Liputan6.com, Jakarta - Dua perwira tinggi Polri dikabarkan bakal menjadi pelaksana tugas (Plt) Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Dua perwira tinggi yang dimaksud yakni Asisten Operasi Kapolri Irjen Mochamad Iriawan dan Kadiv Propam Polri Irjen Martuani Sormin. Iriawan disiapkan sebagai Plt Gubernur Jabar, sementara Martuani disiapkan sebagai Plt Gubernur Sumut.
Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali mengatakan bahwa pengangkatan Plt Gubernur atau Wakil Gubenur harus melalui persetujuan presiden yang dituangkan melalui keputusan atau peraturan presiden.
Advertisement
"Tetapi kalau tidak salah ini harus ada kepres. Bukan cuma rekomendasi harus ada kepres atau perpresnya gitu," ujar Zainudin di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat, Kamis 25 Januari 2018.
Kendati menimbulkan kontroversi Zainudin mengatakan bahwa pengangkatan dua perwira tinggi Polri tersebut tidak menyalahi aturan. Kader fraksi Golkar ini menegaskan kedua perwira tinggi Polri itu tak berpolitik.
"Mereka tidak berpolitik tapi menjalankan pemerintahan yang tadinya kosong," tegas Zainudin.
Zainudin berpandangan bahwa pengangkatan dua perwira tinggi Polri ini berkaitan erat dengan isu keamanan pilkada. Pengangkatan ini berkaitan dengan penilaian dari Menteri Dalam Negeri yaitu Tjahjo Kumolo yang memiliki wewenang tersebut.
"Apabila suatu daerah itu dianggap cukup rawan dan potensi kerawanannya tinggi di banding daerah lain (saat Pilkada), maka silakan pak menteri dalam negeri menentukan itu," jelas Zainudin.
Apalagi peristiwa ini pernah terjadi sebelumnya saat Staf Ahli Bidang Ideologi dan Konstitusi Kemenko Polhukam Irjen Carlo Brix Tewu pernah menjabat sebagai Plt Gubernur Sulawesi Barat pada 2016 dan Mayjen TNI (Purn) Soedarmo yang ditugaskan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh.
Namun, dia berharap Mendagri Tjahjo Kumolo maupun jajaran eselonnya mampu menjelaskan pertimbangan yang melandasi keputusan tersebut. Selain mengharapkan peran Bawaslu, Zainudin juga mengajak agar masyarakat maupun media terus mengawasi pelaksanaan tersebut. Menurutnya kedua perwira tinggi polri itu harus dipastikan tidak terlibat konflik kepentingan dan juga objektif dalam melaksanakan tugas barunya.
"Kita sendiri sangat berharap laporan masyarakat menyampaikan kepada kami ke Komisi II dan teman-teman di media memantau terus. Kita anggap aja kita khawatirkan gitu ya," imbuh Zainudin.
Ganggu Demokrasi?
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Demokrat Didik Mukrianto, menyayangkan pengisian jabatan Plt kepala daerah diisi oleh pejabat Polri. Dia menganggap berpotensi mengganggu lahirnya demokrasi yang bersih dan fair.
"Kebijakan ini akan berpotensi bisa mengganggu lahirnya demokrasi yang bersih dan fair karena bisa berimplikasi kepada potensi tidak netralnya aparat dalam mengawal dan menjaga demokrasi," ucap Didik.
Dalam konteks ini, tentu penyelenggara pemilu, aparat negara, birokrasi termasuk aparat penegak hukum khususnya polisi dan kejaksaan menjaga netralitasnya untuk mendorong demokrasi bersih.
"Pelaksanaan pilkada dan demokrasi di daerah sangat potensial tidak bisa berjalan secara demokratis dan fair karena potensi munculnya ketidaknetralan aparat kepolisian dalam menjalankan tugas dan kewenangannya," jelas Didik.
Karena itu, dia meminta, Kapolri dan Mendagri untuk mempertimbangkan, kembali usulan tersebut.
"Meminta kepada kapolri dan mendagri untukmempertimbangkan kembali serta mengevaluasi penempatan pejabat Polri untuk menduduki Plt kepala daerah. Dalam konteks menjaga keamanan dan ketertiban pilkada, Polri seharusnya meminimalisir segala bentuk potensi kekawatiran publik akan netralitas Polri dalam pilkada," pungkas Didik.
Saksikan video di bawah ini:
Advertisement