Sukses

Adik dan Kakak Angkat Hadiri Sidang PK Ahok

Sidang PK Ahok digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin (26/2/2018).

Liputan6.com, Jakarta - Sidang PK Ahok digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin (26/2/2018). Pada sidang perdana peninjauan kembali kasus penistaan agama itu, adik Ahok, Fifi Lety Indra, hadir sebagai pengacaranya.

Kakak angkat Ahok, Nana Riwayatie, pun turut hadir dalam sidang tersebut.

Fifi mengatakan, pada sidang PK Ahok kali ini, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut tidak bisa hadir dan itu diperbolehkan oleh hukum. 

"Ya sidang hari ini, Ahok tidak bisa hadir. Tapi kita doakan saja. Secara hukum memang membolehkan," kata Fifi, Jakarta, Senin.

Dia mengaku telah menyiapkan sejumlah bukti jelang sidang PK Ahok. Bukti-bukti itu telah dirangkum dalam memori peninjauan kembali.

"Ini (menunjukkan sebundel kliping) yang saya bawa memori Peninjauan Kembali," ujar Fifi.

2 dari 2 halaman

Kilas Balik

Kasus ini bermula ketika Ahok menyebut Surat Al Maidah Ayat 51 di hadapan warga Kepulauan Seribu pada 30 September 2016. Ahok dituduh menistakan agama. Pembicaraan Ahok itu kemudian tersebar luas di media sosial.

Habib Novel Chaidir Hasan melaporkan Ahok kepada kepolisian pada 7 Oktober 2016. Laporan Polisi Nomor LP/1010/X/2016 Bareskrim itu berisi laporan penghinaan agama. Ahok diduga telah melakukan tindak pidana penghinaan agama melalui media elektronik di YouTube.

Di tengah proses laporan itu, demonstrasi dan desakan dari masyarakat bermunculan di berbagai wilayah. Puncaknya terjadi di Jakarta pada 4 November 2016. Aksi besar-besaran itu membuat Ahok ditolak saat kampanye Pilkada DKI 2017 di sejumlah wilayah Jakarta.

Sebagian masyarakat menuntut polisi agar segera memproses perkara Ahok dengan tuduhan penistaan agama. Ahok pun berkali-kali bersedia menjalani pemeriksaan di kepolisian. Dia juga berusaha meminta maaf kepada masyarakat secara terbuka.

Akan tetapi, gerakan massa kian masif sehingga kepolisian menganggap hal itu sebagai gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Presiden Joko Widodo pun turun tangan. Ia menginstruksikan kepada Kapolri untuk segera memproses kasus Ahok dengan cara terbuka dan transparan.

Sebelas hari setelah aksi besar pada November 2016, polisi melakukan gelar perkara di Mabes Polri secara terbuka tetapi terbatas. Awalnya, gelar perkara itu terbuka untuk umum, tapi pada pukul 09.00 WIB tertutup hingga pukul 18.00 WIB.

Pada gelar perkara itu, kedua belah pihak, baik pihak yang melapor ataupun pihak terlapor diundang. Dari pelapor, hadir sejumlah ahli, termasuk di antaranya pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, yang lantang dan terus -enerus memimpin aksi massa besar-besaran.

Kompolnas dan Ombudsman juga hadir dalam gelar perkara itu. Namun, Ahok tak hadir dan diwakili penasihat hukumnya, Sirra Prayuna, serta sejumlah pengacara dan ahli. Ahli dari pihak Ahok bahkan datang dari luar kota.

Persidangan perdana Ahok berlangsung pada 13 Desember 2016 yang digelar di bekas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Pengamanan superketat pun dilakukan demi menjaga keamanan sidang.

Sidang perdana itu beragendakan pembacaan dakwaan Ahok. Ahok didakwa dengan dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP karena diduga menodakan agama. Dakwaan itu ditanggapi kubu Ahok dengan nota keberatan atau eksepsi.

Pada sidang ke-19, Kamis, 20 April 2017, JPU menuntut Ahok bersalah. Atas nama hukum, jaksa meminta majelis hakim menghukum Ahok 1 tahun penjara dengan masa percobaan selama 2 tahun.

Majelis kemudian menghukum Ahok 2 tahun penjara. Ahok dinyatakan terbukti bersalah melakukan penodaan agama karena pernyataan soal Surat Al Maidah 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

"Menyatakan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan penodaan agama," kata hakim ketua Dwiarso Budi Santiarto, Selasa 9 Mei 2017.