Sukses

Cerita Kampung China di Kotatua Jakarta

Pemerintah Hindia Belanda memfungsikan kawasan Kotatua sebagai pusat pemerintahan, permukiman, dan perniagaan.

Liputan6.com, Jakarta Jika selama ini Anda hanya mengenal kawasan Kotatua Jakarta mencakup bangunan Museum Fatahillah dan museum-museum lainnya yang ada di kawasan tersebut, bersiaplah untuk kaget. Kenyataannya, pada masa kolonial Belanda wilayah Kotatua mencakup kawasan Tambora, Pintu Kecil (Asemka), hingga Pasar Ikan.

Hal ini diperkuat keterangan Candrian Attahiyat, arkeolog yang tergabung dalam Tim Ahli Cagar Budaya Kotatua. Dia mengatakan, sejak lama Pemerintah Hindia Belanda memfungsikan kawasan Kotatua sebagai pusat pemerintahan, permukiman, dan perniagaan yang tentu saja wilayahnya tidak sekadar bangunan museum seperti yang ada sekarang.

"Jadi semua kegiatan penting bisa dipantau sama pemerintah Belanda," kata Candrian, saat berbincang dengan Liputan6.com, Senin (19/2/2018).

Bangunan-bangunan bekas perdagangan dan perniagaan yang ada di kawasan Kotatua saat ini dikelola PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), berdasarkan keputusan pemerintah tertanggal 31 Maret 2003 yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2003.

PT PPI sendiri adalah perusahaan yang mengelola ekspor, impor, hingga distribusi di bawah kendali BUMN. PPI didirikan dari gabungan tiga perusahaan niaga (PT Tjipta Niaga (Persero), PT Dharma Niaga (Persero), dan PT Pantja Niaga (Persero).

 

 

Saat ini, beberapa bangunan bekas kantor dagang dan perniagaan masa kolonial digunakan sebagai perkantoran di kawasan Kotatua. Contohnya bangunan arsip Bank Pacific, Toko Merah, dan bangunan Kerta Niaga yang baru selesai direnovasi tahun 2017.

"Sisanya dibiarkan kosong," kata Candrian.

Sementara bangunan-bangunan yang dipakai sebagai tempat tinggal sekarang dimiliki individu. Bahkan, beberapa bangunan tidak diketahui siapa pemiliknya. Mereka difungsikan sebagai sebagai tempat tinggal, ruko.

"Dan sebagian lagi dibiarkan terbengkalai hingga hampir runtuh," ujar Candrian.

Di kawasan Kecamatan Tambora, tepatnya di Jalan Kopi, Jalan Tiang Bendera I-IV, dan Jalan Malaka 2 terdapat bangunan-bangunan rumah deret berlanggam China dengan ciri atap bangunannya yang khas.

Ciri tersebut berupa bentuk bangunan serta ukurannya yang sama dan terdiri dari dua bangunan atau lebih. Ciri lainnya adalah adanya bagian bubungan atap, nok, dan sopi-sopi yang ada di atapnya. Rumah-rumah deret yang ada di kawasan Tambora merupakan bangunan yang dibangun kembali setelah adanya pemberontakan tahun 1740.

Dampak dari pemberontakan ini hilangnya nyawa masyarakat peranakan dan hancurnya pemukiman Tionghoa yang saat ini masuk ke dalam wilayah Tambora. Orang-orang Tionghoa yang masih hidup diusir dan dipindahkan ke wilayah yang saat ini disebut daerah Pinangsia.

"Baru kemudian setelah pemerintahan Daendels dan rubuhnya tembok yang mengelilingi Kota Batavia, perlahan mulai dibangun kembali permukiman China berupa rumah-rumah deret yang saat ini berada di kawasan Tambora, meliputi Jalan Kopi, Jalan Roa Malaka, dan Jalan Tiang Bendera I-IV," jelas Candrian.

 

Sayangnya saat ini bangunan-bangunan rumah deret bergaya China di kawasan Tambora tersebut sebagian besar dalam kondisi kurang terawat, bahkan ada bangunan yang hampir runtuh.

Penyebabnya status kepemilikan bangunan yang dimiliki perseorangan, hingga bangunan dibiarkan terbengkalai, beberapa bangunan yang sudah direnovasi justru mengubah bentuk asli bangunan. (Liputan6.com/Lady Nuzulul Barkah Farisco)

Video Terkini