Sukses

Larangan Mahasiswi Bercadar, Menristekdikti: Itu Urusan Kampus

Sedangkan mengenai foto di ijazah bagi mahasiswi yang bercadar, Nasir mengaku tak mempermasalahkannya.

Liputan6.com, Yogyakarta - Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) tidak mengatur masalah busana mahasiswa. Karena itu, larangan mahasiswi bercadar seperti di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta merupakan urusan kampus masing-masing.

"Itu urusannya kampus. Urusan pakaian itu urusan kampus. Kementerian enggak akan ikut ngatur," kata Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir usai meresmikan Graha Instiper di Maguwoharjo, Yogyakarta, Rabu (7/3/2018).

Nasir mengatakan, kementerian hanya bisa mengatur agar tidak ada diskriminasi di perguruan tinggi. Baginya, tidak boleh ada diskriminasi dalam bentuk apa pun di perguruan tinggi.

"Saya lihat kalau hanya masalah pakaian itu bukan diskriminasi," ucap dia.

Adapun mengenai foto di ijazah bagi mahasiswi bercadar, Nasir mengaku tak mempermasalahkannya. Dia pun menyerahkan permasalahan itu kepada masing-masing perguruan tinggi.

"Untuk ijazah urusannya perguruan tinggi. Kementerian enggak akan ikut ngatur. Yang penting identitas di ijazahnya jelas," Nasir menandaskan.

Sementara itu, sejumlah ormas di Yogyakarta mendatangi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Rabu (7/3/2018). Mereka meminta berdialog dengan pihak kampus terkait larangan mahasiswi bercadar.

Sejumlah ormas yang datang ke UIN Sunan Kalijaga adalah Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI), Mualaf Center Yogyakarta, Forum Komunikasi Aktivis Masjid, Harokah Islamiyah, Da'i Madinah, Majelis Mujahidin, Halaqah Tarbiyah Muwahiddin, dan Forum Silaturahmi Remaja Masjid.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

 

2 dari 2 halaman

Larangan Bercadar

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta merilis sejumlah alasan melarang mahasiswi bercadar. Pernyataan itu dikeluarkan rektorat menyusul pro-kontra yang muncul di masyarakat akibat kebijakan itu.

Rektor UIN Sunan Kalijaga Yudian Wahyudi menandatangani Surat Edaran Nomor B-1301/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 perihal Pembinaan Mahasiswa Bercadar. Surat edaran itu ditujukan kepada dekan fakultas, direktur pascasarjana, dan kepala unit atau lembaga pada 20 Februari 2018. Mereka diminta untuk mendata dan membina mahasiswi bercadar dan data diberikan kepada Wakil Rektor III paling lambat 28 Februari 2018.

"Surat edaran dibuat untuk menertibkan kampus mengingat Kementerian Agama ingin kampus menyebarkan Islam moderat, yakni Islam yang mengakui dan mendukung Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI," ujar Yudian dalam jumpa pers di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin, 5 Maret 2018.

Sebagai perguruan tinggi negeri, UIN Sunan Kalijaga meyakini legitimasi tertinggi setelah Rasulullah adalah konsensus atau perjanjian yang sangat kokoh merangkul berbagai kepentingan. Ia mengingatkan warga kampus jangan sampai terseret ke aliran-aliran radikal karena tidak sesuai dengan legitimasi tersebut.

Yudian mengajak untuk kembali ke inti Alquran, yakni keadilan. "Kami menggunakan kata keadilan sebagai fondasi peradaban dan Islam di sini adalah Islam yang adil," ucapnya.

Melarang mahasiswi bercadar yang identik dengan gerakan radikal juga bertujuan untuk menyelamatkan kepentingan umum ketimbang kepentingan khusus.

Yudian mengakui beberapa waktu lalu UIN Sunan Kalijaga sempat digegerkan dengan bendera HTI yang berkibar di wilayah kampus.

"Kalau kami mengikuti HTI berarti kami setuju dengan khilafah yang artinya membubarkan NKRI, saat itu kami merasa dikudeta oleh HTI," tuturnya.

Citra sarang HTI yang disematkan kepada UIN Sunan Kalijaga dianggap merugikan. Ia juga sudah mengeluarkan pernyataan beberapa waktu lalu dan menelusuri keterlibatan dosen di HTI.

"Tidak ada dosen yang terlibat. Saya bilang kalau mau HTI, silakan keluar dari UIN," kata Yudian.

Dia mengungkapkan, pernyataan ini tidak berkaitan dengan akidah yang diyakini oleh mereka. Tidak ada yang salah dengan meyakini akidah masuk surga. Hanya saja, ia tidak ingin kelompok itu mengajak orang yang ada di dunia ini untuk merasakan neraka di dunia.

"Yang mereka lakukan sekarang itu tersesat di ideologi politik dan pendidikan," ucapnya.

Yudian menilai, banyak anak tertipu dengan gerakan ini. Mereka kerap tidak mengerti dan beranggapan yang disampaikan ajaran-ajaran itu. Padahal, itu berkaitan dengan tradisi budaya.

"Ada dai bilang derajatnya naik ketika pakai kerudung," ujarnya. Ia menjelaskan, kembali ke konteks masyarakat Arab kala itu, kerudung hanya dikenakan oleh kaum aristokrat. Sementara perempuan yang dianggap rendah, seperti pekerja seks dan perempuan kebanyakan, tidak mengenakan kerudung.

Yudian menuturkan, Muhammad mengajak orang untuk bersyahadat dan dijanjikan status sosial naik seketika. Kerudung dikenakan kepada mereka yang menandai janji itu.

"Yang bisa diterima di Indonesia adalah yang adil, termasuk adil terhadap diri sendiri," ucapnya. Ia mencontohkan, ketika ujian di kampus siapa yang bisa menjamin peserta ujian yang bercadar. Kekhawatiran muncul ketika peserta ujian yang bercadar justru digantikan oleh orang lain.

Kebijakan ini dibuat untuk menyelamatkan RI dan anak-anak didiknya. Pasalnya, kebanyakan kasus mahasiswi bercadar adalah putus kuliah dan pergi dari orangtua.

 

Reporter: Purnomo Edi

Sumber: Merdeka.com