Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menyarankan DPR tidak membungkam kritik lewat instrumen UU MD3. Dia menyarankan siapapun untuk membedakan DPR sebagai institusi dan anggota parlemen sebagai individu. Institusi tidak memiliki perasaan sementara anggota memiliki perasaan sebagai manusia.
"Jabatan Ketua DPR itu institusi, kalau Bambang Soesatyo itu individu. Yang punya perasaan Bamsoet, kalau dia merasa dikritik dan tidak menerimanya maka mengadulah ke polisi, begitu caranya, bukan dengan undang-undang antikritik" kata dia di Jakarta, Rabu (21/2/2018).
Dengan kata lain, Jimly menyoroti DPR yang seharusnya tidak menghidupkan pasal-pasal yang membungkam kritik rakyat lewat revisi UU MD3. Sebaiknya, jika personal merasa dirugikan dengan kritik bisa melaporkannya kepada penegak hukum.
Advertisement
Jimly yang pernah menjadi pejabat negara di MK mengatakan mendapat kritik merupakan hal yang biasa. Semakin tinggi jabatan seseorang maka semakin rentan terkena kritik.
"Kita harus siap jangan hanya menikmati hak sebagai pejabat tinggi. Tapi risiko kritik itu ada. Kritik itu kerap sifatnya emosional. Mana ada orang yang budaya kritiknya feodal menggunakan kata yang sopan santun," kata dia seperti dilansir dari Antara.
Masalahnya, lanjut dia, lewat revisi UU MD3 yang telah disetujui DPR dapat menyeret siapa saja yang melancarkan kritik dianggap melakukan penghinaan. Jika seperti itu maka undang-undang itu dapat menjadi pasal karet yang bisa menyeret kritik siapa saja sebagai bentuk penghinaan.
Â
Masa Penjajahan Belanda
Jimly mengatakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia merupakan warisan pemerintahan Belanda. Saat itu, di dalam KUHP terdapat undang-undang yang melarang penghinaan terhadap pemerintah. Perlahan pasal itu dihilangkan di zaman Indonesia kini agar tidak membungkam kritik di negara demokrasi.
Jika pasal penuntutan penghinaan kembali dihidupkan, kata dia, maka Indonesia seperti kembali pada masa KUHP dibuat yaitu di masa penjajahan Belanda pada 1 Januari 1918. KUHP saat itu digunakan Belanda untuk meredam suara rakyat Indonesia yang dijajah.
"Karena itu pasal penghinaan presiden itu sudah kita hapus. Di negara Eropa ada pasal soal itu tapi seabad tidak dipraktikkan. Maka sekarang kita bangun peradaban besar Indonesia agar bisa membedakan perasan pribadi dengan sikap institusi. Institusi tidak ada perasaan," kata dia.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement