Liputan6.com, Jakarta - Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono menegaskan, putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 terkait Hak Angket DPR tidak bertentangan dengan UUD 1945 atau putusan-putusan sebelumnya. Otomatis, MK pun menolak permohonan uji materi dari sang pemohon.
"Pada pokoknya, menolak permohonan pemohon menyangkut inkonstitusionalitas Pasal 79 ayat (3) UU MD3, khususnya frasa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah," tegas Fajar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (15/2/2018).
Dia menjelaskan, putusan tersebut diambil MK berdasarkan 3 aspek pokok yang mendasarinya. Aspek pertama, KPK diposisikan oleh MK masuk ke ranah kekuasaan eksekutif. Dikarenakan KPK menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam tidak pidana korupsi. Namun, sifatnya tetap independen.
Advertisement
"Aspek kedua, karena KPK berada di ranah kekuasaan eksekutif, maka KPK dapat menjadi obyek penggunaan Hak Angket DPR yang melaksanaan fungsi pengawasan," ujar Fajar.
Kewenangan KPK juga dianggap sama dengan yang dimiliki kepolisian dan/atau kejaksaan. Hak Angket DPR pun, kata dia, hanya terbatas pada lingkup kekuasaan eksekutif.
Sementara untuk kekuasaan yudikatif ialah kewenangan Pengadilan Tipikor yang mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi.
"Dari penjelasan di atas, tidak terdapat dasar dan alasan untuk menyebut adanya pertentangan antara Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 dengan putusan Mahkamah sebelumnya," ucap Fajar.
Meskipun begitu, dia menegaskan bahwa penggunaan Hak Angket DPR tidak dapat diterapkan dalam semua proses kerja KPK, yang mana hal ini termasuk dalam aspek ketiga.
"Yang tidak bisa dikenakan ke KPK dari hak angket adalah dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan," tegas Fajar.
Sebab, kata dia, independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan manapun termasuk dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Klarifikasi dari MK
Berdasarkan aspek-aspek pertimbangan di atas, Fajar menyampaikan, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3. Maka, amar putusan pun menyatakan menolak. Bahkan, kata dia, putusan itu justru semakin memperkuat konstitusionalitasnya sebagai dasar hukum bertindak bagi DPR.
"Oleh sebab itu, sama sekali tidak relevan memperdebatkan soal keberlakuan putusan," katanya.
Klarifikasi ini dilakukan oleh MK untuk memperjelas pemahaman terhadap putusan yang dimaksud, agar pemahaman yang berkembang di tengah masyarakat tidak mengaburkan, membingungkan, bahkan bertentangan dengan esensi dan semangat dari putusan tersebut.
"Tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, untuk itu MK perlu menyampaikan pernyataan agar substansi putusan terjaga sesuai dengan esensi dan semangatnya," pungkas Fajar.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement