Liputan6.com, Jakarta Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai, Pasal 245 UU MD3 membuat DPR menjadi lembaga super power.
Pasalnya, UU MD3 tersebut menyatakan bahwa pemanggilan anggota DPR harus dipertimbangkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terlebih dahulu, sebelum dilimpahkan kepada presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum.
Baca Juga
"Konsekuensinya secara ketatanegaraan dia akan bahaya dia akan jadi super power, kontrol terhadap lembaga lain akan semakin kuat," kaya Isnur dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan, Selasa (13/2/2018).
Advertisement
Menurut dia, dengan adanya UU tersebut menghambat proses penegakan hukum kepada anggota dewan. Terlebih, terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Sebab, KPK harus mengantongi izin Presiden serta MKD, jika ingin memeriksa anggota DPR. Di sisi lain, Isnur mengatakan bahwa saat ini banyak anggota DPR yang tengah berurusan dengan komisi antirasuah itu.
"KPK dalam upaya-upaya pemberantasan korupsinya akan terganggu juga ketika dia memanggil anggota dewan misalnya dihalang-halangi, dihambat-hambat. Karena harus melalui persetujuan dari MKD dulu," ucapnya.
Isnur mengaku terkejut atas pengesahan Revisi Undang-Undang mengenai MPR, DPR, DPD dan DPRD atau MD3. Dia menuturkan bahwa Pasal 245 UU MD3 tersebut sebelumnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Hukum kan harus dihormati. Putusan MK yang membatalkan pasal tersebut kemudian DPR ini membuat yang baru. Dalam konteks hukum akan terjadi chaos, orang menjadi tidak menghormati hukum, kalau anggota dewannya seperti ini, bagaimana masyarakat," tutur Isnur.
Â
MKD: Tak Usah Diperdebatkan
Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, Pasal 245 Undang-Undang MD3 tentang Hak Imunitas anggota dewan itu lebih fokus pada pidana umum. Sebab beberapa anggota DPR rentan diskriminalisasi.
"Sudah beberapa contoh misalnya anggota DPR diproses Polres karena laporan-laporan," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (13/2/2018).
Menurut dia, anggota dewan itu dapat meminta kepada MKD bila merasa dirugikan soal laporan itu. Politikus Gerindra menyebut tidak semua laporan ke anggota DPR sepenuhnya murni.
Sebab, lanjut dia, ada pula laporan itu yang bertujuan untuk mengkriminalisasi. Laporan itu pun pernah dia temui.
"Kalau dia merasa dirugikan bisa minta ke MKD untuk mengkaji apakah benar atau tidak. Ada anggota DPR tiba-tiba dipanggil Polres padahal permasalahan khususnya belum jelas," paparnya.
Sedangkan, menurut Wakil Ketua MKD Sarifuddin Sudding, Pasal 245 sudah jelas dan tidak perlu untuk diperdebatkan. Dalam pasal itu sudah jelas MKD bisa memberikan pertimbangan kepada presiden.
"MKD bisa memberi pertimbangan pada presiden ketika misalnya diminta oleh institusi penegak hukum untuk mendapatkan persetujuan atau ijin pemeriksaan," kata Sudding.
Bunyi pasal 245 dalam UU MD3:
- ayat 1: Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD
- ayat 2: persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud ayat 1 tidak berlaku apabila anggota DPR (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana (b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau (c) disangka melakukan tindak pidana khusus
Â
Advertisement
Ketua DPR Angkat Bicara
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo angkat bicara. Menurut dia, Pasal 245 UU MD3 terkait hak imunitas anggota DPR ini tidak perlu dipersoalkan.
Sebab, klausul penyidikan oleh penegak hukum terhadap anggota DPR perlu izin tertulis Presiden dan persetujuan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) itu bukan berarti kebal hukum.
"Saya balik bertanya, mempertimbangkan itu suatu keharusan bukan? Untuk menggagalkan suatu pemeriksaan? Enggak kan? Artinya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kata mempertimbangkan itu adalah masukan bisa dipakai bisa tidak," ujar pria yang karib disapa Bamsoet ini di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Senin 12 Februari 2018.