Sukses

HEADLINE: Kepentingan Politik di Balik Perpecahan Alumni 212?

Sinyal perpecahan gerakan alumni 212 kian menguat jelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.

Liputan6.com, Jakarta - Gerakan alumni 212 bermetamorfosis menjadi tiga kelompok: Presidium Alumni 212, Persaudaraan Gerakan 212, dan Garda 212. Setidaknya itu yang tampak di permukaan. 

Bahkan, Ketua Garda 212, Ansufri Idrus Sambo, mengatakan sudah ada 10 kelompok yang menjadi tempat berhimpun massa alumni 212. Masing-masing merasa berhak menyandang "angka cantik" itu. Malahan, ada yang mengambil sisi berlawanan.

"Media tahunya tiga itu aja karena paling terkenal mungkin anggotanya," kata Sambo saat dihubungi Liputan6.com, Selasa malam, 30 Januari 2018.

Ia menjelaskan, kelompoknya, Garda 212, fokus kepada penyaluran bakat-bakat politik alumni 212 yang akan disalurkan saat Pemilu Legislatif 2019. Sementara, kata dia, ada juga Korps 212 yang tugasnya melakukan aksi demonstrasi. 

Menurut Sambo, boleh saja alumni membuat kelompok masing-masing, asal tak menganggap sebagai satu-satunya yang sah. "Tidak boleh ada orang yang berhak mengklaim dia satu-satunya 212," kata mantan Ketua Tamasya Al-Maidah itu. 

"Klaim satu-satunya terhadap gerakan alumni 212 harus disetujui oleh 7 juta umat yang waktu itu hadir saat 2 Desember 2017 di Lapangan Monas," kata dia. 

Sambo menilai pernyataan Persaudaraan Alumni 212 yang mengklaim sebagai satu-satunya yang sah adalah menunjukkan kesombongan.

 

Sebelumnya, kuasa hukum Persaudaraan Alumni 212, Kapitra Ampera, mengklaim, kelompoknya sebagai satu-satunya yang sah. 

"Kalau ada yang mengatasnamakan Presidium Alumni 212 lagi, itu ilegal. Seluruh pengikut yang lain ilegal," ujar Kapitra kepada Liputan6.com, Rabu (30/1/2018).

Penasihat Persaudaraan Alumni 212, Eggi Sudjana, juga mengklaim hanya kelompoknya yang mendapat restu dari Rizieq Shihab, tokoh yang kini dikabarkan sedang di Arab Saudi. 

Namun, tak semua orang sepakat dengan deklarasi itu. Nama "Persaudaraan Alumni 212" pun digugat. 

Sebanyak 50 orang yang tergabung dalam Presidium Alumni 212 membantah bahwa organisasinya sudah ganti nama. 

"Presidium Alumni 212 tidak pernah memutuskan adanya perubahan nama," kata juru bicara nya, Aminudin, dalam keterangan tertulisnya kepada Liputan6.com.

Namun, meski ada berbagai versi kelompok turunan, ia mengklaim alumni 212 masih solid. "Jangan bilang terpecah," kata dia. 

2 dari 3 halaman

Beda Nama, Beda Kepentingan

Ditilik dari asal-usulnya, Gerakan 212 lahir muncul pada 2 Desember 2016 untuk memprotes Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atas tuduhan penistaan agama. Setelah Ahok lengser dan dipenjara, tujuan mereka pun bercabang. Ada aroma politik di balik itu. 

Juru bicara Presidium Alumni 212, Aminudin, mengaku pihaknya menolak mencampurkan urusan politik dengan persoalan keumatan.

"Saya kira, kami akan menjadikan umat sebagai poros tengah, kekuatan tengah. Jangan lagi dipermainkan partai politik atau kepentingan-kepentingan yang sifatnya jangka pendek," kata Aminudin. 

Senada, kuasa hukum Persaudaraan Alumni 212, Kapitra Ampera, menyarankan agar para ulama dapat melepas keulamaannya bila ingin terjun dalam politik praktis. 

Apalagi, keikutsertaan seorang ulama dalam politik praktis akan menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat.

"Jadi kalau dia mau masuk (politik), tapi lepaskan (keulamaanya), karena risikonya ada. Setiap pilihan ada risiko setiap dia masuk dalam partai politik pasti ada kompetitor ada kelompok yang suka ada kelompok yang tidak suka, untuk itulah jangan menyentuh politik praktis," kata Kapitra di Masjid Raya Al-Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu, 27 Januari 2018. 

"Jangan melakukan gerakan politik praktis. Sulit orang membedakan mana parpol dan mana organisasi masyarakat." Ia menambahkan, alumni 212 hanya bisa berpolitik praktis lewat jalur parpol. 

Sementara, Ketua Garda 212, Ansufri Idrus Sambo, memiliki pandangan berbeda perihal urusan politik.

"Kita tidak bisa pisahkan politik dengan gerakan ulama," jelas Sambo. Bahkan, ia menambahkan, gerakan 212 termasuk gerakan politik.

"Memangnya, 212 kemarin itu bukan gerakan politik? Cuma kan soft politics bukan high atau politik praktis," ucap Sambo. Hanya saja, ia tidak menyetujui apabila gerakan 212 diklaim sebagai partai politik.

Sambo memastikan bahwa Garda 212 tidak terjun ke politik partis. Pihaknya hanya menyalurkan simpatisan 212 yang memiliki bakat di bidang politik. Semuanya melalui proses politik yang sewajarnya.

Sambo mengaku telah mempersiapkan sistem rekruitmen yang akan dilangsungkan mulai Maret nanti.

Sebelumnya, pada Sabtu 13 Januari 2018, di Kawasan Kemang, Sambo mengaku punya jalur kuat dengan petinggi Partai Gerindra, PKS, PAN, dan PBB.

Dia juga menyebut nama Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Menurutnya, mantan Danjen Kopassus itu memiliki tiga syarat bagi alumni 212 yang ingin berpolitik. Salah satunya, setiap calon harus memiliki dana untuk maju kontestasi.

"Pak Prabowo tanya uangnya cukup enggak untuk bertarung, kalau cukup itu bisa. Emang high cost sangat mahal, orang maju pasti harus punya dana. Itu faktanya," ujar dia.

Sambo menambahkan, syarat lainnya adalah kesiapan alumni 212 untuk membantu pemenangan Prabowo dalam Pilpres 2019.

 

3 dari 3 halaman

Ancang-Ancang Pilkada dan Pilpres 2019

Dilihat dari momentumnya, perpecahan  alumni 212 diduga kuat terkait dengan Pilkada 2018 dan Pilpres 2019. 

Pengamat politik Universitas Paramadina Hendro Satrio berpendapat, terpecahnya kubu alumni 212 membuat mereka tidak lagi memiliki tujuan yang sama. 

"Sekarang memang belum terlihat dampaknya (perpecahan alumni 212), kalau Pilpres sudah semakin dekat pasti akan terlihat. Tujuan mereka (menjadi) berbeda-beda," kata Hendro kepada Liputan6.com, Selasa (29/1/2018). 

Ia menduga, sebagian alumni 212 yang mengarah ke politik terinspirasi keberhasilan gerakan dalam Pilkada DKI, ketika mereka menggagalkan kemenangan Ahok dan memberikan peluang pada pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang sebelumnya dianggap "kuda hitam". 

"Mungkin karena di depan mata ada agenda politik Pilkada 2018 dan Pilpres 2019. Mereka terinspirasi oleh kesuksesan di Pilkada DKI Jakarta bisa direproduksi kembali di Pilkada serentak dan pilpres mendatang," kata Hendro. 

Salah satu upaya yang terlihat, yaitu ketika sebagian alumni 212 berupaya mengusung La Nyalla Mattalitti sebagai bakal calon gubernur Jawa Timur.

Namun, upaya itu kandas, karena La Nyalla dianggap tak mampu meraih dukungan dari dua Partai lain, yaitu PAN dan PKS. 

Belakangan, La Nyalla malah membongkar praktik mahar politik oleh Gerindra. Ia mengaku dimintai uang Rp 40 miliar agar mendapat rekomendasi partai itu maju sebagai calon gubernur. 

Hendro pun menilai wajar jika alumni 212 kini terpecah dalam beberapa kelompok.

Pasalnya, 212 merupakan gerakan berbasis massa, dan tidak mempunyai aturan  seperti anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) yang jelas, seperti ormas atau partai politik. 

"Kalau sebuah gerakan yang cair, pasti kalau sudah selesai kegiatannya akan memisahkan diri. Jadi karena agendanya selesai, wajar menurut saya terpecah-pecah. Kalau nanti agendanya ada yang sama ya mereka balik lagi," kata dia.

Sebelumnya, Pimpinan alumni 212, Slamet Maarif membantah mencalonkan La Nyalla. "Kami tidak pernah menunjuk atau merekomendasikan nama siapa pun," kata dia. 

Terseretnya massa alumni 212 dalam politik juga menjadi persoalan yang disoroti oleh Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak.

Menurut dia, awal eksisnya gerakan 212 jauh dari unsur politik. "Warga Muhammadiyah itu banyak dari daerah yang ke Jakarta dan mereka nggak ada kaitannya dengan politik," kata Dahnil di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat.

Ia menyebut masalah mulai terjadi saat 212 diseret pada kepentingan politik. Karena itu, dia meminta agar upaya politisasi dihentikan.

"Ketika dibelokkan menjadi kepentingan politik, melalui alumni-alumnian itu, ini menjadi masalah. Itu justru buat umat terpecah. Saran saya, setop politisasi keikhlasan umat melalui pelembagaan 212, segala macam. Itu yang kami nggak sepakat," ujar Dahnil.

Â