Liputan6.com, Medan: Perhatian terhadap delapan situs utama di Sumatra Utara dinilai masih jauh dari harapan. Akibatnya kondisi warisan sejarah tersebut secara perlahan mulai mengalami kerusakan. Sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed) Erond Damanik mengatakan, Sumatera Utara sedikitnya memiliki delapan situs utama yakni Situs Karus, Padang Lawas, Putri Hijau, Kota China, Kota Rentang, Pulau Kampai, Kilang Minyak, Pangkalan Brandan.
"Sayangnya dari delapan situs utama yang terdapat di Sumatera Utara, semuanya hampir terabaikan begitu saja tanpa adanya perhatian serius dari berbagai pihak," katanya. Ironisnya, lanjut dia, situs percandian di Padang Lawas maupun situs Barus yang sudah pernah dipugar dan dipagari oleh Pemerintah Provinsi Sumatra Utara pada 1984, juga tak luput dari pembiaran.
Padahal, menurutnya, penelitian-penelitian arkeologi berkaliber internasional seperti Ecole Francaise d'Extreme Orient (EFEO)Prancis sudah dilakukan di Padang Lawas dan Situs Barus. Telah diterbitkan empat judul hasil penelitian terkait situs Barus. "Hal tersebut membuktikan bahwa tidak adanya upaya-upaya yang kontinu dalam melestarikan warisan sejarah di Sumatera Utara," kata staf peneliti Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis) Unimed ini .
Begitu juga dengan persoalan terhadap Benteng Putri Hijau. Pernah dilakukan penelitian secara komprehensif terhadap warisan sejarah peninggalan abad ke-14 tersebut pada 2008 dan 2009. Hasil penelitian itu juga merekomendasikan agar situs tersebut segera ditetapkan menjadi cagar budaya. Namun pembebasan dan pendirian museum situs dan restorasi beberapa bidang benteng tidak juga direalisasikan, khususnya oleh Pemerintah Kabupaten Deli Serdang.
Berbeda halnya dengan permasalahan di situs Kota Cina, yang terletak di Medan Marelan. Masyarakat di sekitar lokasi situs tersebut justru mengetahui adanya perdagangan warisan sejarah. Mereka sering menjual benda-benda bersejarah seperti keramik, tembikar ataupun guci yang utuh kepada penadah barang antik.
Masyarakat kemudian beranggapan, di setiap petak tanah mereka mengandung benda-benda antik yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Jika ada penelitian-penelitian arkeologi, masyarakat sekitar selalu menuntut ganti rugi yang luar biasa atas lahan yang yang dijadikan lokasi penelitian.
Menurut dia, kesulitan dalam melestarikan warisan sejarah tersebut tidak hanya tertuju kepada situs ataupun kawasan bersejarah, tapi juga kepada unit-unit sejarah seperti bangunan bersejarah yang terletak di lima kota warisan perkebunan di Sumatera Utara yaitu Medan, Binjai, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Kisaran.
Diperkirakan hampir 70 persen bangunan bersejarah di kawasan tersebut tidak luput dari pembiaran, perobohan dan penelantaran. Demikian juga dengan bangunan-bangunan tradisional yang mengandung nilai historis tinggi seperti rumah tradisional Karo, Desa Lingga dan Dokan, ataupun Rumah Bolon Simalungun di Pematang Purba. (ANT/TOW/YUS)
"Sayangnya dari delapan situs utama yang terdapat di Sumatera Utara, semuanya hampir terabaikan begitu saja tanpa adanya perhatian serius dari berbagai pihak," katanya. Ironisnya, lanjut dia, situs percandian di Padang Lawas maupun situs Barus yang sudah pernah dipugar dan dipagari oleh Pemerintah Provinsi Sumatra Utara pada 1984, juga tak luput dari pembiaran.
Padahal, menurutnya, penelitian-penelitian arkeologi berkaliber internasional seperti Ecole Francaise d'Extreme Orient (EFEO)Prancis sudah dilakukan di Padang Lawas dan Situs Barus. Telah diterbitkan empat judul hasil penelitian terkait situs Barus. "Hal tersebut membuktikan bahwa tidak adanya upaya-upaya yang kontinu dalam melestarikan warisan sejarah di Sumatera Utara," kata staf peneliti Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis) Unimed ini .
Begitu juga dengan persoalan terhadap Benteng Putri Hijau. Pernah dilakukan penelitian secara komprehensif terhadap warisan sejarah peninggalan abad ke-14 tersebut pada 2008 dan 2009. Hasil penelitian itu juga merekomendasikan agar situs tersebut segera ditetapkan menjadi cagar budaya. Namun pembebasan dan pendirian museum situs dan restorasi beberapa bidang benteng tidak juga direalisasikan, khususnya oleh Pemerintah Kabupaten Deli Serdang.
Berbeda halnya dengan permasalahan di situs Kota Cina, yang terletak di Medan Marelan. Masyarakat di sekitar lokasi situs tersebut justru mengetahui adanya perdagangan warisan sejarah. Mereka sering menjual benda-benda bersejarah seperti keramik, tembikar ataupun guci yang utuh kepada penadah barang antik.
Masyarakat kemudian beranggapan, di setiap petak tanah mereka mengandung benda-benda antik yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Jika ada penelitian-penelitian arkeologi, masyarakat sekitar selalu menuntut ganti rugi yang luar biasa atas lahan yang yang dijadikan lokasi penelitian.
Menurut dia, kesulitan dalam melestarikan warisan sejarah tersebut tidak hanya tertuju kepada situs ataupun kawasan bersejarah, tapi juga kepada unit-unit sejarah seperti bangunan bersejarah yang terletak di lima kota warisan perkebunan di Sumatera Utara yaitu Medan, Binjai, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Kisaran.
Diperkirakan hampir 70 persen bangunan bersejarah di kawasan tersebut tidak luput dari pembiaran, perobohan dan penelantaran. Demikian juga dengan bangunan-bangunan tradisional yang mengandung nilai historis tinggi seperti rumah tradisional Karo, Desa Lingga dan Dokan, ataupun Rumah Bolon Simalungun di Pematang Purba. (ANT/TOW/YUS)