Sukses

HEADLINE: Anak-Anak Bisa Menjelma Jadi Pelaku Kejahatan, Solusinya?

Kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur kembali terjadi. Yang lebih miris, pelakunya juga dari kalangan bocah.

Liputan6.com, Jakarta - Sudah jadi pengetahuan umum bahwa anak-anak rentan menjadi korban kejahatan seksual. Namun, sulit dibayangkan jika pelakunya adalah para bocah. 

Seperti yang dialami DS, bocah perempuan berusia 8 tahun. Pada Selasa 27 Februari 2018, saat sedang bermain, kejadian traumatis ia alami. 

DS diduga menjadi korban kejahatan seksual yang dilakukan oleh enam orang yang merupakan anak di bawah umur, yang usianya enam hingga 11 tahun. Terduga pelaku berinisial V (8), VK (6), W (10), R (11), G (6), dan R (9).

Kasus kejahatan seksual tersebut terkuak setelah keluarga korban melapor ke kepolisian setempat. Kasus tersebut kini tengah ditangani oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Bogor.

"Ya kasusnya memang ada dan sedang didalami," kata Kabid Humas Polda Jabar Kombes Hari Suprapto, membenarkan kejadian tersebut, saat dihubungi pada Rabu 28 Februari 2018.

Menurut Hari, penyelidikan kasus kejahatan seksual tersebut harus dilakukan dengan hati-hati. Alasannya, menyangkut anak-anak di bawah umu, korban maupun para terduga pelaku.

Kabar tersebut bikin masyarakat shock sekaligus miris. Kok bisa, anak-anak melakukan kejahatan seperti itu?

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menilai, hal itu tidak bisa dianggap enteng. Ia menduga, kejahatan tersebut adalah dampak tayangan pornografi yang kini mudah diakses lewat gawai. 

Aris mengungkapkan, tindakan pelaku yang berjumlah enam orang itu termasuk dalam kejahatan secara bergerombol. Menurutnya, dalam rentang usia itu, 6-11 tahun, pelaku tak mungkin melakukan tindakan asusila itu secara sendiri.

"Saya belum ketemu pelaku. Namun biasanya, kejahatan seksual anak-anak tidak dilakukan sendiri, mereka bersama-sama," ujar Arist saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Rabu sore (28/2/2018).

Untuk mencegah hal tersebut terulang kembali, Arist meminta pemerintah setempat membangun program perlindungan anak berbasis kampung. Semua elemen, terlebih orangtua, dituntut lebih berperan dalam mengawasi perkembangan anak-anaknya.

"Rumpin (tempat kejadian perkara) ini kan termasuk daerah pedesaan. Dan ternyata di desa menyimpan bibit kejahatan seksual seperti itu," ucap dia.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

2 dari 3 halaman

Sanksi Pidana?

Arist Merdeka Sirait menilai, harus ada sanksi yang diberikan kepada pelaku. Hukuman tersebut dinilainya akan memberikan efek kejut bagi mereka.

"Pelaku masih di bawah 12 tahun, harus disadarkan, ditindak. Tapi sifatnya bukan pemidanaan," jelas Arist.

Hukuman yang bisa diberikan bisa berupa sanksi sosial. Mereka tidak dikembalikan kepada orang tua, namun diserahkan kepada panti asuhan.

"Prosesnya difasilitasi polisi memanggil jaksa, hakim dipanggil, tapi tidak di pengadilan. Menyelesaikan kasus tersebut harus di luar pengadilan," ungkap Arist.

Terpisah, Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Reza Indragiri menilai, perlu ada langkah khusus terhadap para pelaku itu.

"Anak-anak lelaki yang menjadi pelaku, selain dipidana, juga perlu direhabilitasi," ujar Reza kepada Liputan6.com, Rabu sore, (28/2/2018).

Dia mengungkapkan, dari hasil riset yang dilakukan, ia menemukan adanya keterkaitan antara perilaku anak dengan materi yang disaksikan dalam teknologi.

"Apa lagi yang akan dituding sebagai referensi pornografi kelas berat itu kalau bukan gawai dan internet. Anak-anak, setelah menonton tayangan pornografi, mencoba menduplikasinya di kehidupan nyata mereka," kata Reza.

Selain itu, kata dia, ditengarai para pelaku bocah itu sebelumnya telah menerima perlakuan seksual serupa. Mereka lantas menjadi melakoninya untuk mengeksplorasi perasaan kala melakukan kebejatan itu.

"Tapi karena para pelaku masih amat belia, kendati tindak-tanduk mereka memang bersifat seksual, motif anak-anak seumur itu boleh jadi bukan seksual," ujar dia.

Bahkan bisa saja mereka tidak memahami bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah tindakan asusila. Selain itu, dimungkinkan juga mereka tak menyadari bahwa perbuatan tersebut menyakitkan dan membahayakan korban.

"Nah, bagaimana polisi nantinya akan mengonstruksi mens rea (niat) untuk menjerat para pelaku?" tanya dia.

Ahli Psikologi Forensik ini juga menilai ketidakpahaman itu membuat sejumlah kasus child-on-child sexual abuse di negara semisal Australia berujung pada dihentikannya tuntutan atau pun vonis tak bersalah.

"Getir memang bagi korban dan keluarganya," ujar dia.

 

3 dari 3 halaman

Pola Asuh Keluarga

Sosiolog Universitas Nasional Sigit Rochadi menilai kejadian tersebut bukan fenomena pertama. Kejadian seperti itu sejatinya sudah sering terjadi.

"Ini bukan fenomena baru. Rangsangan seks memang sudah muncul sejak masa anak-anak," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Rabu malam (26/2/2018).

Dia menjelaskan, anak biasanya menikmati elusan atau belaian orang lain di daerah sensitif. Rangsangan itu berubah menjadi nafsu dan ingin menyalurkannya jika ada dorongan dari luar dan ada objek.

"Sangat mungkin dorongannya adalah gambar dan video yang didapat anak itu dan tidak ada orang dewasa yang memberi arahan atas pikiran dan perasaan yang dia alami. Maka muncul hasrat melampiaskannya," terang dia.

Video atau gambar bagi anak-anak berfungsi sebagai pembenar, karena dia belum bisa membedakan baik atau buruk dan benar atau salah."Ini berarti anak itu berada di lingkungan sosial yang buruk," ujar dia.

Peristiwa di Bogor menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap anak di bawah umur. 

Sebelumnya aksi bullying (perisakan) terhadap siswi SMP di daerah Thamrin City, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada akhir 2017. Dalam bullying yang kental nuansa kekerasan itu, korban dan pelaku dari anak di bawah umur.

Sementara, Indonesia Police Watch (IPW) pada 2014 merilis sejumlah aksi kejahatan yang melibatkan anak-anak di bawah umur sebagai pelaku, dari mencuri sepeda motor, merampok, hingga membunuh rekannya sendiri. Yang miris, ada pembunuhan yang dipicu kasus sepele.

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Komisioner Bidang Pengasuhan, Rita Pranawati menilai, ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi seorang anak, sehingga ia bisa menjadi pelaku kejahatan.  Menurutnya, itu tidak lepas dari pola asuh serta lingkungan anak.

Dia menilai, orangtua acap salah dalam menerapkan pola asuh kepada anak. Mereka terlalu pasif dalam memperhatikan pertumbuhan anak, sehingga tidak membangun kedekatan secara emosional.

"Yang terjadi anak bisa saja rajin, tapi karena tidak dapat ikatan emosinya, di luar dari orangtuanya bisa saja anak bersikap sebaliknya. Kenapa ini terjadi, ya karena tidak terbangun kedekatan secara emosi, entah kerena alasan orangtua yang sibuk kerja dan lainnya," kata Rita seperti dikutip dari kpai.go.id.

Rita menjelaskan, peran pengasuhan anak dari orangtua sangat dibutuhkan. Lemahnya kontrol bisa menjerumuskan anak pada hal-hal negatif yang berakhir pada penyesalan.Â