Liputan6.com, Jakarta Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional pada hari ini, 21 Februari 2018, mengingatkan akan pentingnya bahasa pertama sebagai dasar seorang anak memperoleh kecakapan bahasa di awal hidupnya. Isu yang juga penting pada peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional ini adalah ancaman kepunahan bahasa daerah dan revitalitasi bahasa daerah di Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
Untuk menjaga tugas dan fungsi pokoknya, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia mempunyai berbagai balai bahasa di daerah. Salah satu tugas balai bahasa ini, sesuai moto Badan Bahasa, adalah melestarikan bahasa daerah. Namun yang menarik, ternyata di Ibu Kota sendiri tak ada Balai Bahasa Betawi. Hal ini pernah disinggung oleh Ivan Lanin, peneroka bahasa Indonesia, dalam sebuah diskusi soal bahasa Betawi di Bentara Budaya Jakarta pada Jumat, 8 Desember 2017.
"Tiap provinsi punya balai bahasa, misalnya Balai Bahasa Jawa Barat mengurusi bahasa Sunda, atau Balai Bahasa Jawa Timur. Tapi kenapa di Jakarta tidak ada?" ujarnya.
Ia berpendapat, barangkali tugas itu dibebankan kepada Badan Bahasa sebagai pusat yang berlokasi di Ibu Kota. “Kenyataannya kan Badan Bahasa tidak melakukan itu, jadi saya kira Balai Bahasa Betawi itu penting,” ujarnya.
Menariknya, bahasa Betawi ternyata telah berkembang penggunaannya hingga melewati batas-batas geografis Kota Jakarta. Bahasa Betawi juga dipakai sebagai bahasa ibu di Depok, Gunungputri, Bogor, hingga Bekasi.
Sejak lama orang-orang Betawi memang telah bermukim di wilayah yang berbatasan dengan DKI Jakarta. Namun, faktor lainnya adalah perpindahan orang-orang Betawi ke wilayah sekitar Ibu Kota, salah satunya karena kalah dengan derasnya laju pembangunan sejak 1970-an.
Dialek dalam bahasa Betawi
Sebenarnya sudah ada Kamus Dialek Jakarta yang mencatat kosakata yang hidup di masyarakat Betawi-Jakarta. Kamus ini disusun oleh Abdul Chaer, peneliti bahasa dan budaya Betawi, pada 1976 dan cetak ulang oleh Masup Jakarta pada 2009.
Dalam bukunya, Abdul Chaer menyatakan ada perbedaan subdialek (logat) di antara penutur bahasa Betawi itu sendiri. Chaer mencatat antara lain ada subdialek Mester, di daerah Jatinegara, Kampung Melayu, dan daerah sekitarnya; subdialek Tanah Abang, Petamburan, dan daerah sekitarnya; subdialek Karet di Karet, Senayan, Kuningan, Menteng, dan daerah sekitarnya; subdialek Kebayoran di Kebayoran Lama, Pasar Rebo, Bekasi, dan daerah pinggiran Jakarta lainnya.
Misalnya, ucap Chaer, “Orang Tanah Abang menyebut rume, orang Jatinegara menyebut rumè, orang Karet menyebut ruma, dan orang Kebayoran menyebut rumah.”
Perbedaan subdialek ini menjadi penting untuk menandakan betapa luas dan beragamannya bahasa Betawi. Bahkan, kini sudah ada Kamus Bahasa Betawi Bekasi yang disusun oleh Abdul Khoir, Moh. Guntur Elmogas, Muhtadi Muhtar, dan Bambang Widyatmoko.
Mengingat semakin berkembang dan meluasnya penggunaan bahasa Betawi, Yahya Andi Saputra, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Jakarta, menegaskan perlunya Kamus Dialek Jakarta diperbarui dan dikoreksi.
“Saya kira misalnya kalau dalang-dalang Betawi ngomong itu kan keluar semua istilah-istilahnya, itu bisa dicatat untuk dimasukkan. Begitu juga istilah-istilah soal pindah rumah, dulu waktu Pak Samin yang tanahnya disewa oleh pengelola Setu Babakan masih hidup kan dia hapal semuanya dan saya sudah pernah catat itu,” ucap Yahya kepada Liputan6.com, Selasa, 20 Februari 2018.
Advertisement
Bahasa Betawi subdialek Bekasi
Abdul Khoir, peneliti budaya Bekasi, dalam diskusi bertajuk "Orang Betawi dan Bahasa" yang diadakan oleh Komunitas Betawi Kita di Bekasi pada 28 Januari 2018 mengatakan, “Khusus di daerah Bekasi, dalam banyak segi dialek Melayu yang digunakan memiliki kemiripan dengan bahasa Melayu yang digunakan di daerah Jakarta.”
Menurut dia, gejala ini bisa dijelaskan dari beberapa sisi. Di antaranya karena secara geografis letak Bekasi berdekatan dengan Jakarta. Selain itu, secara historis ikatan kultural antara kedua daerah ini sangat erat. Bahkan dalam konteks sejarah administratif pemerintahan, Bekasi pernah menjadi bagian dari Jakarta.
Namun, rupanya di Bekasi, muatan lokal bahasa yang diajarkan di sekolah adalah bahasa Sunda. Hal ini dikatakan Abdul Khoir yang mengaku, secara struktural peniadaan budaya lokal Bekasi, termasuk dialek, seni tradisional dan sejarah perjuangan Bekasi tidak diajarkan di sekolah, melainkan bahasa Sunda sebagai muatan lokal.
Dia mengatakan, “Ditambah dengan kondisi urbanisasi yang masif terjadi, pasti akan mencerabut masyarakat Bekasi dari akar budayanya.”
Berkembangnya kebudayaan Betawi di Bekasi memang bukan isapan jempol. Berdasarkan data dan pemetaan yang dilakukan Balai Bahasa Jawa Barat, sebagian besar wilayah di Kabupaten Bekasi yang berbahasa Sunda kini mulai terdesak oleh bahasa Betawi. Hal ini pun diamini Abdul Khoir yang mengharapkan karya sastra khas Bekasi bisa diapresiasi.
“Dengan diapresiasinya hasil karya kesusastraan secara umum, baik berupa kamus dialek Bekasi, pantun Bekasi, cerita rakyat Bekasi, puisi, peribahasa, mantra serta jampe-jampe khas Bekasi, mengisyaratkan adanya harapan untuk menjadikan budaya lokal Bekasi dapat bertahan dan berkembang,” ujarnya menegaskan.
Kosakata Khas Bekasi
Jadi, apa saja kosakata Bahasa Melayu subdialek Bekasi? Ini daftarnya, ada yang kamu tahu?
1. Payus
2. Senggenep
3. Mbletar
4. Debeg
5. Nyroto
6. Mbrambang
7. Uleng
8. Kebual
9. Negor nikah
10. Nerik
Advertisement
Ungkapan dan Istilah Khas Bekasi
1. Kantong Menyan
Istilah lain untuk menyebut kantong biji kemaluan laki-laki.
2. Cemberongan
Istilah yang ditujukan pada muka seseorang yang kotor karena habis membersihkan kompor minyak tanah atau membersihkan sawang di langit-langit rumah. Istilah ini pun bisa juga digunakan untuk muka yang di makeup, tapi tidak rapi atau berantakan.
3. Ayeng-Ayengan
Istilah yang ditujukan pada perilaku seseorang yang sedang dirundung masalah, tapi tetap berusaha ingin menyelesaikannya.
4. Gegembung Setan
Ungkapan buruk bagi prilaku seseorang yang makannya banyak (bahkan dikatakan kerjaannya hanya makan melulu) terkesan tidak kenyang-kenyang. Gegembung adalah perut, serakah adalah sifat setan. Maka orang yang makannya banyak dan tidak kenyang-kenyang alias serakah dibilang Gegembung Setan.
“Dasar Gegembung Setan, abis dah nasi dimakan lu doang”.
5. Sekarep Dewek
Ungkapan untuk menyatakan sikap seseorang yang merasa menang sendiri, serakah dan menganggap orang lain tidak ada artinya.
“Ya udah kalo luh kaga mao dialokin, terserah-lah...sekarep dewek."
6. Lindung Bebulu
(Lindung atau belut; sejenis binatang yang hidup di lumpur dengan kulit licin). Ungkapan untuk meyakinkan seseorang bahwa keinginannya (cita-cita) tidak akan pernah berhasil atau mustahil terjadi karena jelas-jelas bertentangan dengan akal pikiran.
Misalnya. Keinginan seseorang untuk menjadi kaya raya, tetapi tidak mau berusaha atau bekerja.
“Ampe lindung bebulu ge kaga bakalan bisa kaya kalo cumen ngejedog doang di bale”. Sampai lindung berbulu juga tidak akan mungkin bisa kaya kalau cuma berdiam saja di bale.
7. Angot-Angotan
Perilaku seseorang yang sesekali suka muncul lagi di lain waktu.
Misalnya, “Laki luh mah biasa suka angot-angotan, ntar juga diem dewek."
Suami kamu mah biasa suka kambuhan nanti juga diam sendiri.