidak ada satu pun profesi di muka bumi yang kebal hukum," kata Julius.
Advertisement