Liputan6.com, Jakarta - Polri menangkap penyebar berita bohong alias hoax dan ujaran kebencian (hate speech) yang tergabung dalam jaringan Muslim Cyber Army (MCA). Penyebaran berita bohong yang paling populer dari jaringan ini adalah berita soal penculikan dan penyerangan terhadap ulama.
Ini bukan pertama kalinya jaringan produsen berita bohong dan ujaran kebencian diringkus oleh pihak berwajib. Sebelumnya, kelompok Saracen sudah terlebih dahulu menghuni jeruji besi.
Padahal, Polri tak pernah berhenti mengimbau agar para penyebar hoax dan ujaran kebencian menghentikan aksinya. Namun, berita bohong dan ujaran kebencian tidak pernah berhenti menghantui para penjelajah dunia maya.
Advertisement
Kriminolog Universitas Indonesia Kisnu Widagso menduga, masih banyak jaringan penyebar berita bohong dan ujaran kebencian bertebaran di jagat maya. "Artinya orang-orang yang mengapitalisasi hoax dan hate speech bukan hanya Saracen dan MCA, tapi ada kelompok-kelompok lain," ujar Kisnu kepada Liputan6.com, Senin 5Â Maret 2018.
Selain itu, pengamat cyber ini menambahkan, ada beberapa faktor yang menjadikan penyebar berita bohong dan ujaran kebencian tak urung menghentikan aksinya.
"Menurut teoretis, ada beberapa alasan kenapa tidak muncul penggentarjeraan atau tidak dilakukannya suatu pelanggaran hukum," tutur Kisnu.
Pertama, pelaku merasa aman dan tidak akan tertangkap karena banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengelabui polisi. "Apalagi ini dikaitkan dengan penggunaan teknologi informasi kan mungkin dia bisa aja ganti nomor kartu alamat email ganti identitas," jelas Kisnu.
Kedua, hukum yang diberlakukan terkait kasus tersebut dianggap tidak membuat pelaku merasa takut. Sehingga, penyebar hoax tidak dibayangi dengan jeratan hukum yang ada.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Bagaimana Hoax Itu Bekerja?
Kisnu menjelaskan, hoax merupakan kalimat bohong yang seolah-olah benar diproduksi oleh orang pintar, namun jahat. Sedangkan konsumen dari hoax sendiri adalah orang baik yang tidak memiliki pengetahuan untuk menganalisis kebenarannya.
"Jadi pelaku membungkus berita ini sedemikian rupa. Dan yang dimainkan adalah logika sehingga nalar seseorang kerap kali merasa berita tersebut sudah tidak perlu dipertanyakan lagi keabsahannya," jelas Kisnu.
Dosen Teknologi Informasi dan Kejahatan Komputer ini memaparkan, harus ada biaya lebih yang harus dikeluarkan oleh seseorang yang ingin mengecek kebenaran sebuah berita.
"Untuk ngecek, harus browsing kan, makan data, makan jatah kilobyte," papar Kisnu. Sehingga, para konsumen di dunia maya pun cenderung tidak memusingkan kebenaran suatu berita sebelum menekan tombol share.
Lalu mengapa Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) selalu menjadi isu favorit?
"Karena SARA itu seksi," jawab Kisnu. Dia menilai, isu SARA tak hanya laku di Indonesia namun juga di beberapa negara pluralis. "Di masyarakat yang pluralis terdiri dari banyak etnis, identitas, dan pulau, isu itu sangat laku untuk dijual," kata Kisnu.
Â
Advertisement
Menumpas Hoax
Hoax memang tidak mudah untuk dihentikan. Seperti virus di tubuh manusia, mereka menyebar dengan cepat, menghasut siapa saja pembacanya.
Maka dari itu, Kisnu menggagas adanya digital literasi. "Kita ini harus bisa menjadi pressure group sebagai orang-orang yang melek untuk kawan-kawan yang belum nyampe pengetahuannya," jelas Kisnu.
Program ini bertujuan membantu masyarakat dalam membedakan materi berita hoax dan yang bukan. "Kita dorong untuk seperti itu," kata Kisnu.
Salah satu gerakan yang dinilai Kisnu bisa mengedukasi masyarakat memerangi hoax adalah "Think before you click."
"Jangan jadi bagian dari penyebaran hoax," imbuh Kisnu.
Selain itu Kisnu mengapresiasi langkah pemerintah yang mengambil alih infrastruktur IT di Indonesia bagian Timur. Sebab, selama ini swasta hanya menjadi investor IT di Indonesia bagian barat dan tengah.
"Menkominfo pernah bilang kalau memang infrastruktur IT itu masih di kota-kota besar dan minim di daerah. Bayangkan kalau kita di pelosok kita ngeklik suatu konten itu muter (roaming) terus," jelas Kisnu.
Hal tersebut menyebabkan pembaca kesulitan mengkonfirmasi kebenaran suatu berita. Maka dari itu, Kisnu berharap pemerintah dapat menyamakan kecepatan (speed) dan harga akses data internet di seluruh wilayah di Indonesia.
Terakhir, Kisnu berharap para pengguna internet di Indonesia aktif dalam melawan hoax. Salah satu caranya adalah dengan mengunduh aplikasi pengecek kebenaran berita.
"Ada aplikasinya masukin konten lalu keluar (benar atau tidaknya)," ujar Kisnu. Dia juga mengajak agar masyarakat memiliki inisiatif untuk memberi tahu apabila ada website yang menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian.
"Ada beberapa webhosting yang dia tidak punya repsonsibility. Yang dia, 'Silakan bikin web tanpa ada tanggung jawabnya' mau ngisi apa kek mau ngomong apa kek terserah. Nah, kita lah yang harus meng-endorse, 'Eh webhosting di sana negatif lho,' dan lain-lain," tutup Kisnu.