Liputan6.com, Jakarta - Tragedi ganda melanda Batavia, cikal bakal Jakarta, 5 Januari 1699. Berawal dari suara dentuman keras yang memekakkan telinga. Asalnya dari selatan, dari Gunung Salak yang meletus tiba-tiba. Tak lama kemudian, sekitar pukul 02.00 dini hari, giliran Bumi berguncang hebat.
Pejabat VOC di balik benteng, maupun rakyat kebanyakan yang hidup melarat, menjadi saksi gempa Jakarta paling hebat yang pernah menguncang kala itu. Banyak bangunan batu kokoh ambruk, apalagi rumah-rumah gubuk yang seketika rata dengan tanah.
Sekitar 40 hingga 50 orang tewas terkubur hidup-hidup di bawah puing. Hanya itu yang tercatat dalam sepucuk surat yang dikirim dari Batavia, yang kemudian dimuat dalam harian berbahasa Belanda, Haerlemsche courant. Berapa jumlah pasti korban, tak ada yang tahu.
Advertisement
Baca Juga
Langit merah, gemuruh yang tak kunjung diam di tengah pemandangan kota yang babak belur dan pekat dengan aroma kematian, bikin nyali warga yang selamat kian ciut.
Ternyata, itu baru permulaan...
Pagi harinya, Gunung Salak memuntahkan isi perutnya. Aliran lahar dingin mengalir deras dari hulu Sungai Ciliwung dan Cisadane menuju Teluk Jakarta, nyaris menyapu bersih Batavia.
Sungai-sungai di Jakarta Lama berubah hitam. Lumpur bercampur alang-alang, pasir, bebatuan, juga pohon-pohon setengah gosong yang tercabut hingga akar, membekap aliran air.
Ribuan kubik air kemudian tumpah membanjiri daerah tepian sungai, taman, dan jalanan. Pun dengan ikan-ikan yang mati lemas akibat tercekik lumpur. Oud Batavia nyaris jadi rawa.
Kala itu, lele membuktikan dirinya sebagai makhluk tangguh.
"Ikan-ikan, selain lele, mati di tengah air keruh bercampur lumpur," demikian seperti dikutip dari buku An Historical Account of Earthquakes, Extracted from the Most Authentick Historians karya Thomas Hunter.
Hewan-hewan yang dikenal perkasa pun tak berdaya. "Bangkai kerbau, harimau, badak, rusa, kera, dan sejumlah hewan liar lain tersapu bah dalam jumlah besar." Buaya tak terkecuali. Banyak hewan amfibi itu ditemukan tak bernyawa.
Butuh waktu berbulan-bulan untuk memulihkan kota. Gempa yang mengguncang 80 tahun setelah Batavia didirikan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen benar-benar bikin susah.
Air bersih harus didatangkan jauh-jauh dari Banten untuk memuaskan dagaha mereka yang berpunya. Sementara rakyat jelata mungkin harus rela minum air campur lumpur.
Bukan kali itu saja gempa Jakarta mengguncang hebat. Setidaknya tiga lindu setelahnya membawa kehancuran, yakni pada 1757, 1880, dan 1834. Semua episentrumnya tak berada di kota yang aslinya bernama Jayakarta itu.
Catatan sejarah menjadi bukti, Jakarta yang kini berstatus ibu kota dan kota terpenting di Indonesia rawan gempa.
Untuk gempa Jakarta, adagium Prancis, l'histoire se repete bisa terjadi -- bahwa sejarah mungkin berulang. Namun, jangan sampai nestapa masa lalu berulang di masa depan.
Sumber Gempa yang Mengancam Jakarta
Sudah 184 tahun, hampir dua abad, gempa dahsyat tak mengguncang Jakarta. Namun, jangan mengira jika Ibu Kota steril dari lindu.
"Persepsi bahwa Jakarta aman gempa adalah keliru," kata Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, dalam diskusi bertajuk "Gempa Bumi Megathrust Magnitudo 8,7. Siapkah Jakarta?" pada Rabu 28 Februari 2018.
Pada 23 Januari 2018, misalnya, gempa 6,1, Skala Ritcher mengguncang Lebak, Banten. Getarannya terasa sangat kuat di Jakarta, menggoyang gedung-gedung tinggi, menciptakan kepanikan dalam skala massif.
Padahal, kekuatan gempa itu baru kurang dari 1:10 kali dari guncangan gempa 9,1 yang pernah mengguncang Aceh 2004 lalu.
"Karena Jakarta ini tanahnya lunak dan dikepung patahan aktif. Entah dari mana saja pusat gempanya, guncangannya pasti terasa kuat," tambah dia.
Ancaman gempa Jakarta terkait dengan zona tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Eurasia, yang menunjam masuk ke bawah Pulau Jawa disebut sebagai zona megathrust.
Berdasarkan hasil kajian para pakar gempabumi, proses penunjaman lempeng tersebut masih terjadi dengan laju 60-70 mm per tahun.
"Menurut analisis para pakar gempa bumi, gerakan penunjaman lempeng tersebut memungkinkan dapat mengakibatkan gempa megathrust dengan kekuatan atau magnitudo maksimum yang diperkirakan dapat mencapai 8,7 skala Richter," kata Dwikorita dalam siaran persnya, Jumat 2 Maret 2018.
Dia menambahkan, meski para ahli mampu menghitung perkiraan magnitudo maksimum gempa di zona megathrust, teknologi yang ada saat ini belum mampu memprediksi dengan tepat, apalagi memastikan kapan terjadinya lindu.
"Kita pun belum mampu memastikan apakah gempa megathrust 8,7 SR akan benar-benar terjadi, kapan, di mana, dan berapa kekuatannya?," tambah dia.
Di tengah ketidakpastian itu, yang perlu dilakukan adalah upaya mitigasi yang tepat untuk meminimalkan risiko kerugian sosial ekonomi dan korban jiwa, seandainya gempa benar-benar terjadi.
Menurut Dwikorita, tindakan pencegahan dan mitigasi bencana lebih baik daripada menebak-nebak -- apalagi paranoid -- soal kapan gempa besar akan terjadi.
"Makanya perlu dicek itu mal-mal, hotel-hotel itu apakah pembangunannya sudah sesuai dengan building code bangunan tahan gempa," kata dia kepada Liputan6.com.
"Itu sebenernya yang paling urgent, kita cek. Daripada menebak-nebak gempanya kapan, jangan terjebak ke situ."
Dua Sumber Gempa
Dihubungi terpisah, ahli gempa Danny Hilman Natawidjaja mengatakan, ada dua sumber gempa yang potensial mengguncang kuat wilayah Jakarta.
"Pertama jauh (sumbernya) di Selatan Jawa sampai Selat Sunda. Walaupun jauh, magnitudonya bisa besar sekali sampai 9 SR," kata dia saat dihubungi Liputan6.com.
Sementara, kemungkinan kedua adalah dari darat, yang titiknya dekat sekali dengan Jakarta. "Yaitu dari patahan atau sesar Baribis," jelas Danny.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut juga memaparkan, Jakarta diduga terhubung dengan satu jalur gempa besar yang memanjang dari mulai Kota Surabaya, Semarang, Tegal, Cirebon. Kendati, kekuatannya diperkirakan tidak terlalu besar.
"Ini diperkirakan, guncangannya tidak sampai magnitudo 8, tapi dekat sekali (dengan Jakarta), malah bisa saja gempa itu lewat persis di bawah Jakarta," dia mewanti-wanti.
Soal Jakarta bertanah lunak, hal itu juga diamini Danny. Kontur seperti itu bisa mengimplikasi kekuatan getaran gempa menjadi lebih kuat lagi.
"Jadi getaran gempa datang dari sumbernya bisa diperparah dengan tanah setempat Jakarta di tanah lunak. Ini amplifikasi, Misalnya (sumbernya) 2 magnitudo tapi berimplikasi jadi 6," tutur dia.
Danny menegaskan, gempa tidak bisa diprediksi kapan akan terjadi. Sebab, siklus patahan sudah ada sejak ratusan juta tahun lalu, sehingga gempa akan selalu berulang. Inilah yang harus diwaspadai. "Lamanya siklus tersebut kadang membuat lengah dalam hal pencegahan," kata dia.
Advertisement
Siapkah Jakarta Hadapi Gempa Besar?
Meski gempa besar mengintai sewaktu-waktu, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menegaskan, Jakarta belum siap menghadapi bencana besar.
"Ya infrastrukturnya, masyarakat, pemdanya belum siap menghadapi gempa-gempa besar ya. Kita lihat infrastruktur dari segi bangunan, kita tidak tahu apakah bangunan yang ada konstruksinya tahan gempa sehingga perlu dilakukan audit gedung bangunan," kata Sutopo kepada Liputan6.com, Jumat (2/3/2018).
Tak hanya itu, kata Sutopo, perlu juga dilakukan pemetaan micro zooming secara detail termasuk di dalamnya prasarana dan penghuni gedung harus dilihat. Sebab, gempa besar tidak hanya membuat bangunan roboh, tapi juga dapat menimbulkan dampak lain seperti kebakaran pipa dan kebocoran gas.
"Kalau terjadi kebakaran saja, evakuasi di Jakarta sulit karena banyak gang yang tidak bisa dimasuki mobil kebakaran."
Sutopo memprediksi, 80 persen warga ibu kota belum mendapat pelatihan dan sosialisasi menghadapi gempa besar. Sementara di Jakarta banyak bangunan bertingkat yang sangat rentan menjadi korban gempa.
"Korbannya bisa ribuan dengan penduduk yang padat kayak gini, jadi kalau terjadi risikonya sangat tinggi. Kerugian jiwa maupun ekonomi sangat besar. Karena itu harus ada latihan rutin contingency plan untuk menghadapi gempa besar," Sutopo mengingatkan.
Sementara itu, menanggapi ancaman gempa besar yang bisa menghancurkan Jakarta, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan, siap tak siap, Jakarta harus siap.
"Harus siap, yang terpenting adalah reaksi 72 jam pertama setelah (gempa)," kata Sandiaga di Balai Kota Jakarta, Kamis 1 Maret 2018. Menurut Sandi, Pemprov DKI bahkan siap menggelontorkan dana ke BMKG untuk bersinergi tanggap bencana.
Untuk pencegahan dan mitigasi bencana, Sandi mengatakan, Pemprov DKI terus kebut melakukan sosialisasi dan edukasi terutama di sekolah dan gedung tinggi.
"Hampir semua gedung (didatangi) kita langsung jemput bola (sosialisasi)," ucap politikus Partai Gerindra ini.
Soal sosialisasi ini juga disampaikan Kepala Bidang Kesiapsiagaan dan Pencegahan BPBD DKI Jakarta, Tri Indrawan. Dia mengatakan, Pemprov terus melakukan sosialisasi tanggap bencana lewat progam sekolah aman bencana.
Mitigasi bencana dan sosialisasi untuk memberi pengetahuan dan keterampilan menghadapi bencana, kata Tri, telah tertuang pada Pergub Nomor 187 Tahun 2016.
"Jakarta ingin mengimplementasi sekolah aman bencana. Salah satunya memberi kemampuan pada guru bagaimana penanggulangan bencana Jakarta, banjir, kebakaran, gempa, dan angin," kata Tri
Menurut dia, dipilhnya sekolah-sekolah menjadi salah satu fokus sosialisasi dan edukasi bencana karena harapannya anak-anak nantinya bila sudah besar dan terjun ke masyarakat, mampu menularkan kemampuan mereka pada keluarga dan kolega.
Tak hanya edukasi bencana ke sekolah, BPBD juga menerapakan bangunan aman bencana ke rusun-rusun dan gedung perkantoran. Setiap gedung tinggi, kata Tri, diwajibkan untuk memasang rambu kebencanaan dan melakukan simulasi rutin. Kewajiban itu, kata Tri, tertuang dalam Pergub 170 Tahun 2016 tentang Rambu-Rambu kebencanaan.
"Pada pengelola gedung mereka minimal lakukan simulasi setahun sekali dan punya manajemen pengelolaan gedung bila ada bencana," kata Tri.
Tri memastikan, gedung-gedung tinggi di Ibu Kota yakni di atas 30 lantai cukup aman, karena gedung banyak dibangun setelah tahun 1987 dengan teknik lebih modern dan elastic, dan tidak akan ambruk bila ada gempa.
"Sesudah 1987 struktur gedung ramping tinggi, dia akan elastis. Karena elastis cuma kerusakan pada struktur tapi tidak ambruk,” ucapnya.
Hal senada disampaikan Kepala Bidang Pengawasan Bangunan Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan DKI, Herry Priyatno. Dia mengatakan, bangunan gedung tinggi di Jakarta sudah melalui meknisme perizinan dan standar gempa di Indonesia.
"Dalam proses penilaian rencana teknis bangunan gedung tinggi melibatkan para ahli dalam sidang TABG dari disiplin arsitektur, struktur, dan ME. Para ahli struktur secara konsisten mengawal pemenuhan standar gempa dalam sidang TABG-struktur," ucap Herry.