Liputan6.com, Jakarta - Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa mantan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Rita Widyasari menerima gratifikasi Rp 469.465.440.000 dari para pemohon perizinan dan para rekanan proyek pada dinas-dinas Pemda Kukar serta Lauw Juanda Lesmana.
"Mendakwa Rita telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya," ujar jaksa KPK di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (21/2/2018).
Menurut jaksa, Rita melakukan hal tersebut bersama-sama dengan Komisaris PT Media Bangun Bersama (MBB) Khairudin. Penerimaan tersebut dalam periode masa kepemimpinan Rita sebagai bupati dua periode, 2010-2015 dan 2016-2021.
Advertisement
Rincian penerimaan gratifikasi oleh Bupati Kukar dan Khairudin yakni Rp 2.530.000.000 dari para pemohon terkait penerbitan SKKL dan Izin Lingkungan pada Badan Lingkungan Hidup Daerah Pemkab Kukar melalui Ibrahim dan Suroto.
Uang tersebut sebelumnya dikumpulkan oleh Kepala Sub Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Bidang Pengendalian Dampak Kegiatan Ekonomi pada Badan Lingkungan Hidup Daerah Pemkab Kukar.
Keduanya juga menerima sejumlah Rp 220 juta terkait penerbitan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pada Badan Lingkungan Hidup Daerah Pemkab Kukar.
Â
Penerimaan Uang
Kemudian sejumlah Rp 49,5 miliar terkait proyek pembangunan SMA Negeri Unggulan 3 Tenggarong, proyek lanjutan Seminasi Kota Bangun-Liang Ilir, Proyek Kembang Janggut Keleket, Proyek Irigasi Jonggon Kukar, dan pembangunan Royal World Plaza Tenggarong.
"Keduanya juga menerima sebesar Rp 285.284.000.000 secara bertahap pada Tahun 2011 terkait proyek di Dinas Pekerjaan Umum Pemkab Kukar. Kurang lebih sebanyak 867 proyek," kata dia.
Keduanya juga menerima uang sebesar Rp 7.061.000.000,00 secara bertahap sejak tahun 2010 sampai dengan 2016 dari rekanan pelaksana proyek-proyek pada Dinas Perkebunan dan Kehutanan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Kemudian Rp 25.457.000.000,00 secara bertahap sejak tahun 2012 sampai dengan 2016 dari rekanan pelaksana proyek-proyek pada Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Pemerintah Kabupaten Kukar.
Penerimaan uang sebesar Rp 3.294.000.000,00 secara bertahap pada tahun 2016 dari rekanan pelaksana proyek-proyek pada RSUD Dayaku Raja Kota Bangun Kabupaten Kutai Kartanegara.
Penerimaan uang sebesar Rp 967.000.000,00 secara bertahap sejak tahun 2012 sampai dengan 2013 dari rekanan pelaksana proyek-proyek pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Kutai Kartanegara.
Penerimaan uang sebesar Rp 343.000.000,00 secara bertahap sejak tahun 2014 sampai dengan 2016 dari rekanan pelaksana proyek-proyek pada Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Kutai Kartanegara melalui Junaidi.
Penerimaan uang sebesar Rp 303.000.000,00 secara bertahap pada tahun 2017 dari rekanan pelaksana proyek-proyek pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kutai Kartanegara melalui Junaidi.
Penerimaan uang sebesar Rp 7.165.000.000,00 secara bertahap sejak tahun 2013 sampai dengan 2016 dari rekanan pelaksana proyek-proyek pada Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Kartanegara melalui Junaidi.
Penerimaan uang sebesar Rp 67.393.000.000,00 secara bertahap sejak tahun 2012 sampai dengan 2016 dari rekanan pelaksana proyek-proyek pada Dinas Pendidikan Kabupaten Kutai Kartanegara.
Perbuatan Rita tersebut melanggar Pasal 12 B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Advertisement
Didakwa Terima Suap
Selain gratifikasi, Rita juga didakwa telah menerima suap Rp 6 miliar terkait pemberian izin lokasi perkebunan kelapa sawit. Uang tersebut dia terima dari Direktur Utama PT Sawit Golden Prima Hery Susanto Gun.
Penerimaan suap terhadap Rita dilakukan selama dua tahap, yakni tanggal 22 Juli 2010 sebesar Rp 1 miliar, kedua pada tanggal 5 Agustus 2010 sebesar Rp 5 miliar.
"Terdakwa menerima uang tersebut melalui rekening Bank Mandiri selama dua tahap," kata jaksa KPK.
Atas suap yang diterimanya, Rita didakwa melanggar Pasal 12 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.