Sukses

Warga Wamena Masih Trauma

Sedikitnya 30 orang termasuk wanita dan anak-anak tewas dan 45 orang lainnya luka-luka. Hal itulah yang menyebabkan warga Wamena mencemaskan keselamatan diri mereka.

Liputan6.com, Wamena: Kerusuhan yang terjadi di Wamena, Irianjaya, awal Oktober silam, masih menyisakan masalah di antara penduduk asli dan penduduk pendatang hingga sekarang. Masyarakat multi suku yang sebelumnya hidup secara harmonis di Lembah Baliem itu sejak berpuluh tahun silam, kini amat mencemaskan keselamatan diri mereka. Sebab, keharmonisan dan ketenteraman kota kecil berpenduduk 500 ribu jiwa itu sirna secara mendadak pada siang hari, 6 Oktober silam. Saat itu, sedikitnya 30 orang termasuk wanita dan anak-anak tewas menjadi korban huru-hara. Sekitar 45 orang lainnya juga mengalami luka-luka lantaran tikaman beragam senjata tajam para perusuh.

Boleh jadi, insiden itu terjadi akibat kebijakan politik pemerintah pusat yang tidak konsisten. Namun, yang jelas, insiden berdarah itu dipicu oleh tindakan kepolisian yang hendak menurunkan bendera Bintang Kejora. Bendera yang menjadi simbol budaya namun telah disalah artikan sebagai bendera politik oleh Presidium Dewan Papua. Pola pikir seperti itu pula yang mereka tanamkan kepada warga asli Kabupaten Jayawijaya. Kesederhanaan dan rendahnya pengetahuan warga juga mereka pergunakan untuk menghentikan penurunan bendera yang hendak dilakukan Kepolisian.

Namun, di tengah-tengah kegalauan itu, ada para pendatang yang mengadu nasib di Wamena. Kebanyakan dari korban tinggal di Desa Woma, sebuah desa kecil di pinggir sungai. Di desa itu, para pendatang banyak berkumpul, berdagang, dan terperankap menjadi sasaran pembantaian para perusuh. Desa yang semula ramai itu kini hanya menyisakan puing-puing, abu, serta rasa trauma di kalangan warga yang masih ada. Prawito, seorang guru di Woma tetap merelakan keluarganya mengungsi ke Lembaga Pemasyarakatan setempat untuk mencari perlindungan.

Kendati demikian, tragedi itu tak mengurangi semangat mereka untuk tetap mencari peruntungan jauh dari kampung halaman. Murhidayati, seorang warga Woma yang menjadi penjual jamu menuturkan bahwa ia dan keluarganya akan tetap bertahan. Mereka tetap merasa yakin warga desa masih bersahabat sebagaimana sebelumnya.(HFS/Arief Suditomo dan Yoppie Jacob)
    EnamPlus